Profil Seniman, Yogie Achmad Ginanjar, Seniman Bandung, Seniman Kontemporer
Yogie Achmad Ginanjar. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Yogie Achmad Ginanjar menjadi bintang di Sovereign Asian Art Prize 2017. Karyanya yang berjudul Absorption 7 menyabet penghargaan Public Vote Prize di ajang tersebut. Lukisan itu menampilkan sosok seorang punk rocker tampak belakang yang sedang mengamati masjid dengan gestur yang santai, seperti sedang mengamati dan mempelajarinya dengan tenang.

Tapi tak akan ada lagi karya Yogie yang sejenis ini – tidak ada lagi manusia dalam karya Yogie. Berupaya memegang teguh perintah agama, ia tidak akan lagi menggambar figur.

Kami bahkan menemukan satu lukisan dari seri Absorption hanya terpajang di studionya. Lukisan ini sangat berbeda dibanding karya lain dari seri yang sama. Objek manusia dalam lukisan ini tak berpakaian – tak beratribut, seakan-akan ingin tampil sebagai manusia semata.

Ia membelakangi kita yang melihatnya. Di hadapannya terentang reruntuhan yang merujuk pada The Lost City di Petra, Yordania. Lelaki ini memperlihatkan ketenangan, gestur yang sama seperti yang ditampilkan punk rocker dalam Absorption 7.

Berkali-kali Yogie menegaskan bahwa karya yang satu ini tak akan keluar dari studionya menyusul “saudara-saudaranya”. Ia betul-betul ingin meninggalkan lukisan figuratif yang sudah mengantarkannya sampai ke titik ia berada sekarang. Sebagai gantinya, ada tiga lukisan abstrak ekspresionis di studionya.

Yogie A. Ginanjar,
Yogie A. Ginanjar, “Absorption 7”, 100×150 cm, oil on canvas, 2016. (Dok. Yogie)

 

Bagaimana awalnya bersentuhan dengan seni lukis?

Saya senang gambar dari kecil. Papa saya drafter di industri tekstil. Dari kecil sudah dekat dengan dunia desain karena almarhum sering bawa kerjaan ke rumah. Waktu SD sering juga ikut lomba gambar dan jualan gambar, dibayar 50-100 perak buat gambar anime.

Begitu masuk SMA, saya sudah tahu mau ke seni rupa ITB, tapi nggak kepikiran jadi seniman. Penginnya jadi desainer grafis, masuk DKV. Pas bimbel, beberapa mentor di sana seniman dari ITB. Sering ngobrol, saya makin tertarik. Dari mereka saya jadi tahu, kalau seni rupa itu bukan hanya teknik, tapi juga kerja intelektual. Lalu tahu juga kalau ada pasar di seni rupa, seniman bisa hidup mapan.

Saya berubah pikiran, masuk seni lukis. Karena tidak boleh sama orangtua, jadi saya bilangnya tetap desain grafis. Pas diumumkan di koran, mereka baca, saya dapat seni lukis. Saya dimarah-marahi. Saya obrolin ke mereka. Mungkin mereka khawatir nggak ada masa depannya kalau jadi seniman (tertawa).

Untungnya, karena saya suka, semua lancar. Saya lulus cum laude. Karya saya pun sudah dikoleksi sejak saya masih kuliah.

Cerita soal karya yang pertama dikoleksi itu bagaimana?

Waktu itu ada pameran GALI (Gabungan Anak Lukis Indonesia), tahun 2003/04 kalau nggak salah. Ini himpunan studio lukis. Tiap anak GALI tingkat ketiga, wajib bikin pameran. Saya kan 2001 masuknya. Waktu itu pamerannya di Soemardja. Pameran sekalian evaluasi. Simulasi profesi kita nanti, ada kritik, ada artist talk juga. Dikurasi dan karyanya dijual. Ada sharing antara galeri dan seniman. Di situ belajar MoU, belajar menyelenggarakan pameran. Kuratornya Aminuddin Siregar.

Lalu ada kolektor dari Jakarta datang. Dia ternyata suka sama karya saya, tapi saat itu karya saya nggak ada price list. Saya ditelepon teman saya, “Yog, karyamu ini berapa?”, “Kenapa gitu?”, “Ini ada yang mau beli karya kamu.” Akhirnya saya tanya-tanya harga sana-sini.

Apakah karya saat itu sudah seperti sekarang, dari segi konsep dan gayanya?

Di tahun ketiga, secara praktik saya sudah cukup yakin. Bahasa estetik saya sudah terbentuk. Waktu itu karya saya konsepnya dilatarbelakangi oleh karya Edward Said, Orientalism. Konsepnya tentang itu. Saya pakai parodi sebagai bahasa visual saya.

