Mayoritas karya kertas yang dipamerkan menyuguhkan masalah-masalah kekinian dalam berbagai bentuk.
Begitu memasuki ruang pameran pada pembukaan ‘The Bandung Paper Art Show’ di Museum Sri Baduga, pengunjung langsung disodori performance art Isa Perkasa. Isa mengolah topik korupsi yang terjadi belakangan ini sebagai titik berangkat karyanya.
Tikus-tikus dari guntingan kertas diletakkan di lantai museum. Isa sendiri membakar kertas. Asap menguar di pojok ruangan. Perfomance art Isa diakhiri dengan menaburkan tepung ke atas potongan kertas hitam yang membentuk hewan tikus. Tidak ada suara yang muncul kecuali gerak Isa.
Kemunculan kertas tidak hanya ada di performance art Isa Perkasa. Media kertas juga menjadi cerita utama karya 27 seniman yang dipamerkan 1-14 November 2013. Pameran bertajuk Paperium: Perspective Creativity ini dikuratori Setiawan Sabana, M. Dwi Marianto, dan Wayan Seriyoga Patra.
Dalam pameran ini, karya-karya diciptakan para seniman untuk merespon berbagai masalah dengan kertas sebagai medium utamanya. Kertas digunakan untuk merayakan ekspresi dalam seni rupa. Mengambil tempat di lantai dua di Museum Sri Baduga, pameran ini memajang berbagai karya dua dimensi, tiga dimensi, dan seni video.
“Pameran ini menghadirkan karya-karya bermedium kertas dengan respon terhadap yang kontemporer dan tradisi. Dalam pameran ini dapat dilihat masa depan kertas dari perspektif kreatif,” ungkap Setiawan Sabana selaku kurator.
Berbagai tema diketengahkan para seniman yang berasal dari Bandung, Yogya, Korsel, Jakarta, Bali, Malaysia, dan seniman Indonesia yang tinggal di Australia. Mayoritas seniman menyoroti hal-hal terkini, dan ini tampak dari perwujudan karyanya.
Misalkan karya Dhyani Widiyanti Hendranto yang mengusung paper sculpture dan seni video dengan judul Archieve of Displacement (2013). Karya tersebut berupa bunga putih yang panjang dan pendek terbuat dari kertas putih dan dipajang di atas kain hitam seluas kurang lebih 2,5 meter yang menutupi dinding dan sebagian lantai.
Tidak ada sosok manusia yang muncul dalam videonya kecuali bunga kertas putih tengah bergerak dari satu dataran tanah ke dataran tanah yang lain. Naik-turun melintasi daratan berpasir yang dimaksudkan sebagai gurun pasir. Terus-menerus. Namun perlahan muncul situasi sebuah kisah dari objek kertas itu mengenai perjalanannya tersebut. Ada yang menyosok pada bunga kertas yang bergulung-gulung itu. Entah apa namanya.
Karya Hilman Syafriadi yang berjudul Kertas sebagai Media Perjuangan Ideologis (2013) menggunakan materi tiga sepeda yang semuanya ditutupi oleh kertas koran. Karya ini mengingatkan pada waktu embusan media elektronik belum sekencang sekarang, yang mana koran adalah pewarta utama untuk memberitakan soal-soal politik.
Dalam konteks ini, kita bisa berkaca pada perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Koran dan sepeda menyiratkan sebuah ide yang bergerak untuk cita-cita politik tertentu. Koran menyampaikan ide-ide, sementara sepeda menyimbolkan pergerakan atau perjuangan.
Sementara karya Ismet Zaenal Effendi membuat karya kertas yang diolah lantas ditempel-tempelkan pada papan. Karya berjudul Threesome: Human, Myth, and Sex berukuran 135x100x10 cm (2013). Perwujudan karya ini terasa teror lantaran yang muncul di atas papan berupa tiga kerangka manusia dalam posisi beradegan seks.
Bukan sensasi berahi yang muncul, tetapi kodrat manusia sebagai spesies yang diliputi tragedi. Kerangka manusia yang disampaikan lewat karya ini tidak lebih ungkapan kegembiraan yang dilatari oleh kesementaraan dan perayaan di atas tragedi kondisi alamiah manusia itu sendiri. Kertas yang dilekatkan pada papan itu tidak lain kesementaraan juga. Alhasil, karya ini kuat sekali pesannya baik dari sisi ide maupun materi yang digunakan.
Mayoritas karya yang dipamerkan ini tidak lain respon terhadap soal-soal kekinian. Dari sekian karya hanya satu karya yang merupakan hasil renungan yang digali dari nilai-nilai tradisi. Karya itu berupa instalasi berjudul Bumi Kertas ciptaan Setiawan Sabana. Karya itu mengambil tempat tidak kurang tiga meter persegi.
Di dalam karya itu muncul lesung, bubu, boboko, dan kertas. Kemudian ada tiga orang yang memainkan alat musik tradisional Sunda di sisi karya tersebut. Kertas-kertas putih ada yang tersebar di lantai, dicantelkan di langit-langit museum, ada yang dicantelkan di dinding samping karya.
Karya ini mengungkapkan suasana spiritual yang diambil dari kearifan lokal Sunda. Lesung, bubu, boboko adalah alat-alat utama dalam masyarakat Sunda dalam memenuhi kebutuhan makan.
Alat-alat itu mencirikan masyarakat Sunda yang agraris dengan budaya perairan daratan yang kental. Alam secara tidak langsung muncul dari peralatan itu sekaligus menyarankan situasi transendensi yang muncul dari kertas putih yang menjuntai lepas dari atas ke bawah.
“Karya saya merupakan penggalian dari tradisi Sunda mengenai spiritualitas,” ungkap Setiawan Sabana terkait karyanya.