I Gede Suanda Sayur, Instalasi Not for Sale (Foto: Dok. Senidiharilibur.com)

Penolakan publik terhadap reklamasi Teluk Benoa mendorong cukup banyak seniman terlibat dalam gerakan demonstrasi. NobodyCorp (Alit Ambara) menjadi salah satu seniman visual yang menyuplai desain-desain poster pergerakan secara berkala.

Kemunculan karya-karya maupun proyek seni yang berkaitan dengan isu ekologi tidak terlepas dari realitas yang berlangsung dalam masyarakat di mana seniman berada. Melalui praktik keseniannya, seniman menjadi bagian dari pergulatan mengatasi problematika sosial tersebut dengan meleburkan kesenian dengan aktivisme lingkungan.

Sebagai pribadi, barangkali tidak ada salahnya jika seorang seniman kemudian tergugah melihat realitas sosial yang terjadi di sekitarnya begitu disesaki dengan persoalan, sehingga mendorong arah keseniannya untuk terlibat secara langsung dengan gerakan yang ada di masyarakat, atau justru menjadi inisiator bagi gerakan itu sendiri.

Baca juga Sejumlah Potret dari Masa Lalu

Beberapa seniman yang ada di Bali kemudian mempratikkan hal tersebut, terdorong dari sikap politisnya dalam memandang sejumlah persoalan ekologis yang belakangan begitu mencolok di sini. Salah satu isu yang paling dominan saat ini barangkali adalah penolakan publik terhadap reklamasi Teluk Benoa, yang kemudian mendorong cukup banyak seniman untuk terlibat dalam gerakan demonstrasi besar-besaran yang sudah berlangsung hampir lima tahun. NobodyCorp (Alit Ambara) menjadi salah satu seniman visual yang secara berkelanjutan menyuplai desain-desain poster pergerakan secara berkala. Di samping sejumlah seniman lain yang juga menggunakan metode keseniannya di dalam gerakan massa ini.

Namun tulisan ini tidak berfokus pada isu seputar gerakan Bali Tolak Reklamasi, melainkan sejumlah isu ekologis lain yang juga mendorong seniman untuk menerapkan metode berkeseniannya dalam merespons isu tersebut. Terutama isu yang cukup dominan saat ini di Bali, yakni meningkatnya jumlah sampah plastik secara drastis dan alih fungsi lahan pertanian. Yang jika dicermati ternyata cenderung terjadi di Bali bagian selatan, meliputi kawasan-kawasan yang bersinggungan langsung dengan gemerlap industri pariwisata.

Made Banyak, Secret dance of virgin (seri rekonstruksi eksotisme Bali), permanent ink, acrylic on plastic trash, 80x120 cm, 2013
Made Bayak, Secret dance of virgin (seri rekonstruksi eksotisme Bali), permanent ink, acrylic on plastic trash, 80×120 cm, 2013 (Foto: Dok. Penulis)

Di Bali, pengembangan wisata telah dimulai sejak era kolonial Belanda dengan mengeskploitasi eksotisme budaya dan alamnya, yang kemudian melahirkan ikon-ikon eksotisme popular, seperti perempuan penari, barong, dan pemandangan sawah berundak. Sebagai industri, pariwisata di Bali mulai dibangun sejak era Orde Baru pada kisaran tahun 70-an, ketika Kuta mulai menarik minat kaum hippies. Yang kemudian terus berkembang ke wilayah-wilayah lain hingga saat ini.

Made Bayak, salah satu seniman yang fokus terhadap isu meningkatnya sampah plastik menilai bahwa industri pariwisata telah menciptakan efek berantai dalam problematika sampah di Bali. Selain sebagai penghasil sampah terbesar, industri pariwisata juga mendorong taraf ekonomi masyarakat yang kemudian berimbas pada perubahan konsumsi mereka terhadap produk-produk industrial yang berbahan maupun dikemas menggunakan plastik.

