Pameran “Pilgrimage” karya Lenny Ratnasari Weichert di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 20 September 2016. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Lenny menyinggung masalah dihilangkannya peran tokoh-tokoh perempuan dalam catatan sejarah resmi perkembangan Islam di Tanah Air. Itu sebab dia memilih angka sembilan untuk patungnya, seperti jumlah Wali Songo.

Pukul 12 malam. Ia masih berada di tengah-tengah anggota timnya yang sedang mengobrol di halaman studio. Wajah mereka sama-sama letih.

Sesekali ia merokok, sesekali ikut mengobrol, namun lebih sering ia memeriksa lagi apa yang kurang dari dua karya yang ada di dekat sana.

To Be or Not To Be, sebuah instalasi patung berbahan silikon dengan tambahan kaca nako serta tembok penuh unek-unek, dan Dinner Club, instalasi meja makan raksasa berbentuk lambang gender perempuan dengan sembilan piring di atasnya juga satu layar komputer.

Homage to Anonymous karya Lenny Ratnasari Weichert. (Foto: Jacky Rachmansyah)
Homage to Anonymous karya Lenny Ratnasari Weichert. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Udah bagus belum, sih?” pertanyaan itu sering ia lontarkan.

Malam itu, Lenny Ratnasari Weichert sedang mempersiapkan karya yang akan dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 20 September 2016. Pameran tunggal pertamanya di Jakarta ini terbilang minimalis sebab hanya ada tiga karya. Tapi jika melihat fakta bahwa ketiga karya dihasilkan dalam waktu tiga tahun, kata “minimalis” lebih cocok digulung kembali masuk ke mulut.

 

*Ulasan lengkap tentang Menziarahi Jejak-jejak yang Terhapus bisa dibaca di majalah Sarasvati edisi September 2016