Octo Cornelius, "Lost on the Road". (Foto: Skolastika Sinta)

Octo Cornelius datang kepada saya dengan frasa “random life”. Kami lalu membicarakannya sambil minum kopi di bawah remang lampu kedai yang menempel toko buku itu. Frasa yang dia bawa itu demikian mengusiknya, sehingga Octo merasa mesti mewujudkannya menjadi karya, menjadi pameran. Gagasan itu begitu mengganjalnya, sehingga Octo merasa perlu mengobrolkannya—dengan saya. Sejak percakapan berbulan-bulan lampau itu, saya turut tergelitik pula jadinya, baik oleh gagasan pameran maupun oleh gagasan random life itu sendiri.

Pertemuan-pertemuan yang singkat-singkat dengan Octo sejak malam itu sempat menjadi semacam momok bagi saya. Pada mulanya, saya sulit meluangkan waktu dan pikiran untuk merespon energi Octo yang begitu besar. Kedatangan Octo menghampiri saya sejak awal memang untuk menagih. Saya sempat mengajaknya berpameran bertahun-tahun lalu, namun belum kesampaian. Peristiwa-peristiwa di sekitar kami kemudian membuat saya perlahan-lahan dapat meresapi narasi di balik gagasan random life. Waktu rupanya telah pula membuat energi Octo yang besar itu teredam—tidak hilang atau padam, namun rasanya lebih teratur dan tidak meletup-letup seperti sebelumnya. Gagasan besarnya pun mulai mengerucut dan lebih terfokus.

Tawaran tema random life dari Octo ini mengingatkan saya kepada sebuah kutipan terkenal dari Albert Einstein, “Saya tidak percaya Tuhan bermain dadu dengan alam semesta.” Einstein berujar demikian lantaran sebal terhadap keacakan alam semesta. Pandangan Einstein ini dikenal sebagai teori variabel tersembunyi—sebab ada variabel tersembunyi itulah kita tidak dapat menghitung dengan tepat letak dan kecepatan suatu partikel pada suatu waktu tertentu, sehingga seolah acak. Awalnya, teori ini dianggap sejalan dengan Prinsip Ketidakpastian Werner Heisenberg, hingga beberapa dasawarsa kemudian percobaan John Bell berhasil membuktikan sebaliknya. Tidak ada variabel tersembunyi. Semesta ini memang acak adanya.

Octo Cornelius,
Octo Cornelius, “Positive Response Facing the Metastasis. (Foto: Skolastika Sinta)

Yang tersisa, kemudian, menurut Prinsip Ketidakpastian, adalah perkiraan-perkiraan. Acak dan tak tertebak tidak lantas meniadakan tatanan dan keteraturan. Keadaan ini justru memperluas kemungkinan, bahwa suatu peristiwa tidak terjadi dari suatu penyebab tunggal dan bukanlah suatu kejadian yang lepas, melainkan bagian dari rangkaian reaksi berantai yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hal dan peristiwa yang lain. Dari untaian peristiwa itu, saya dapat menemukan pola dan membuat perkiraan, tetapi sebatas itu saja: perkiraan. Yang kira-kira. Yang tak tertebak. Demikianlah random life.

Peristiwa-peristiwa yang saya alami belakangan turut membangun sudut pandang saya di dalam memahami narasi random life Octo, yang mulanya seperti bola liar di dalam pertukaran kami. Pengalaman, dengan segenap kecut dan pahitnya, telah membekali saya dengan pemahaman. Banyak yang masih belum sempat teruraikan, namun biar saja momen-momen itu tercatat acak tanpa saya perlu menebak-nebak kelanjutannya. Sementara itu, saya mesti menghadapi momok saya dan menggenapkan perbincangan bersama Octo melalui pameran ini.

Octo Cornelius di dalam pameran ini mempresentasikan sejumlah karya yang mencoba mempercakapkan momen-momen yang acak dan tidak tertebak tersebut. Soal waktu yang tidak tepat, soal merawat keyakinan di tengah keraguan, soal pencarian dan penantian di dalam keterbatasan, soal keberanian yang kadang justru muncul dari ketidaktahuan.

Momen-momen acak di dalam hidup ini muncul dari renungan dan refleksi Octo, yang lantas menubuh ke dalam praktik kekaryaannya dan mewujud ke dalam karya-karyanya. Pameran Unpredictable Scenes menawarkan jeda kepada kita dari ikatan-ikatan keseharian dan mengajak kita sejenak menikmati acaknya hidup. Sebab hidup adalah apa yang terjadi sementara kita sibuk dengan rencana-rencana.

Budi N.D. Dharmawan – kurator “Unpredictable Scenes”, pameran karya Octo Cornelius

di Jogja Contemporary, 10 – 25 Oktober 2017.