Tersirat, pemanfaatan barang temuan sebagai idiom berkarya, di sisi lain menepikan keterampilan tangan seniman.
Bandung Contemporary Art Award (BaCAA) kembali digelar dan tahun ini telah sampai pada edisi ke- 5. Karya 15 seniman finalis yang telah disaring dari 30 seminfinalis, dipamerakan di Galeri Lawangwangi Creative Space, Bandung, pada 5 Oktober – 5 November 2017. Pada malam penganugerahan, terpilih tiga karya terbaik, yaitu karya Deni Ramdani, Etza Meisyara, dan Cynthia Delaney Suwito.
Kecenderungan umum yang segera bisa dicatat, media non-konvensional mendominasi ruang pameran. Maka, Sesuatu di Antara Kerumunan Masyarakat, lukisan cat air di atas kertas karya Muhammad Sabil dan Solaris, lukisan cat minyak di atas kanvas karya Tara Astari adalah segelintir yang bisa disebut konvensional.
Baca juga 15 Finalis Berkompetisi di BaCAA#5
Di tengah kecenderungan macam itu, 0° (nol derajat) karya Deni Ramdani menjadi salah satu pilihan juri sebagai karya terbaik. Plastik berisi air dan segerombolan ikan mas, dilubangi bagian bawahnya dan digantung di atas sebuah gundukan tanah coklat menyerupai sebuah bukit gundul. Air dari lubang menetesi gundukan tanah di bawahnya, perlahan mengikis dan merusak bentuknya.
Metafor ini menggugah kita pada gagasan tentang isu kerusakan lingkungan yang kerap terjadi. Kondisi kritis muncul dalam karya itu: bentuk tanah yang perlahan rusak karena tetesan air, serta kehidupan ikan yang terancam karena air dalam plastik perlahan surut. Tapi hal lain yang mungkin luput, tetesan air juga menumbuhkan benih rumput dalam tanah. Ancaman kematian ikan-ikan yang perlahan, sekaligus menumbuhkan tunas-tunas rumput baru: ada ironi di situ.
Karya Deni itu, sekaligus menunjukkan kecenderungan yang lebih khas: penggunaan barang-barang temuan dalam karya. Seperti Deepthroat, karya Kelvin Atmadibrata. Berupa dokumentasi foto performans menelan boneka serta foto-foto potongan tubuh boneka yang direka menyerupai sebuah adegan cerita. Ada juga karya Etza Meisyara, How Does It Feel To Be Refugee. Instalasi berupa alunan melodi, partitur raksasa, dan sebundel kertas catatan.
Kedua karya ini memperlihatkan bagaimana pengaruh barang-barang temuan terhadap sikap berkarya seniman. Kemudahan akses serta sifat konkret aneka barang itu, seolah membuat seniman sulit memilih bahasa ungkap yang efektif. Tidakkah dokumentasi foto sudah cukup mengungkapkan kesan kekejaman, kekerasan, dan kanibalisme tanpa lagi harus menghadirkan boneka langsung?
Baca juga Wayang-wayang yang Mencarang dari Tubuh Patung
Dan nuansa kesepian yang puitis sudah cukup kita alami dari melihat lembaran catatan dan mendengar alunan melodi. Kita tidak benar-benar perlu untuk mendapati bahwa partitur raksasa itu dibuat dari aneka alat makan. Makna metafor yang bertumpuk justru memungkinkan baurnya maksud dan pesan dari karya.
Within Walking Distance karya Ratu Rizkitasari, sebuah instalasi yang sebelumnya disertai sebuah performans. Ratusan lonceng emas kecil berserak di lantai disusun membentuk garis. Ratu menyusunnya sembari mengikatkan kaki pada tali tambang yang sekaligus mengerek sebuah pot bunga hingga ke atas. Tentu saja, cara kita melihat performans itu berbeda dengan instalasi yang tercipta kemudian.
