Suklu memandang novel tersebut layaknya sebuah tubuh, dan sosok sastrawan adalah ruh yang mengisi tubuh tersebut. (Foto: Dwi S. Wibowo)

Merupakan sesuatu yang lazim ketika seorang perupa mencoba beralih dari medium konvensional layaknya sebidang kanvas maupun sehelai kertas kosong. Apalagi dengan memanfaatkan benda-benda yang ada di sekitarnya sebagai medium untuk mencurahkan kreativitas.

Sebagaimana yang dilakukan Wayan Sujana, perupa asal Klungkung yang karib disapa Suklu ini tengah mengeksplorasi lembar-lembar halaman novel sebagai medium mengekspresikan gambar-gambarnya yang dihadirkan dalam pameran bertajuk  “Intermingle Art Project: Drawing on Novel di Bentara Budaya Bali, pada 28 November hingga 6 Desember 2017. Selain menghadirkan karyanya, Suklu juga mengajak sejumlah seniman lain untuk merespons karyanya dalam pameran ini.

Bermula dari sebuah tempat pendaur ulang kertas, novel-novel bekas yang sebenarnya masih layak baca itu diselamatkan dari nasib buruk menjadi rumput kertas. Bagi Suklu, novel-novel itu tidak hanya dilihat sebagai sebuah bendel kertas yang ketika selesai dibaca bisa dibuang bahkan dihancurleburkan. Setiap halaman yang ada di dalamnya, menyimpan kebijaksanaan dari para sastrawan penulisnya.

Baca juga Pencapaian Rasa Lima Perupa

Sebagai seorang perupa, Suklu memiliki kekaguman yang tinggi pada para sosok sastrawan yang berhasil memunculkan ide, narasi, bahkan kebijaksanaan yang bisa menjadi tuntunan hidup bagi para pembacanya. Refleksi itu muncul dari pengalamannya membaca naskah klasik seperti Mahabharata atau Ramayana, yang kemudian diterapkannya juga ketika memandang karya-karya sastra kekinian, yaitu novel.

Kekaguman itu menuntunnya untuk membayangkan dimensi alam pikiran para sastrawan saat mereka menuliskan narasi, dan mencoba menyamakan frekuensi melalui goresan-goresan pada setiap lembar novel setebal 500-an halaman itu.

Menggambar pada novel ini telah dilakukan oleh Suklu sekitar 15 tahun lebih, tidak dijelaskan berapa jumlah pasti novel yang telah dihiasi dengan goresannya. Novel-novel itu tidak hanya berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak di antaranya yang berbahasa Jerman, Rusia, bahkan beraksara Jepang.

“Intermingle Art Project: Drawing on Novel” di Bentara Budaya Bali, pada 28 November hingga 6 Desember 2017.
“Intermingle Art Project: Drawing on Novel” di Bentara Budaya Bali, pada 28 November hingga 6 Desember 2017. (Foto: Dwi S.Wibowo)

Keberagaman bahasa pada novel-novel tersebut, tentu saja memunculkan kecurigaan bahwa dalam menggambar di dalamnya, Suklu tidak melakukannya sembari membaca dan memetik hikmah dari setiap kalimat yang ada. Hal itu memang diakuinya, sebagai perupa yang juga kerap diminta membuat ilustrasi untuk cerita pendek, ternyata muncul ketakutan kalau goresan pada novelnya hanya akan menjadi ilustrasi belaka.

Baca juga Lemak Hewan Penghasil Visual

Suklu cenderung merespons novel sebagaimana sebuah buku dengan segala aspek formalitasnya; ketebalan, kertas yang menguning, susunan aksara di dalamnya, termasuk desain sampulnya. Suklu memandang medium novel yang dipakai layaknya sebuah tubuh, dan sosok sastrawan adalah ruh yang mengisi tubuh tersebut.

Dia mengisi setiap halaman tubuh itu dengan gambar-gambar rekaannya secara intuitif. Hasrat mencipta sebagai seorang perupa memang kerap menginginkan posisi yang lebih otoritatif daripada sekadar menjadi kepanjangan tangan dari si novelis dengan menghadirkan narasi visual. Jika demikian, lantas seberapa penting hadirnya sebuah novel dibandingkan dengan buku-buku lainnya?

