Pantjoran Tea House kembali menjadi tempat perayaan Imlek tahun lunar 2569 pada Selasa siang, 21 Februari 2018.
Perayaan dengan tuan rumah Lin Che Wei ini dihadiri Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita, Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franky Welirang, para pejabat Kemenko Perekonomian RI, serta perwakilan dari kedutaan besar asing di Indonesia.
Baca juga Menikmati Tradisi Teh Patekoan di Pantjoran Tea House
Perayaan Imlek kali ini adalah yang kedua setelah perayaan pertama pada 17 Februari 2018 yang dihadiri Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI Sofyan Djalil berikut para deputi, serta Rizal Mallarangeng dan Andi Mallarangeng.
Tetabuhan dari kelompok tari singa (barongsai) Vihara Budhi Mulya menyambut tamu. Di pintu masuk, beberapa undangan bergantian menorehkan cat di mata, hidung, dan mulut singa sebagai tanda pemberkatan.
Tradisi ini untuk mengantarkan roh positif dari langit ke tubuh singa dan menjadikannya hidup sebelum digunakan menari. Jika barongsai tanpa diawali dengan pemberkatan, konon akan membawa petaka.
Begitu singa terjaga, matanya bergerak pelan, diikuti mulutnya, telinganya, hingga kemudian seluruh tubuhnya. Tambur, gong, dan simbal pun dipukul makin keras, hingga akhirnya terdengar dar-der-dor suara petasan yang disulut Franky Welirang, menandai dimulainya aksi barongsai.
Baca juga Selangkah dari Sekolah, Resto Pun Ramah di Kantong
Acara inti perayaan Imlek ada di lantai atas Pantjoran Tea House. Tamu berdiri dalam formasi melingkari meja makan. Yusheng dihidangkan di tengah-tengah di atas satu piring lebar. Di situ ada wortel dan lobak yang dipotong halus memanjang. Daging ikan dan bumbu yang terdiri dari lada, minyak, krupuk, serta saus plum diletakkan terpisah dan menjadi “tugas” tuan rumah dan tamu untuk mencampurnya.
Setelah mendapat aba-aba, tuan rumah dan tamu meletakkan daging ikan segar yang diiris tipis di atas yusheng sambil menyerukan “nian nian you yu” (makmur setiap tahun). Begitu terdengar aba-aba selanjutnya, jeruk nipis diperaskan di atas ikan sambil menyerukan “da ji da li” (beruntung dan sejahtera). Lalu aba-aba untuk lada, untuk minyak, krupuk, dan terakhir untuk saus plum.
Puncaknya, ketika seluruh peserta memegang sumpit lantas mengaduk yusheng hingga tercampur rata dengan menyerukan “wan shi ru yi” (semoga semua berjalan baik dan lancar) lantas yusheng diangkat tinggi-tinggi, ruang makan jadi meriah dengan seruan “gong xi fa cai” (semoga semua sejahtera).
Konon, semakin tinggi yusheng terangkat, semakin baik pula peruntungan pada tahun yang baru. Tradisi mengaduk yusheng dan mengangkatnya tinggi-tinggi disebut lo hei.
Baca juga Fine Dining yang Akrab dan Hangat
“Yu” punya dua arti, yakni ikan dan berkelebihan. Sedangkan “yusheng” berarti meningkatnya kelimpahan. Karena itu yusheng dipercaya sebagai simbol kelimpahan dan kemakmuran bagi yang menyantapnya.
Yusheng adalah menu istimewa dalam tradisi Tionghoa di Singapura dan Malaysia. Hanya dapat dinikmati di antara waktu Imlek dan Capgomeh dan dihidangkan sebagai makanan pembuka.
Tradisi ini diperkirakan dimulai di Kota Chaozhou dan Shantou Provinsi Guangdong, Tiongkok, pada zaman Dinasti Song Selatan (1127–1279). Di kawasan pesisir itu, nelayan merayakan Renri (hari ke-7 tahun baru lunar) dengan berpesta hasil tangkapan ikan.
Baca juga Jalan Leluhur Rumah Kopi Semarang
Yusheng versi modern diciptakan empat juru masak rumah makan Lai Wah, Singapura bernama Lau Yeok Pui, Tham Yui Kai, Sin Leong, dan Hooi Kok Wai pada 1964. Sebelumnya, mereka adalah rekan sekerja di dapur rumah makan Cathay di Gedung Cathay, Singapura. Karena kecakapan menciptakan simbol keberuntungan dan kesehatan masyarakat Tionghoa, mereka dikenal dengan julukan Empat Raja Kuliner Surgawi.
Di Indonesia, yusheng mulai semarak pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999 – 2001), seiring ditetapkannya Konghuchu sebagai agama resmi Indonesia, disusul pemerintahan Megawati (2001 – 2004) yang menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.