Tak sekadar interaktif, “in suspense” membutuhkan kehadiran dan parisitipasi pengunjung untuk melengkapi karya dan membuatnya “aktif”.
“Ehem!”
“Pstt pstt!”
Suara Julian Abraham “Togar” mengagetkan pengunjung yang tengah mengisi buku tamu pameran “in suspense”. Karya yang bertajuk A Gesture ini terus-terusan terdengar di dalam ruang pamer ROH Projects, tetap mengagetkan, entah apakah menjadi menarik atau malah menganggu pengunjung.
Tetapi, mungkin reaksi dan interaksi dari pengunjung terhadap karya adalah hal yang diharapkan dari pameran yang berlangsung pada 17 September – 20 Oktober 2017 ini. Pada catatan kuratorialnya, Grace Samboh menyatakan, “Dalam hal materialitas, karya-karya dalam pameran ini membutuhkan (yang kadang kita sebut) pengunjung sebagai bagian dari karya dan mengklaim posisi authorial.”
Baca juga Mempertanyakan Murni Pada ICAD 8
Karya yang ditampilkan pada pameran “in suspense” ini tidak sekadar interaktif, tetapi membutuhkan kehadiran dan parisitipasi pengunjung untuk melengkapi karya dan membuatnya “aktif”. Rise and Shine oleh Sara Nuytemans tidak akan “aktif” tanpa aksi pengunjung berdiri di atas platform kayu untuk mengaktivasi suara seruan dan tepuk tangan, seolah-olah pengunjung tersebut berada di atas panggung.
Sama halnya dengan karya Fajar Abadi yang bertajuk Self Self Revolution yang memerlukan seorang pengunjung untuk bermain adu jempol dengannya yang bersembunyi di dalam kotak RDP arcade yang terbuat dari kayu. Pada saat beradu jempol, pengunjung akan berhadapan dengan refleksinya di cermin kotak RDP arcade, menyaksikan ekspresi dirinya sendiri.
Walaupun tampak seperti sebuah instalasi, Suara Tanpa Suara/Tanda karya FX Harsono tetap tidak akan lengkap tanpa partisipasi pengunjung untuk menggunakan stempel “D”, “E”, “M”, “O”, “K”, “R”, “A”, “S”, dan ”I”, kertas, dan tinta yang disediakan. Begitu pula dengan karya Agus Suwage yang bertajuk Do It Yourself. Dari judul karyanya saja sudah seakan-akan memerintahkan pengunjung untuk “mengaktivasi” karyanya. Hanya dengan sebuah injakan kaki, dan pengaturan setting lensa, pengunjung dapat menyaksikan seperti animasi stop-motion yang memperlihatkan perubahan wajah manusia ke monyet berulang-ulang.
Baca juga Isu Ekologi Dalam Praktik Seni Rupa di Bali
Highlight “in suspense” bersembunyi di dalam ruang gelap. Karya kolaborasi Syagini Ratna Wulan dan Bandu Darmawan yang bernama Sirri berbentuk seperti sebuah silinder metal berwarna hitam. Hanya satu orang yang dapat masuk ke Sirri. Interiornya berkotak-kotak, seperti interior rumah abu. Satu per satu kotak itu akan menyala menampilkan sebuah gambar atau benda, beserta suara-suara yang disesuaikan dengan pemandangan pada kotak yang menyala.
Ketika keluar, pengunjung akan mendapatkan sebuah kertas yang kurang lebih menjadi intepretasi tekstual pengalaman selama di dalam Sirri. Seperti tertulis di paragraf terakhirnya, “Sirri memungkinkan pengunjung berpartisipasi, bukan hanya menelan gambaran-gambaran itu mentah-mentah. Pengunjung dapat melengkapi karya dengan hanya memikirkannya.”
Baca juga Menjawab Ajakan Erik Pauhrizi dan Erika Ernawan Untuk Migrasi di Rumah Sendiri
Sayangnya, karya ini baru dapat dinikmati oleh pengunjung hanya sekitar dua minggu setelah pameran dibuka karena adanya permasalahan logistik.
Menariknya, kedua karya FX Harsono dan Agus Suwage merupakan karya lama, yakni dibuat pada 1993 dan 2003. Hal ini membuktikan bahwa karya interaktif dan penciptaan karya yang memiliki kebutuhan akan partisipasi pengunjung untuk melengkapinya sudah terjadi dari dulu, tepatnya di era Gerakan Seni Rupa Baru tahun 1975 ketika batasan antara seniman dan publik mulai tua dan tidak diinginkan.
“Seniman memerlukan orang lain bukan hanya yang paham akan apa yang sedang mereka buat, tapi juga untuk menjadi bagian dari yang mereka kerjakan,” tulis Grace.
Artikel Esensi Pengunjung Menggenapi Karya dimuat di majalah SARASVATI edisi November 2017.