Baca juga Dialog tentang Pasar dan Sejarah Kota

Media juga berperan penting dalam mendorong perubahan pola konsumsi tersebut melalui iklan-iklan yang bertebaran di media massa. Melalui proyek seni jangka panjang “Plasticology” Made Bayak memulai menyebarkan kesadaran kepada masyarakat untuk mengelola sampahnya lebih baik. Plasticology merupakan proyek kampanye sosial yang menggunakan seni sebagai metode. Dengan menggabungkan kata plastic dan ecology, Bayak mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam mengelola sampah, terutama yang berbahan dasar plastik karena sulit terurai di alam.

Made Bayak, Mother and Child, spray paint on plastic trash, 65x75 cm, 2013
Made Bayak, Mother and Child, spray paint on plastic trash, 65×75 cm, 2013 (Foto: Dok. Penulis)

Bayak memulai proyek Plasticology pada kisaran tahun 2010, bermula dari kejenuhannya terhadap praktik seni rupa di Bali yang mulai menunjukkan gejala klise. Sehingga mendorongnya untuk menemukan medium baru yang sekaligus dapat menjadi pesan utama dari karya-karyanya. Kemudian ia mulai memanfaatkan sampah plastik dari rumah tangganya sendiri sebagai medium berkarya, namun kemudian gagasan tentang plasticology ini terus berkembang dan menjadi gerakan sosial. Saat ini, Bayak aktif memberikan workshop kepada masyarakat maupun anak-anak di berbagai sekolah tentang pengelolaan sampah, termasuk menjadikannya karya seni.

Selain itu, isu alih fungsi lahan pertanian juga mendorong seniman Gede Suanda Sayur untuk menerapkan praktik keseniannya ke dalam gerakan sosial ini. Lahir dan besar di Ubud membuat Gede Sayur tumbuh dalam lingkungan agraris. Sawah adalah pemandangan sehari-hari yang dilihatnya, sekaligus sumber nafkah utama keluarganya. Namun, perkembangan pariwisata di Ubud beberapa tahun belakangan ternyata berdampak pada kultur agraris yang telah berlangsung turun temurun. Meningkatnya jumlah wisatawan yang datang ke Ubud tentu saja mendorong bertambahnya jumlah hunian baru. Sayangnya ketersediaan lahan untuk membangun justru dengan mengorbankan areal persawahan. Hal ini juga dipicu oleh bergesernya minat masyarakat ke sektor wisata, meninggalkan pertanian.

Workshop Plasticology Made Bayak
Workshop Plasticology Made Bayak (Foto: Dok.Penulis)

Di sekitar tempat tinggalnya kemudian muncul banyak papan bertuliskan land for sale. Ternyata begitu banyak petani yang kemudian menjual sawahnya karena tidak lagi tertarik pada pertanian.  Ia kemudian membangun instalasi site specific di atas sawah milik keluarganya berupa teks Not For Sale dengan ukuran yang cukup besar sebagai oposisi dari tren menjual sawah di kawasan Ubud. Sampai saat ini, instalasi itu masih bertahan, meski harus berulang kali dibangun ulang akibat rusak diterjang cuaca. Karya ini kemudian menjadi populer justru karena kerap digunakan menjadi latar swafoto oleh wisatawan yang diunggah ke media social sekaligus menginspirasi seniman lain maupun masyarakat untuk menggunakan kata Not For Sale dalam gerakan mereka.

Praktik kesenian dengan melibatkan diri dalam isu sosial yang berlangsung di tengah masyarakat menjadi semacam tuntutan baru bagi seniman ketika ruang-ruang seni seperti galeri dan museum tidak lagi cukup mewadahi gagasan mereka. Termasuk tuntutan untuk menerapkan langsung gagasan idealnya di tengah problematika sosial yang terjadi, sekaligus menjawab pertanyaan klise, mampukah seni(man) mengatasi masalah sosial?

Artikel Isu Ekologi dalam Praktik Seni Rupa di Bali dimuat di majalah SARASVATI edisi November 2017