Pada instalasi setelahnya, jejak-jejak performans yang khusyuk dan puitis pada lonceng-lonceng yang berserakan, seperti tenggelam di antara barang-barang yang lebih masif ukurannya. Meja kayu, sekop, ranting kering, dan tali tambang yang melintang ke atas, merebut perhatian kita dari “kekhusyukan” mengamati lonceng-lonceng itu.
Apa boleh buat. Dari keterangan karya yang ada, aneka barang temuan itu dipungut karena punya ikatan dengan memori dan perasaan yang dialami oleh seniman. Meski memakai barang temuan, ternyata para seniman ini tetaplah melankolis. Alih-alih menghadirkan pengalaman yang konkret dan langsung pada kita, barang-barang itu pada akhirnya tetap menjadi tanda metafor yang sangat personal milik seniman. Sebagian besar malah sulit kita temukan korelasi kehadirannya dalam karya.
Baca juga Parrhesia, Kecintaan Tjutju Widjaja Pada Anak-anak
Jauh di luar kecenderungan itu ada karya Cynthia Delaney, Holding Breath. Menampilkan data sekaligus instruksi berupa rumus. Tahanlah napas sebisa Anda, bagi waktu dengan 7,5 miliar (perkiraan jumlah manusia di bumi) maka Anda mendapatkan jumlah oksigen, yang diandaikan, Anda donasikan. Ada kesadaran tentang isu lingkungan yang digugah lewat nalar, bukan emosi.
Deretan data dalam karya ini didapat dengan partisipasi berbagai macam orang, yang membuat karya ini hadir sebagai sebuah karya seni parsipatoris –dan sayang, partisipannya bukan kita yang berada di galeri. Hasilnya, kita menghadapinya sebagai data-data yang “dingin” tanpa muatan emosional.
Melengkapi catatan kecenderungan di atas, beberapa hal masih menarik untuk dicatat. Tersirat, pemanfaatan barang temuan sebagai idiom berkarya, di sisi lain menepikan keterampilan tangan seniman. Keterampilan mengenali karakter medium, mengolah dan menjadikannya bentuk ungkapan dalam karya.
Dalam soal ini, karya Geugeut Pangestu, Di Dalam Kelambu Tertutup patut diapresiasi. Dengan karakter kertas daur ulang buatannya, kesan ringkih, usang, dan lapuk muncul mendukung memori kita tentang lukisan Sudjojono Di Depan Kelambu Terbuka. Kesederhanaan warna yang hanya putih, juga menambah kesan misterius.
Catatan lainnya sehubungan dengan seniman yang berpameran. Dari 15 finalis, 10 seniman (sebagian besar dari Bandung) adalah kelahiran tahun 1990-an. Menghubungkannya dengan perguruan tinggi, mereka ini baru lulus sekitar 1 -2 tahun belakangan. Ini boleh jadi menampakkan kenyataan masih terus berjalannya regenerasi seniman –terutama di Bandung.
Di tengah medan seni rupa yang belum benar-benar tampak masif geliatnya hari ini, bagi angkatan mereka, peluang seperti kompetisi seni rupa adalah pilihan jalan yang layak untuk memulai karier dan menunjukkan eksistensi.
Baca juga Merayakan Seni Digital Dua Negara
Terakhir, melihat pameran ini, kecenderungan yang umum adalah eksplorasi dan eksperimen medium serta tema-tema –selain personal—yang berhubungan dengan kondisi hari ini. Tentu saja, status “kontemporer” bukan hanya monopoli karya-karya yang mengandung dua kecenderungan itu. Bukankah spirit seni rupa kontemporer di antaranya, boleh apa saja..?
Tapi sehubungan dengan kompetisi seni rupa kontemporer semacam BaCAA, terbersit pertanyaan: andaikata seorang seniman terampil, dengan gagasan yang mendalam dan kritis terhadap kondisi aktual lingkungannya, membuat sebuah karya yang dibilang “konvensional”, adakah ia punya peluang menjadi karya terbaik?
Artikel BaCAA #5, Yang Konvensional Masih Harus Antre dimuat di majalah SARASVATI edisi November 2017.
Danuh Tyas – Kurator Galeri Soemardja & Dosen Seni Rupa ITB