Memori kita sudah terbiasa menangkap apa-apa yang sifatnya mainstream dan diberitakan berulang-ulang menjadi informasi yang tertanam mati di dalam ingatan. Sebagai contoh, setiap kali mendengar nama Chairil Anwar pasti langsung terkoneksi dengan puisi-puisi dan ungkapan yang dipopulerkannya, Boeng, ayo Boeng! Sama halnya dengan Charlie Chaplin yang identik dengan cara jalannya yang tak biasa.
Dalam pameran tunggalnya yang bertajuk Iconic (10-22 November 2017) di Gedung A Galeri Nasional Indonesia Jakarta, Yuswantoro Adi mengajak kita mempertanyakan kembali ingatan akan tokoh-tokoh ikonik dunia tersebut. Seolah ada cerita tersembunyi yang belum sempat “terbaca” karena kita disibukkan dengan fakta-fakta yang dibingkai media.
Baca juga Tentang Risiko Mencintai Penyair
Misalnya seperti pada Kembar Tiga, Yuswantoro menampilkan tiga ikon; Charlie Chaplin, Hitler dan Jojon yang ketiganya memiliki benang merah kumis “sikat gigi”. Cara Yuswantoro menempatkan ketiga ikon ini secara berdampingan adalah bentuk humor yang menyentil. Betapa tipisnya perbedaan kejeniusan dan jiwa psikopat bermukim dalam diri manusia.
Kemudian ada Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi yang cukup oksimoron. Mau hidup seribu tahun lagi tapi merokok? Dan Yuswantoro memperjelas kondisi tersebut dengan menempatkan tangan yang memegang rokok di bawah lukisan Chairil.
Karya yang menyentil lainnya adalah Indonesia Continental yang mengandaikan jika Indonesia bukan sebagai negara kepulauan melainkan daratan. Apakah kita akan terberai oleh jarak juga?
Bukan hanya penuh sentilan tetapi penggalian data yang dalam membuat karya-karyanya tidak hanya artistik tetapi juga bernas. Dalam The Beach of Susi, Yuswantoro melakukan riset khusus untuk nama-nama terumbu karang yang ditampilkannya dalam lukisan. Sama seperti yang dilakoninya ketika membuat Masterpiece of Indonesia 21 tahun lalu. Tidak ada yang bisa melupakan detail luar biasa dari uang Indonesia yang terlukis dalam karya yang memenangkan Grand Prize Winner Phillip Morris Asean Art Award di Manila, Philipina 1997 tersebut.
Baca Juga Seni Pembebasan Semsar Siahaan
Lalu ada yang membandingkan karya-karya Yuswantoro sekarang dengan masterpiece-nya tersebut. Seperti tarikan garisnya yang sudah berbeda, detail yang tidak tajam lagi dan lain-lain. Bisa jadi ini dianggap sebagai kemunduran atau fase metamorfosis seorang seniman? Pastinya, tidak ada yang berubah dari seorang Yuswantoro. Mulai dari filosofis, kenyinyiran, humor dan kemanusiaan yang konsisten dia tampilkan dalam setiap karya-karyanya.
Total ada 20 karya yang dipamerkan berikut puluhan karya lukis anak-anak yang menjadi anak didik Yuswantoro di Art For Children (AFC). Pameran yang dikuratori oleh Kuss Indarto ini menjadi pameran tunggal ketiga dalam sejarah perjalanan kreatifnya.