Di tengah riuhnya kondisi dunia yang sibuk dengan materialisme dan pencapaian-pencapaian modernitas lainnya, Jakarta Biennale 2017 (5 November – 10 Desember 2017) hadir mengusung tema jiwa untuk mengingatkan kembali esensi kehidupan yang sejatinya.
Ada nuansa magis yang menyeruak ketika menjejakkan kaki di instalasi besar yang terbangun atas batu-batu apung buah karya I Made Djirna. Seniman asal Bali ini menggantung ribuan batu apung yang sudah diukirnya membentuk dua sisi sehingga menciptakan lorong untuk dijalani pengunjung.
Sensasinya memang tak biasa. Setiap kali melangkah, seperti ada ribuan pasang mata yang memandangmu dengan beragam ekspresi. Mulai dari menyeringai, berkerut, tertawa dan mimik-mimik tak terjelaskan lainnya. Perjalanan mengitari maha karya I Made Djirna ini membuat kita tersedot ke masa ribuan tahun lalu dimana manusia masih mengenal esensi dan tidak kehilangan jiwanya.
Baca juga Biennialisasi Indonesia
Ada banyak pemahaman mengenai jiwa, bisa sebagai nilai-nilai luhur tradisi, lokalitas, dorongan lahiriah kemanusiaan hal-hal yang memberikan nafas dan makna pada kehidupan. Dalam karyanya yang berjudul Unsung Heroes tersebut, I Made Djirna mencoba merespons perubahan wajah Bali sebagai dampak modernitas dan paparan turisme.
Bagaimana masyarakat sudah kehilangan relasi dengan jiwa-jiwa purba dan kesanggupan membaca alam. Ketika alam hanya dijadikan pemuas estetis, manusia sudah tidak bersinergi lagi dengan semesta.
Jika I Made Djirna membawa kita menjelajah pada pengalaman masa lampau dan ikatan tradisi alam sebagai ibu bumi, Hanafi melakukan pendekatan karya melalui dorongan lahiriah manusia yaitu bahasa. Hanafi membangun karyanya, Perjumpaan Pertama dengan Bahasa lewat dinding dengan ratusan pensil-pensil yang mencuat tajam. Selain dinding berpensil. Hanafi juga menciptakan baju dengan cuatan pensil dan berbagi pengalaman kepada pengunjung untuk mengenakan baju tersebut dan melewati kamar dengan dua sisi dinding polos.
Sesungguhnya kita selalu membawa bahasa-bahasa yang tak tertuliskan. Kemanapun melangkah, kita akan meninggalkan “jejak-jejak” cerita kepada orang-orang yang ditemui. Apakah itu melalui gerak tubuh, mimik wajah, obrolan langsung, seulas senyum sekalipun. Bahasa-bahasa tanpa kata akan membahasa dengan sendirinya. Memantul dan terpantulkan, mengembang menjadi energi yang memberi dampak lebih luas lagi. Hati-hati dengan “bahasamu” tidak selamanya yang memancar adalah energi positif!
Satu demi satu karya yang terpajang di Gudang Sarinah Ekosistem sebagai lokasi pameran seni, menggoda untuk dicerna lebih dalam dan dimaknai secara nyata. Begitu banyak bentuk “jiwa” yang menarik untuk digali lebih dalam.
Baca juga Biennale Mini yang Minim
Total ada 51 seniman yang berpartisipasi dalam Jakarta Biennale 2017. Keikutsertaan para seniman luar menambah khasanah mengenai pemaknaan jiwa yang lebih luas. Dineo Seshee Bopape, seniman asal Afrika Selatan ini membawa material tanah ke dalam bentuk yang politis sekaligus religius.
Ke Mollo adalah karya yang melambangkan pemberontakan jiwa manusia yang dilatar-belakangi oleh Revolusi Haiti tahun 1791 yang menjadi cikal-bakal pemberontakan para budak pada era tersebut. Di sisi lain, Dineo juga menempatkan pemaknaan Ke Mollo sebagai pertemuan manusia dengan Yang Ilahi. Bagaimana pertemuan Musa di Gunung Sinai dan Tuhan menampakkan diri dalam bentuk api. Dineo mengisyaratkan, seluruh elemen yang terdapat pada alam adalah perwujudan ilahi. Sehingga, segala bentuk relasi dengannya adalah hubungan yang ilahiah.
Pemaknaan jiwa Jakarta Biennale 2017 tidak hanya ditemukan di Gudang Sarinah Ekosistem tetapi juga menyelusup ke salah satu inti kota Jakarta yaitu Kawasan Kota Tua. ‘”Jiwa-jiwa” tersebut ditemukan di dua tempat yaitu Museum Sejarah Jakarta dan Museum Seni Rupa & Keramik.
Meski tidak mengambil tempat di ruang utama, tetap saja karya-karya tersebut tidak bisa diluputkan yang justru menggetarkan kemanusiaan. Coba saja tengok pemutaran film dokumenter tentang Komunitas Bissu yang terpinggirkan, The Last Puang Matoa di Museum Sejarah Jakarta. Bagaimana kaum yang menganggap dirinya modern meninggalkan adat dan menjadikannya sebagai pikat wisata saja. Adat sudah kehilangan jiwanya ketika dilakoni untuk mengeruk uang semata.
Baca juga Sebuah Refleksi dari Kompleksitas Jiwa David Gheron Tretiakoff
Dana Awartani seniman berdarah Palestina-Arab memberikan penggambaran artistik dan juga detail mengenai keroposnya nilai-nilai tradisional luhur akibat gerakan modernitas lewat karya I went away and forgot you. A while ago I remembered. I remembered I’d forgotten you. I was dreaming.
Dana menyusun pasir aneka warna dan membuat pola ubin islam tradisional menimpa lantai rumah untuk kemudian menyapu bersih susunan pasir tersebut. Semua ini terekam dalam proyeksi film di salah satu ruangan di Museum Sejarah Jakarta. Karya Dana ini bisa dibilang sebuah tamparan keras betapa susah membangun nilai-nilai tradisi namun menghapusnya semudah menyapu pasir di atas lantai.
Menyimak karya-karya pada Jakarta Biennale 2017 adalah upaya pencarian jiwa-jiwa yang terlupakan. Direktur Artistik Melati Suryodarmo bekerja sama dengan empat kurator, Annisa Gultom (Jakarta), Hendro Wiyanto (Jakarta), Philippe Pirotte (Frankfurt) dan Vít Havránek (Praha) telah bekerja keras mengurasi karya-karya seniman yang masuk.
Baca juga Pencapaian Rasa Lima Perupa
Hampir semua seniman menerjemahkan tema “jiwa” dengan persepsi yang kuat dengan membawa latar-belakang lokalitasnya masing-masing. Kesemuanya tidak hanya mendorong indra untuk menikmati sebuah gagasan seni tetapi juga mengaca ulang fenomena majemuk sebuah wawasan tentang esensi hidup yang terpinggirkan.
Artikel Pencarian Jiwa-jiwa yang Terlupakan dimuat di majalah SARASVATI edisi Desember 2017