Animamix Biennale kelima yang diselenggarakan di Art:1 New Museum Jakarta adalah pameran yang menyenangkan. Ajang bienial yang namanya merupakan gabungan dari animation dan comic ini memang punya arahan estetika yang khas. Sejak terminologi tersebut dicetuskan Victoria Lu, bienial yang tidak menetap di satu kota saja tiap penyelenggaraannya ini kerap menghadirkan karya-karya bergaya playful.
Rain Rosidi, yang menjadi kurator pameran ini bersama Jeong-Ok Jeon, mengatakan, “Konsep yang dikembangkan oleh Victoria Lu ini tidak saja membidik seniman yang membuat komik dan animasi, tetapi mencakup beberapa prinsip yang menjadi karakter “estetika baru” ini. Yaitu bahwa Animamix berhubungan dengan budaya populer dan budaya anak muda dalam rangka pencarian mereka terhadap keindahan-keindahan baru lewat budaya populer.
Animamix juga menggunakan limpahan warna-warni dari media eletronik sebagai bagian dari realitas dan pengalaman visual masa kini. Narasi-narasi aneh yang mereka ciptakan membentuk karakter dan bahasa visual mereka sendiri.”
Pada penyelenggaraan pertamanya di Jakarta, pameran yang berlangsung 13 Agustus hingga 12 November 2017 ini menghadirkan seniman dari empat negara, yakni Indonesia, Jepang, Korea, dan Filipina. Para seniman itu antara lain Eko Nugroho, Hendra ‘Hehe’ Harsono, Eddie Hara, Heri Dono, Terra Bajraghosa, Andy Wahono, Eko Codik Sukowati, Muklay, dan Narpati Awangga ‘Oomleo’ dari Indonesia.
Seniman Korea adalah Kim Kira, Choi Nari, Kwon Kisoo, Choi Jeong Hwa, Hye Rim Lee, dan Hyunjin Lee. Seniman Filipina Manix Abrera, Vincent De Pio, dan Carlo Ongchangco. Sedangkan seniman Jepang adalah Hiroshi Mori.
Ada yang menarik dari tema “Myth.Science”. Keduanya sering dianggap dua hal yang kontras; yang satu berlandaskan kepercayaan, yang satu lagi berlandaskan ilmu pengetahuan. Atau, ekstremnya, yang satu khas Timur, yang satu lagi khas Barat. Sedangkan, konsep Animamix sendiri diyakini oleh Victoria Lu berasal dari Timur. Maka, ke manakah sesungguhnya arah pameran ini?
Menurut Jeong-Ok Jeon, ada tiga hal yang muncul dalam karya-karya di Animamix Biennale 2017 ini. “Beberapa seniman fokus pada karakter, baik yang formal maupun yang imajiner. Ada juga yang fokus bicara soal teknologi, dan ada juga yang bicara tentang cerita, seperti cerita-cerita lokal, mitologi, dan lainnya,” ujarnya.
Namun, yang sesungguhnya menjadi kelebihan Animamix Biennale di Art: 1 New Museum ialah bagaimana para seniman mengemas cara ungkapnya – seperti yang disebutkan Jeong-Ok – dengan gaya yang sangat Animamix meskipun pesannya mengandung semangat kritisisme atau malah bersifat distopis.
Contohnya, karya seniman Korea, Kim Kira. Kim Kira membuat beberapa instalasi cahaya lampu dan satu instalasi video yang semuanya bicara soal kemarahan dan kehancuran. Paling jelasnya adalah karya yang menampilkan video animasi bumper Universal Pictures yang diakhiri dengan hancurnya bumi pada logo tersebut. Karya-karya Kim Kira ditempatkan di sudut lantai dua Art: 1 New Museum yang penerangannya digelapkan.
Meski karya-karyanya memuat kritik atas masyarakat kontemporer yang destruktif, tampilan kalimat-kalimat tajam yang menyala warna-warni mengundang perhatian pengunjung yang betah berswafoto di depannya.
Semangat kritik juga dibawa oleh karya Hendra ‘Hehe’ Harsono dan Heri Dono. Hehe memamerkan satu lukisan sepanjang lima meter yang berjudul Finger Trust. Dalam lukisan ini kita bisa menemukan figur-figur khas Hehe yang kekanak-kanakan dan berwarna meriah.
Figur-figur tersebut seperti kumpulan monster mata dan tangan. Semuanya rapat berdesakan dalam kanvas. Hehe seolah-olah sedang menyindir pergulatan kecepatan tangan di media sosial yang cepat sekali merespons hal-hal yang bahkan mungkin belum dilihat mata.
Sementara, Heri Dono dipersilakan mengisi ruang lantai tiga dengan satu instalasinya yang berjudul Journey of the Angels. Malaikat-malaikat Heri Dono yang tergantung di langit-langit Art: 1 membentuk siklus dari telur, kepompong, hingga bentuk utuh. Ini seri yang sering sekali dipamerkan Heri Dono, termasuk di pembukaan Art: 1 New Museum dulu.
Instalasi yang tak kalah menarik adalah instalasi museum sneakers Muklay. Ia mengubah salah satu sudut lantai dua Art: 1 menjadi karya. Sama seperti karya Hehe, karya Muklay juga hadir dengan warna-warna pop lengkap dengan ikon-ikonnya berupa merk sepatu, atlet, hingga musisi.
Proyek ini sesungguhnya dimulai pada 2012 saat Muklay mengangkat gagasan tentang budaya sneakers pada pameran di Galeri Pasar. Di Animamix Biennale, Muklay mempresentasikan risetnya ke dalam beberapa bentuk karya. Pertama, dua buah meja berlapis kaca yang menyajikan tipe-tipe sneakers yang ingin ia miliki. Di etalase ini pengunjung bisa melihat betapa gilanya Muklay terhadap sneakers sampai-sampai ia menjejerkan puluhan model sneakers yang belum tentu diketahui banyak orang, seperti Adidas, Nike, dan Converse.
Selain itu, di dinding, ia memajang budaya-budaya yang lekat dengan sneakers, misalnya basket (Michael Jordan adalah olahragawan pertama yang dibuatkan seri sepatu khusus), musik (sebuah boombox dan ikon kelompok hiphop legendaris Run DMC), serta para seniman yang pernah berkolaborasi dengan merek-merek sneakers membuat seri khusus.
“Gue adalah salah satu anak muda yang menggilai sneakers, koleksi gue mungkin sampai 100 pasang. Makanya, di sini gue mau mengangkat tema bahwa sneakers itu sudah bukan sekadar produk. Jatuhnya sudah budaya dan menyerempet ke bidang-bidang seni juga,” tegasnya. Ia juga menerima jasa melukis sneakers selama bienial berlangsung.
Penting diperhatikan, Art: 1 New Museum memajang karya-karya Animamix Biennale berdampingan dengan koleksi-koleksi mereka. Menariknya, karya-karya tersebut tidak saling melemahkan. Sebab koleksi-koleksi Art: 1 New Museum yang ditampilkan ketika bienial ini berlangsung adalah karya-karya yang juga kontemporer dan bervisual menghibur.
Dengan demikian, perpaduan keduanya bukan hanya meneguhkan posisi Animamix Biennale sebagai pameran yang menyenangkan, tetapi juga posisi Art: 1 New Museum sebagai museum kontemporer yang modern dan muda, semuda mereka yang kelihatan menikmati pameran di hari pembukaan.
Artikel Warna-warni Mitos dan Pengetahuan yang Menyenangkan dimuat di majalah SARASVATI edisi September 2017.