Melalui seni jalanan, seni perjalanan, dan seni berjalan-jalan, kita dapat melihat bagaimana pendekatan estetik merespons isu di ruang perkotaan.
Dari tembok jalanan biasanya kita dapat mencermati kontestasi berbagai ideologi dan kepentingan yang berebut ruang publik dalam sebuah kota. Ketika seniman jalanan (street artist) membuat mural dan graffiti atau menempel poster dan stiker di tembok-tembok jalanan, mereka harus bersaing dengan banyak pihak. Dengan sesama seniman jalanan; dengan perusahaan-perusahaan pengiklan, dari yang kecil macam jasa sedot WC sampai yang besar seperti operator telekomunikasi seluler; dan dengan individu atau kelompok yang tidak sepakat dengan pesan sebuah karya di jalanan.
Di Jakarta, monster cumi-cumi Darbotz atau makhluk usil berbadan putih The Popo harus beradu dengan monitor-monitor gigantik yang non-stop menyiarkan gombal kapitalisme termutakhir. Di Yogyakarta, poster-poster politik Anti-Tank, misalnya yang bertuliskan “Ketuhanan Maha Ormas” harus berhadapan dengan sensor sporadis dari oknum-oknum yang merasa tersentil dan tersinggung.
Namun demikian, tembok hanyalah sebagian kecil dari infrastruktur yang mengonstruksi kota. Yang lebih luas dari tembok jalanan adalah bangunan-bangunan dan jaringan orang-orang yang hidup di dalamnya. Seni perjalanan, istilah karang-karangan saya saja, adalah salah satu cara untuk menginternalisasi pengetahuan tentang bagaimana narasi sebuah kota dihidupi oleh bangunan dan orang-orang yang ada di dalam dan di sekitarnya.
Baca juga Bakoel Koffie, Ikhtiar Melanjutkan Garis Kopi
Seni jalanan menjadikan ruang publik sebagai ruang untuk berkarya. Seni perjalanan menghubungkan ruang privat dan publik, serta menyusunnya sebagai sebuah jaringan dalam konstruksi narasi pengetahuan. Jalanan adalah materi produksi pengetahuan sekaligus ruang distribusi pengetahuan tersebut.
Peta merupakan salah satu kemungkinan bentuk narasi pengetahuan dari praktik seni perjalanan. Seni perjalanan berarti berjalan-jalan dengan panduan estetik tertentu untuk membaca lanskap kota dan mengungkap apa yang ada di baliknya. Pertigaan Map adalah seri peta tematik tentang kota Surabaya yang disusun oleh inisiator program jalan kaki Manic Street Walkers, Anitha Silvia, dengan seorang desainer grafis Celcea Tifani. Pertigaan Map berfokus pada pemetaan kawasan Eropa, Arab, dan Cina yang dulu diatur berdasarkan pembagian spasial-politik pada era kolonial.
Keberadaan Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya Utara menjadikan daerah ini dihuni pendatang dari berbagai etnis. Pada 1835-1924, Undang-undang Wijkenstelsel dicanangkan pemerintah kolonial untuk mengatur demografi tempat tinggal warga Surabaya bagian utara berdasarkan etnis Eropa, Arab, dan Cina. Undang-undang ini dibuat untuk mencegah pendatang dari Cina dan Timur Tengah berbaur dan bersekutu dengan penduduk pribumi di kota yang kini kerap dijuluki sebagai Kota Pahlawan ini.
Pembagian kawasan pada era kolonial masih membekas pada perwajahan kota Surabaya. Desain peta Pertigaan Map menampilkan representasi visual yang dimiliki masing-masing kawasan. Sampai saat ini, di kawasan Eropa yang juga disebut kawasan Jembatan Merah terdapat ratusan bangunan besar berlanggam arsitektur kolonial tropis yang dibangun sekitar abad ke-17 sampai awal abad ke-20.
Di kawasan Pecinan atau Kembang Jepun yang merupakan pusat perdagangan, masih terdapat sejumlah pasar, kelenteng, rumah sembahyang, serta perkumpulan sosial tempat beraktivitas para sepuh menghabiskan waktu bermain catur cina (xiang qi) atau karaoke lagu-lagu Mandarin. Di kawasan Arab yang umum dikenal sebagai kawasan Ampel, area wisata religi Sunan Ampel, terdapat kampung Arab terbesar di Indonesia yang dihuni peranakan Arab (sebagian besar dari Yaman).
Pertigaan Map memantulkan estetika tatanan simbolik yang membangun Surabaya sebagai titik temu masyarakat multietnis. Dari riset lapangan para inisiatornya, tampak bahwa pembagian ruang berdasarkan etnis bersifat cair sebab aktivitas warga saling berkelindan dan persilangan budaya merupakan hal yang niscaya.