Tapi sebetulnya cukup berbeda dengan sekarang. Waktu itu saya masih pertama kali belajar apa itu apropriasi, apa itu parodi dalam seni rupa.

Tampaknya konsep itu bertahan sampai sekarang, termasuk pada karya yang menang di Sovereign kemarin.

Edward Said mengkritik cara pandang Barat terhadap Timur. Orang Barat melihat Timur pakai kacamata mereka, oposisi biner: mereka modern-kita primitif. Dari imperialisme, kolonialisme, semua seperti itu. Mereka punya keyakinan, orang-orang Indian itu orang bodoh, harus dididik. Orang Belanda juga begitu ke kita.

Itu terjadi sampai sekarang. Pada karya saya di Sovereign, ada dua objek bertolak belakang. Ada punk rock tampak belakang dan masjid di depannya. Saya mengkritik orientalisme ini. Punk rock ini representasi Barat, merepresentasikan modernisme. Masjid merepresentasikan Islam dan hal-hal yang kontradiktif dari si punk rock tadi. Dia di situ kelihatan tenang. Judulnya Absorption. Dia lagi mencerap nilai-nilai di depannya

Kritik saya begini, kalau Edward Said bilang orientalisme cara pandang salah kaprah, kata saya itu salah satu saja. Kalau kita selalu menempatkan sesuatu di oposisi biner, akan selalu ada konflik. Ini yang terjadi di kita saat ini. Kalau nilai kita dan nilai yang lain itu kontradiktif, kita tidak bisa bareng.

Dalam karya saya yang di Sovereign, saya ingin bilang, orang cenderung takut dengan sesuatu yang asing dari diri kita, nah, kita tuh jangan seperti itu. Lihat saja dulu. Pelajari. Saya percaya hal-hal baik itu bisa ada dalam hal-hal yang kita temukan, yang jelek tinggalkan. Saya pikir itu kuncinya. Jangan terlalu cepat men-judge, meletakkan segala sesuatu di counter-nya kita.

Di karya Anda, perspektif agama sering menonjol. Mengapa tertarik dengan sudut pandang tersebut?

Sebetulnya, setelah papa saya meninggal sekitar empat tahun lalu, saya belajar agama. Ada sebuah momen di mana saya merasa ada pertanyaan yang harus dijawab tapi saya tidak menemukan jawabannya. Padahal selama ini saya merasa saya pintar, baca banyak buku, ternyata tidak. Saya mulai cari di agama.

Saya tidak depresi ya. Totally fine. Cuma tidak menemukan jawabannya. Jadi bukan orang lagi ada masalah, terus lari ke agama sebagai resort. Akhirnya ketertarikan pada orientalisme itu jadi semakin spesifik. Dulu memandangnya sebagai orang Timur, tidak terlalu memposisikan diri banget sebagai orang Islam. Zaman dulu saya santai saja. Kalau sekarang iya, saya terpengaruh banget dari agama.

Yogie A. Ginanjar,
Yogie A. Ginanjar, “Falsehood of Martyrdom”, uk 30×40 cm, Oil and acrylic on canvas, 2017

 

Di lukisan Anda, manusia dilukis tampak belakang. Ini karena menuruti perintah agama?

Iya. Saya ini fans berat Renaisans. Saya menggandrungi seni figuratif. Saya benar-benar belajar anatomi, ekspresi wajah. Dulu sebelum pameran di Singapura, saya mengawali karya saya dari potret model saking mau seriusnya. Buat saya seni figuratif itu adalah seni yg paling sophisticated.

Manusia bisa mengekspresikan satu hal dengan banyak cara. Kita ngomongin ekspresi wajah. Kita bisa lihat secara visual apakah orang itu sedih, orang bingung, orang marah. Sebagai anak seni rupa, saya belajar yang namanya gestur.

Nah, waktu saya belajar agama lebih dalam, saya mulai ikut ngaji di majelis. Ternyata Islam itu mengatur sedemikian rupa tentang gambar, proses, dan hasilnya. Ada yang mengatur gambar makhluk hidup. Saya nggak begitu mengerti saat itu karena banyak pertentangan. Source-nya kan Quran dan Hadist, itu dikaji lagi sama ulama. Output-nya bisa berbeda.

Saya dengar ada ulama yang bilang harus dipotong, saya potong. Terus ada yang bilang jangan kelihatan muka, jadi saya gambar hadap belakang. Bukan saya ngakal-ngakalin, tapi saya cari cara bagaimana konsep saya tidak bertabrakan dengan apa yang saya yakini.

Tahun 2015 setelah saya masukkan karya ke Sovereign, saya tanya seorang ustadz, katanya nggak boleh. Dari belakang masih representasi manusia. Itu saya belum menang, baru masuk 30 besar dari 500 karya seni dari seluruh dunia. Saya bingung, “Ini gimana jadinya? Saya pusing.” (tertawa).