Dalam sesi diskusi yang dilakukan pada 3 Desember lalu, Suklu mengungkapkan bahwa ada dimensi yang bersifat spiritual dan seringkali menakjubkan pada setiap  perjumpaan dengan sebuah novel. Seringkali muncul kegembiraan ketika menemukan novel yang telah diterjemahkan ke bahasa asing dari sastrawan yang dikenalnya, atau menemukan sebuah hubungan antara gambar-gambar intuitifnya dengan judul novel yang tidak dia ketahui sebelum diterjemahkan.

Peristiwa semacam itu lebih dilihat sebagai sesuatu yang tidak terduga, karena kegiatan membaca novel justru dilakukan setelah usai menggambari halamannya. Seperti pengalamannya dengan novel karya Dee Lestari, yang dia beli beberapa eksemplar sekaligus.

Baca juga Susahnya Menjelaskan Diri

Pilihan Suklu untuk tidak membaca novel yang akan digambarinya itu kemudian dapat dipahami sebagai sebuah ritus personalnya sebagai seorang perupa, yang mencoba menghubungkan dirinya dengan sosok sastrawan yang ada di berbagai belahan dunia, bahkan mungkin ada yang telah meninggal.

Sebagaimana ditulis oleh Arif Bagus Prasetyo pada catatan pengantar pameran, bahwa Suklu berusaha memahami sosok sastrawan tersebut melalui dimensi metafisis, bukannya analitis atau biografis. Hal ini tentu menimbulkan jarak pada diri kita sebagai penikmat karyanya untuk memahami ritus yang tengah dilakukan oleh Suklu, karena hanya dirinya sendiri yang bisa merasakan sensasi hubungan imajiner antara dirinya dengan sosok sastrawan tersebut. Sedangkan kita, hanya bisa mengamatinya dari gambar-gambar yang ada di setiap lembaran novel sebagai sebuah artefak estetik.

Namun, tidak sekadar berhenti di sana, karya “Drawing on Novel” Suklu juga dihadirkan melalui respons dari seniman lintas disiplin. Mereka ditawari untuk memilih sebuah novel yang telah berisi gambar, kemudian melakukan penciptaan karya baru. Inilah yang dimaksud “Intermingle” dalam pameran ini.

Ratna Cora, "The Power of Sincronize"
Ratna Cora, “The Power of Sincronize” (Foto: Dwi S. Wibowo)

Proses penciptaan karya dari seniman-seniman lain tidak melulu harus berupa interpretasi dari gambar-gambar yang dibuat oleh Suklu, novel itu bisa saja hanya sebagai pemantik dan si seniman bisa membuat karyanya secara mandiri. Para seniman yang terlibat memiliki latar yang berbeda seperti arsitek, pematung, fashion designer, graphic designer, seni pertunjukan, musik, dan seni instalasi. Beberapa di antaranya merupakan pematung batu paras tradisional Bali yang memindahkan goresan-goresan dalam novel Suklu menjadi bentuk-bentuk arkaik pada permukaan batu paras.  

Wayan Sabath, "The Gravity of Accross Feather"
Wayan Sabath, “The Gravity of Accross Feather” (Foto: Dwi S. Wibowo)

Baca juga Teguran Khas Butet Kartaredjasa Lewat “Goro-goro Bhinneka Keramik”

Di dalam ruang galeri, karya-karya yang dihadirkan oleh seniman lain justru nampak lebih meriah dengan ukuran yang besar dan jumlah yang masif, melampaui tumpukan novel yang hanya segelintir jumlahnya, pun harus dibuka sendiri oleh pengunjung pameran. Seperti sebuah iring-iringan karnaval, karya pengiring justru lebih menarik perhatian dibandingkan karya utama. Atau barangkali, Suklu ingin menegaskan bahwa goresan-goresan intuitifnya di lembar-lembar novel tak berharga itu, bisa memantik ekspresi yang jauh lebih besar darinya.