Baca juga Menikmati Varian Kopi Lokal di Kota Tua
Berjalan kaki menelusuri Surabaya bagian utara dengan panduan Pertigaan Map, jaringan-jaringan sosial yang menghubungkan kawasan Eropa, Arab, dan Cina akan menguak ke permukaan. Peta ini kemudian berfungsi sebagai alat untuk merangkai rute-rute baru yang berangkat dari narasi sejarah lampau sekaligus perubahan-perubahan sosial yang terus berlangsung di sebuah kota.
Berjalan-jalan mengitari kota seperti turis, pengalaman mencicipi kuliner biasanya tidak boleh terlewatkan. Adalah Bakudapan, kelompok studi makanan berbasis di Yogyakarta, yang cerdas menghubungkan praktik industri turisme dan wisata kuliner dengan permasalahan konflik kepemilikan lahan yang sangat “istimewa” di Yogyakarta lewat proyek tur Living Leftover.
Bakudapan terdiri dari beberapa seniman dan peneliti berlatar belakang pendidikan antropologi. Praktik mereka berfokus pada topik budaya makan dan politik pangan dengan presentasi yang menggabungkan metode seni dengan penelitian etnografi. Tur Living Leftover dibuat dalam kerangka program Living Lab yang dikuratori Ignatia Nilu di Green Art Space, sebuah galeri di Greenhost Hotel—yang makin terkenal sejak dijadikan lokasi syuting film Ada Apa Dengan Cinta 2.
Sejak beberapa tahun belakangan, sebagian besar warga kota Yogyakarta digelisahkan oleh membludaknya jumlah pembangunan hotel yang dikonstruksi tanpa memperhatikan isu pertanahan dan tata ruang kota. Tur Living Leftover menjadikan Jalan Prawirotaman, salah satu area wisata di daerah selatan Yogya, sebagai situs untuk mengetengahkan persoalan ini. Daerah Prawirotaman dinamai demikian sebab merupakan hadiah dari Keraton kepada seorang prajurit istana bernama Prawirotomo.
Pada era pascakemerdekaan Prawirotaman menjadi pusat industri batik cap yang dikelola keturunan Prawirotomo. Seiring penggalakan industri pariwisata tahun 1970-an, kawasan Prawirotaman mulai dipenuhi hotel yang kebanyakan masih dikelola oleh keluarga besar Prawirotomo, meski ada beberapa kepemilikan tanah yang sudah berpindah tangan. Semburat feodalisme yang masih tersisa dalam praktik penguasaan tanah menghantui rute tur Living Leftover.
Tur Living Leftover dimulai dari Pasar Prawirotaman di sebelah barat. Lokasi pasar dulunya dimilik oleh pejabat Keraton yang mempersilakan pedagang untuk berjualan asal bersedia membersihkan dan menjaga lingkungan pasar. Harmoni kebersamaan mulai retak pada 1960-an ketika terjadi sengketa dengan keluarga pemilik tanah. Lahan pasar lantas dijual ke pemerintah daerah untuk meredam masalah. Belakangan daerah pasar menjadi sangat macet karena banyaknya bus pariwisata yang lalu lalang di gang sebelah pasar.
Baca juga Raja Belgia Kagumi Artefak Indonesia di Europalia
Berjalan kaki ke arah timur, tur ini kemudian mengunjungi toko-toko di sepanjang Jalan Prawirotaman. Bakudapan telah mempersiapkan pertemuan dengan pemilik toko barang antik dan pemilik penginapan yang keturunan Prawirotomo untuk berbincang tentang perubahan-perubahan yang mereka amati di sepanjang jalan ini. Tur juga berkunjung ke rumah Mbah Yem, pemegang resep kue apem yang terkenal enak, untuk mendengar cerita dari mulut Mbah Yem tentang tradisi Apeman dan perasaan si Mbah sebagai penduduk asli Prawirotaman. Tur diakhiri dengan diskusi di Greenhost Hotel untuk menginterogasi bagaimana pembangunan hotel memengaruhi kondisi lingkungan dan relasi antarmanusia yang ada di sekitarnya.
Pertigaan Map dan tur Living Leftover menyusun peta-peta dan rute tur untuk menjadikan perjalanan atau berjalan-jalan sebagai moda performatif dalam membicarakan iklim sosial-budaya terkini di sebuah kota. Dalam narasi industri turisme yang berpihak pada pemodal, gambaran kota tujuan wisata selalu dibumbui dengan eksotisme yang menjauhkan turis dari perubahan sosial yang dialami orang-orang yang hidup di dalamnya. Berjalan-jalan dengan panduan estetika yang kritis punya potensi untuk meretas “cara melihat” (ways of seeing) yang hegemonik tersebut.
***
Esai Performativitas Pengetahuan tentang Kota dimuat di majalah SARASVATI edisi Oktober 2017.
BRIGITTA ISABELLA – Peneliti di KUNCI Cultural Studies Center di Yogyakarta.