Apakah perubahan itu membawa pengaruh pada karier Anda sebagai seniman?

Harusnya saya pameran seri yang ini (Absorption) di pameran tunggal. Saya diskusi, kata ustadz, kalau sudah kontrak, sebagai muslim nggak boleh mangkir, tapi jangan ulangi. Akhirnya pamerannya saya batalin. Kalau Sovereign kan sudah masuk final. Saya jelasin ke orang galeri soal alasan pembatalan, juga saya jelaskan bahwa daftar Sovereign sudah dari 2015 jadi nggak bisa di-cancel. Padahal tahu sendiri kan, pameran tunggal buat seniman itu kayak umroh (tertawa).

Jadi karya-karya yang masih ada figur manusianya tidak akan pernah lagi dipamerkan ke publik?

Karya-karya yang dulu kayaknya udah nggak akan dipamerin lagi. Yang ini juga (menunjuk pada lukisan Absorption yang masih tersisa di studionya). Padahal tinggal satu ini yang terakhir.

Tidak takut karier Anda akan mandek?

Mungkin saya digoblok-goblokin, tapi ya ini bagian dari prinsip saya sekarang. Saya melihatnya sebagai tantangan. Dalam seni kontemporer kan anything goes, jadi ya why not? Mungkin ini jalan saya. Allah sayang sama saya. Saya lagi dituntun.

Saya tanya sama diri saya sendiri. Kenapa sih Islam ngurusin banget kita harus ngelukis kayak apa? Berarti jawabannya satu: painting matters. Lukisan itu penting dalam Islam. Kalau nggak penting nggak bakal diatur. Saya nggak tau ya kalau di ajaran agama lain atau tradisi lain.

Kadang saya masih suka bikin karya, tanpa sadar muncul orang di sana. Kayak yang itu (Yogie menunjuk satu sketsa yang teronggok di lantai). Saat membuat itu, saya stress, kenapa tiba-tiba muncul orang? Akhirnya saya putuskan untuk lepasin betul-betul gaya yang dulu. Yang sekarang jadinya abstrak.

Apakah untuk pindah ke gaya abstrak perlu penyesuaian yang sulit?

Nggak juga sih. Malah, saya senang juga. Saya orangnya perfeksionis. Konsep sudah harus matang, sketsa beres, warna sudah ditentuin. Intinya, 90% karya sudah jadi di sketsa komputer. Ini jadi terlalu mudah buat saya. Saya bisa bikin apa pun. Lama-lama, ketika dari sketsa mau pindah ke kanvas, saya sudah nggak ada ketertarikan. Saya jenuh.

Jadi perubahan gaya melukis ini juga jadi pelepasan diri dari kebosanan?

Ketika saya belajar agama, saya sadar ada sesuatu yang lebih besar dan lebih kuat yang ngatur saya, yang mana kekuatan ini nggak bisa saya lawan. Saya stress. Edan. Selama ini ternyata saya kurang fleksibel, kurang spontan. Saya terbiasa dengan pola kerja perfeksionis yang teratur. Saya sampai ikut Judo sama Muay Thai buat mengasah spontanitas saya. Saya kan terbiasa duduk di studio dari pagi sampe sore mengerjakan apa yang sudah terencana. Kalau di bela diri, kita dilatih buat spontan. Itu ngajarin saya sesuatu juga.

Ketika saya nyoba seni nonrepresentasional, kayak abstrak ekspresionis, flow nggak bisa ditebak. Konsepnya lebih personal. Itu yang saya geluti sekarang.

Anda mengalami titik balik saat sedang di puncak karier. Bagaimana Anda membayangkan karier Anda sebagai seniman ke depannya?

Sehabis pencapaian di Sovereign itu, muncul orang-orang yang bilang menunggu karya saya selanjutnya. Tapi saya nggak tahu nih mereka bakal bagaimana kalau lihat sekarang karya saya udah beda. Takut pasti ada ya, tapi saya harus tetap berkarya. Saya kan masih bisa berkarya, market juga saya anggap bukan segalanya.

Seniman harus berkembang. Saya harus terus berkembang. Karya di Sovereign itu memang puncaknya saya. Itu detailnya edan. Saya dorong diri saya sendiri. Saya puas dengan hasilnya. Saya pikir itu salah satu masterpiece saya. Agak sayang karena saya belum sempat pamerkan karya-karya itu. Mungkin ujian buat saya juga, saya harus ikhlas. Saya harus lebih kreatif berarti sekarang. Ini perkembangan saya sekarang, menjelajah hal-hal baru yang bertolak belakang.