Dinding putih di salah satu sudut Museum Sejarah Jakarta memproyeksikan seorang perempuan berambut panjang menyapu lantai dengan gerak yang monoton. Dia mengumpulkan pasir-pasir yang memenuhi ruangan kemudian menumpuknya. Terkesan hanya kegiatan iseng belaka? Tapi coba Anda mendekat kemudian sadari kalau pasir yang disapunya ternyata susunan motif keramik yang menimpa pola yang sudah ada di ubin.
Seniman Palestina-Arab Dana Awartani membawakan I went away and forgot you. A while ago I remembered. I remembered I’d forgotten you. I was dreaming sebagai karya yang dipamerkan di Jakarta Biennale dan menempati ruang di Kota Tua.
Baca juga Sebuah Refleksi dari Kompleksitas Jiwa David Gheron Tretiakoff
Sesungguhnya Dana ingin menceritakan bagaimana arsitektur tradisional telah digantikan dengan estetika kebudayaan Eropa demi “kemajuan” peradaban. Akar tradisional yang merepresentasikan jiwa itu sendiri seringkali tercerabut demi mengupayakan modernitas.
Gambaran yang kurang lebih sama dapat dilihat dalam film dokumenter The Last Puang Matoa, juga di Museum Sejarah Jakarta. Keterasingan komunitas Bissu di Bugis antara diyakini ataupun dianggap sebagai kebutuhan wisata namun tidak dijaga sebagaimana mestinya.
Komunitas Bissu sudah kehilangan Puang Matoanya, pemimpin tertinggi yang dianggap sebagai penghubung kepada leluhur sejak 2011 lalu. Sejak Puang Saidi meninggal, tidak ada yang mau menggantikan beliau. Antara ketakutan akan dijemput kematian dan juga menolak keterasingan yang harus dijalani sebagai salah satu bentuk ritual adat. Entah bagaimana keberlanjutan komunitas Bissu sekarang, pun I La Galigo yang merupakan epos penciptaan bumi menurut kepercayaan Bugis sepertinya berhenti di Puang Saidi.
Sejak 4 November lalu, geliat “Jiwa” Jakarta Biennale terus bersuara. Menariknya lagi Jakarta Biennale tidak hanya mengisi ruang di Gudang Sarinah Ekosistem saja tetapi juga dua spot di Kota Tua yaitu Museum Sejarah Jakarta dan Museum Seni Rupa & Keramik.
Baca juga Seniman Muda Meriahkan Artotel Week
Selain Dana dan Komunitas Bissu, masih banyak seniman-seniman lain yang berpartisipasi mengisi ruang di kawasan Kota Tua. Dolorosa Sinaga, Otty Widasari, Nikhil Chopra, Mathieu Kleyebe Abonnenc, Em’kal Eyongakpa, Ratu Rizkitasari Saraswati, Gabriela Golder, dan Hito Steyerl adalah seniman lainnya yang mengisi ruang di Museum Sejarah Jakarta. Sedangkan di Museum Seni rupa & Keramik diisi oleh karya Pawel Althamer, Alastair Maclennan, Wukir Suryadi dan Karrabing Film Collective.
Tidak hanya pameran karya para seniman saja yang masih terus menjadi bahan amatan para pengunjung tetapi juga performance art yang rutin diadakan setiap Sabtu dan Minggu di Kota Tua dan weekday di Gudang Sarinah Ekosistem.