Sastrawan Indonesia Goenawan Mohamad menggelar pameran tunggalnya yang bertajuk Ke Te-ngah di Kiniko Art Sarang Building, Blok 2, Yogyakarta (18/11). Pameran yang berlangsung hingga 30 November 2017 ini dibuka oleh seniman Djoko Pekik dan merupakan rangkaian acara dari pararel event Biennale Jogja XIV – Equator.
Pada pameran tunggalnya kali ini, Goenawan Mohamad mencoba menerjemahkan imaji- imaji puisi ke dalam garis dan warna. Kata yang memanggil benda-benda kini digantikan dengan apa yang muncul dari kuas dan pensil melalui tangannya sendiri.
Baca juga Diplomasi Seni Franziska Fennert
Dalam proses kerja seni rupa, dia menerapkan pola yang sama dengan caranya menulis sajak. Sajak yang dibuat oleh Goenawan tidak dimulai dan dibimbing dari ide, melainkan dari apa yang datang ke dalam pengindraan. Proses ini dianggap lebih tepat karena melibatkan apa yang dekat dengan tubuh; gerak tangan, penglihatan, dan warna. Bagi dirinya, kesenian bisa berarti dengan menjanjikan hidup yang tidak monoton, doktriner, atau latah. Pameran Ke Te-ngah ini adalah pemenuhan janji tersebut.
Pameran ini juga menghadirkan esai karya seniman Ugo Untoro, tulisan Ugo dimuat dalam katalog pameran yang membicarakan tentang bagaimana dia mengamati karya-karya sketsa Goenawan. Ada duet tukar posisi yang menarik pada pameran ini, pelukis yang menulis dan sastrawan yang melukis.
Sebanyak 53 karya sketsa dengan medium tinta dan pensil warna yang ditorehkan pada kertas terpajang di seluruh ruang pamer. Karya-karya ini menangkap objek manusia, hewan dan benda. Objek yang dihadirkan berasal dari pengalaman dan ingatannya sendiri. Karya-karya ini berangkat tanpa landasan ide, menyiratkan sesuatu yang mengambang tentang sudut pandang terhadap sebuah ingatan.
Kecenderungan dalam proses berkarya seperti itu membuatnya menolak konseptualisme ala Sol LeWitt yang menganggap ide sebagai “mesin yang membuat seni”. Baginya, konseptualisme lama-kelamaan justru mengingkari apa yang mereka lahirkan sendiri, sesuatu yang hadir dan mendapatkan respon dalam bentuk-bentuk yang dipersepsikan.
Baca juga Mempertanyakan Ingatan Lewat “Iconic” Yuswantoro Adi
Tidak seperti sketsa on the spot pada umumnya yang terlihat ekspresif dan emosional, sketsa karya Goenawan lebih terlihat kaku dan dingin. Komposisi objek, penataan tulisan, penempatan serta pemilihan warna mengisyaratkan pada proses yang hati-hati dalam menerawang ingatan ke dalam karya rupa.
Dia mencoba menarik keadaan secara langsung dari apa yang pernah terlewatkan, fantasi menuntun hasil pada goresannya. Sehingga bisa dibilang ketika kita melihat karya-karyanya seumpama membaca puisi tanpa judul.
Dia seolah sedang meng-“Ke Te-ngah”-kan segala pengalamannya di dunia seni tanpa menghiraukan konseptualisme dalam penciptaan karya. Baginya, cara seperti ini melahirkan sesuatu yang nisbi, dia ada dalam sebuah konstelasi dari pelbagai posisi. Kesenian hanya menarik jika yang “pelbagai” itu hidup.
Menurut Ugo Untoro, sketsa-sketsa Gunawan Mohamad berisi lintasan – lintasan sesaat dari ketiba-tibaan, ketidaksengajaan, kekurangan dan kegagalan. Garis-garis halus pada beberapa sketsanya mengingatkan pada bentuk garis Oesman Effendi atau Mochtar Apin.
Kemunculan bentuk-bentuk deformatif dan vignetis sepertinya didapat dari bentuk-bentuk patung primitif, wayang, atau pengalaman membaca cerita, legenda, dan mitos dari berbagai suku bangsa, lalu menariknya sebagai miliknya dan mengilustrasikan itu sebagai hal serupa yang berlangsung di sekitarnya. Lewat sketsa, dia membeberkan tentang apa saja yang melintas dalam pikirannya.
Baca juga Proses Menjadi Mentah
Pameran Goenawan Mohamad kali ini, membiarkan kita mengakses isi pikiran seorang sastrawan kondang Indonesia yang mentrasformasikan kebiasaan-kebiasaannya menulis ke dalam ranah penciptaan karya seni rupa.
Ini sekali lagi membuktikan produktivitas seorang Goenawan tidak hanya di bidang sastra dan jurnalistik namun juga dalam dunia seni rupa. Terbukti dari empat kali pameran tunggalnya dalam dua tahun terakhir.