Agus Kama Loedin, "Baboy Diablo", variable dimension, media aluminium anodized wires and copper wires. (Foto: Jacky Rachmansyah)

“TRANS-FORM #3” menampilkan 18 karya trimatra yang kebanyakan berbentuk mahluk hibrida.

Setelah digelar di Filipina dan Yogyakarta, kali ini pameran tunggal Agus Kama Loedin yang bertajuk “TRANS-FORM #3” digelar di Artotel Thamrin. Pameran yang berlangsung dari 6 September hingga 2 November 2017 ini menampilkan karya trimatra dengan medium kawat yang dihasilkan selama perjalanan Agus menggunakan medium tersebut.

Pameran “TRANS-FORM #3” dapat dibilang pameran tunggal pertama Agus di Jakarta sejak 1996, ketika itu pameran tunggalnya berupa karya fotografi di Cemara 6 Galeri. Ia baru mulai mengolah kawat ketika pindah ke Filipina pada tahun 2005, dan mulai berpameran dengan medium kawat lima tahun kemudian.

Agus memiliki latar belakang menarik. Seniman kelahiran Surabaya ini bukanlah lulusan institusi seni, melainkan dari jurusan Arkeologi sebuah universitas di Yogyakarta. Di sana ia berkenalan dengan seniman-seniman Yogyakarta seperti Eddie Hara dan Heri Dono.

Baca juga Transformasi Organisme dari Agus Kama Loedin.

Agus meneruskan pendidikan arkeologinya di Belanda. “Di Belanda, lulusan arkeologi itu biasanya pegawai negeri, dan pegawai negeri di sana pensiunnya awal,” jelas Agus. Oleh karena itu ia beralih mendalami animasi dan bekerja di bidang periklanan hingga sekarang memiliki perusahaan periklanan sendiri. Saat berkarier di bidang periklananlah ia mulai mengolah kawat, dimulai dengan membuat produk untuk kliennya.

“TRANS-FORM #3” menampilkan 18 karya trimatra yang kebanyakan berbentuk mahluk hibrida. Agus terinpirasi dari masalah perubahan iklim dan pemanasan global, yang membuat mahluk hidup yang kita kenal sekarang mulai bertransformasi mengikuti perubahan yang terjadi di lingkungannya. Banyaknya mahluk laut pada pameran ini Agus pilih karena mencairnya es yang menyebabkan kurangnya daratan, kelak memaksa hewan darat untuk dapat beradaptasi atau bertransformasi menjadi hewan laut.

Mahluk hidup yang dimaksud tidak terbatas pada hewan dan tumbuhan, seperti pada kebanyakan yang tampak pada karya, tetapi juga manusia. Hal ini dapat terlihat pada karya Mlungsungi Lan Milih (Bahasa Jawa, berarti “meluruhkan dan memilih”). Untuk mengikuti perubahan lingkungan, anggota tubuh ekstra seperti tangan dan kaki mulai tumbuh pada badan manusia. Manusia tersebut harus memilih anggota tubuh mana yang harus disimpan dan mana yang harus dibuang untuk bertahan hidup.

Pameran karya Agus Kama Loedin berjudul
Pameran karya Agus Kama Loedin berjudul “Transforms” di Artotel, Jakarta. (Foto: Jacky Rachmansyah)

“Pameran ini awalnya saya dedikasikan untuk teman baik saya,” ujar Agus tentang pameran “TRANS-FORMS #1”. Teman yang ia maksud adalah seniman Filipina bernama Don Salubayba yang meninggal pada 2014. Itu sebab pameran ini pertama kali digelar di Filipina.

Oleh karena itu ada satu karya yang didedikasikan khusus untuk Don, yakni karya bertajuk ABDI-NYA yang terletak di lobby Artotel Thamrin. Don dikenal sering menggunakan visual otak di karyanya, dan, ironisnya, ia meninggal karena pendarahan di otak. Oleh karena itu, ABDI-NYA yang berbentuk otak tersebut Agus ciptakan untuk mengenang Don.

Baca juga Having and Giving untuk doctorSHARE

Selain detail yang ditampilkan, hal yang juga perlu mendapat perhatian dalam pameran ini adalah penamaan judul tiap karya. Ada yang menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, ada juga yang menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Tagalog. Judul-judul tersebut seakan-akan menjadi petunjuk untuk para pengunjung menebak bentuk asli karya.

Contohnya Aso K-None yang menggunakan tengkorak anjing (Tagalog: aso, Jawa: asu) dan Baboy Diablo yang menggunakan tengkorak babi (Tagalog: baboy). “Ini semua pengaruh sekolah (arkeologi) saya dulu, karena jurusan itu di bawah fakultas sastra dan budaya,” jelas Agus mengenai kesenangannya bermain dengan kata-kata.

Selain berkarya di Filipina, Agus mengajar di salah satu universitas di sana. Beberapa muridnya ada yang menawarkan diri menjadi artist assistant sekaligus belajar ilmu mengolah kawat darinya. Pikiran untuk mengizinkan muridnya membantu membuat karya pun sempat tersirat di benak Agus. Tetapi, ia lebih memilih untuk menghasilkan karya dengan tangannya sendiri setelah mencoba sekali. “Dalam karya saya tidak bisa (memakai artisan), karena jiwanya (dalam karya) tidak ada.”

Artikel Menekuk Kawat Mengenang Sang Kawan dimuat di majalah SARASVATI edisi Oktober 2017.