Sudah sejauh mana teknologi menjajah sampai-sampai kita kehilangan rasa kemanusiaan? Manusia sekarang terlampau banyak inginnya, sehingga tangan tak sanggup lagi menahan beratnya kemauan.
Tema inilah yang diangkat dalam pameran bertajuk Fenestram yang diadakan oleh Kelompok Kulturistik dalam rentang 11-19 Oktober 2017 di Bentara Budaya Jakarta.
Ada 25 karya yang dipamerkan oleh 7 seniman Kulturistik (Agustan, WN.Dias Prabu, Gilang Fradika, M. Panca Satria, Prayitno Mayek, Rahardi “Heng” Handining dan Rohman) termasuk satu karya instalasi hasil kerja keroyokan ketujuhnya berwujud gedung-gedung tinggi yang menjadi ciri khas kota besar. Untuk karya personalnya, masing-masing membawa keresahan sendiri.
Fenestram yang berarti jendela ini bermaksud mengajak masyarakat untuk berkomunikasi dan berkontemplasi mengenai persoalan-persoalan hidup yang sarat dengan polemik modernitas sehingga meluputkan nurani.
Efix Mulyadi yang menjadi kurator dalam pameran tersebut menilai masing-masing seniman punya bahasanya sendiri dalam menjelaskan situasi kejiwaan dunia saat ini.
Meski begitu, bisa dibilang karya-karya dari Rahardi “Heng” Hardining cukup menonjol dibanding yang lainnya. Ada 5 karya yang ditampilkan Heng dalam pameran ini dimana masing-masingnya menjelaskan persoalan yang berbeda-beda. Misalnya pada “The Fly”, mengiaskan betapa menyenangkannya masa kanak-kanak yang tidak perlu dipusingkan dengan problem-problem pelik khas orang dewasa.
“The Fly” juga mengingatkan jangan sampai pembangunan kota yang tidak karuan membuat kita mengabaikan semangat kanak-kanak yang ada dalam diri untuk menikmati hidup.
Pada “Ondel-ondel”, Heng mengkritik penduduk urban yang melupakan lokalitas dan malah disibukkan dengan update media sosial yang tidak pernah putus. Padahal disadari atau tidak, kita sering bersisian dengan kebudayaan lokal tersebut. Heng mencontohkan pengalaman pribadinya yang sering berpapasan dengan ondel-ondel dalam perjalanan pulang dari kantor. “Betapa menyedihkan ketika budaya lokal sampai harus mengamen,” tuturnya.
Berbeda dengan Heng, Prayitno Mayek mengimajikan bentuk masa depan pada karyanya yang bertajuk “Tak jauh di masa depan”. Seniman kelahiran Tuban ini seolah meramalkan bagaimana kehidupan bumi beberapa tahun yang akan datang, ketika teknologi semakin mendominasi dan misi-misi ke luar angkasa semakin massal. Apakah ini akan menjadi solusi atau malah sumber polusi yang baru?
Karya lain lagi yang menarik untuk disimak adalah “Krtrim (Buatan-Artificial)” yang tak lain adalah buah pengalaman sang seniman sendiri, M. Panca Satria. Sebagai orang Palembang yang sudah 8 tahun tinggal di Jakarta, terkadang Panca merasa kehilangan identitasnya dan dia sesungguhnya tak sendiri, ada banyak perantau yang kehilangan lokalitasnya karena terbawa arus modernitas.
Menjenguk Fenestram adalah upaya refleksi yang sangat personal. Masing-masing kita akan menemukan sudut pandang yang berbeda saat melihat satu-persatu karya seni yang terpanjang. Bisa jadi Anda merasa tersindir atau malah menganggapnya lumrah, semata karena perubahan zaman?