Menikmati lukisan-lukisan Aisul menarik karena kita berada di luar pusaran gagasan yang eksplisit. Lukisan ini tidak mengajak mempersoalkan sebuah isu tertentu. Penikmat dibebaskan terhadap segala pemikiran.
Energi #4, 100x140cm, akrilik di atas kanvas, 2013
Begitu masuk ke Galeri 3 TIM, pengunjung dihadapkan pada kanvas-kanvas putih dengan sapuan-sapuan dari akrilik warna hitam-putih. Sapuan warna hitam di tengah kanvas tidak membentuk figur atau objek apa pun. Sapuan hitam itu seakan tidak bermaksud menyampaikan maksud sebagai sebuah pesan. Sapuan hitam tanpa bentuk itu dikasih totol-totol putih. Sementara pada warna putih muncul totol-totol hitam.
Yang tertangkap dari kanvas itu harmoni. Kita senang memandangi lukisan itu. Karya-karya itu menawarkan kedamaian permainan antara hitam dan putih, dan paduan di antaranya mengantarkan pada keinginan untuk berlama-lama di depan lukisan itu. Dalam jarak pandang tertentu, dinamika antara hitam dan putih dalam bidang kanvas tersebut semakin merasuk.
Pameran lukisan dan sketsa di Galeri 3 Taman Ismail Marzuki 20-28 November 2013 adalah pameran tunggal Aisul Yanto yang diberi tajuk Energy Poetry. Pameran ini menghadirkan 36 karya, yang terdiri dari 29 lukisan dan sisanya sketsa. Adapun rentang tahun pembuatannya 2004-2013.
Dalam rentang panjang itu dapat dicermati lukisan Aisul konsisten dengan pilihan warna hitam putih dengan pola non-figuratif. Beberapa karya lukisnya yang ia buat pada 2013 memasukkan warna merah di dalam warna hitam.
Kenapa mengangkat topik energi? “Energi hadir dalam manusia maupun dalam alam semesta. Hadir dalam jagad cilik (manusia) dan jagad gedhe (semesta). Semua itu bagian tak terpisah dari kosmos,” jelas Aisul Yanto.
Energi #6, 175x145cm. akrilik di atas kanvas, 2013
Karena itu, Aisul demikian akrab dengan perenungan Timur – Jawa khususnya – di mana ia secara kultural tumbuh. Sebuah kultural yang berdasarkan rasa pangrasa yang selalu menjaga harmoni baik dalam setiap kehidupan. Tetapi konsep demikian tidak hanya di Jawa, tapi hampir semua kultural yang disebut Timur terkait dengan harmoni. Harmoni ada di China, India, juga Jepang. Hanya saja, secara visual kita tidak dengan mudah menemukan ke mana rujukan lukisan-lukisan Aisul Yanto. Justru yang terlintas dari lukisan itu adalah tanda-tanda dari suku di Papua yang kental dengan totol-totol putih di badan para penari atau orang adatnya.
Mari kita cermati lukisan berjudul Energi #2 ukuran 100x140cm (2013). Tampak seperti lukisan badan ular warna hitam bergulat, tetapi tidak ada kepala dan ekornya. Pada badan hitam itu terdapat totol putih dan titik-titik hitam. Sementara di luar bentuk hitam itu muncul totol-tool hitam sehingga di dalam putih ada hitam, juga yang putih ada hitam. Sebuah keseimbangan.
Begitu juga lukisan Energi #4 dengan ukuran 100x140cm (2013). Dalam lukisan ini bentuk hitam di atas warna putih tidak setegas pada lukisan Energi #2. Warna hitam tidak membentuk bulatan bundar serupa badan ular. Ia berupa sapuan lebar dan totol-totol putih di atas warna hitam. Kemudian muncul warna merah di sela-sela warna hitam. Di luarnya, yakni warna putih yang membentang, ada totol-totol hitam. Ada gerak memusar yang bisa dirasakan dari pengautruan bentuk hitam dan permainan totol putih dan totol hitam.
Pada lukisan Energi #6 dengan ukuran 175x145cm (2013) yang tampak lebih enak di mata, tampak gumpalan hitam di atas kanvas, memanjang, dan dipenuhi totol-totol hitam. Sementara di bawahnya gumpalan hitam lebih luas memakai separuh lebih kanvas itu. Gumpalan itu tidak menceritakan apa-apa, tetapi seakan memberi gerak ritmis di antara permainan hitam di atas putih dan putih di atas hitam. Lukisan ini menawarkan sebuah “gerak pelan”, dalam, dan lebih reflektif daripada 2 lukisan yang disebutkan di atas.
Energi #2, 100x140cm, akrilik di atas kanvas, 2013
Bedakan dengan lukisan Energi Jakarta #5 130x100cm (2007). Gumpalan hitam berupa suluran-suluran ini menawarkan kesan yang riuh, jauh dari ketenangan, jauh dari situasi reflektif. Antara hitam dan putih bersaing dan seakan meniadakan satu sama lainnya. Kehiruk-pikukan itu nyaris tanpa menyisakan ruang kosong untuk mengatur jeda atau menjaga jarak. Lukisan ini mewakili dari apa yang bisa dirasakan oleh penghuni Kota Jakarta.
Menikmati lukisan-lukisan Aisul menarik karena kita berada di luar pusaran gagasan yang eksplisit. Lukisan ini tidak mengajak mempersoalkan sebuah isu tertentu. Penikmat dibebaskan terhadap segala pemikiran. Hanya saja, pada suatu ketika akan merasa jenuh lantaran lukisan antara satu sama lain cenderung seragam, terlebih rentang lukisannya dibuatnya hingga 9 tahun.***