Di antara riuh-rendah batik pedalaman dan batik pesisir, terselip batik Tuban yang tampilannya “beda sendiri”. Tak ditemui di pusat-pusat pembatikan lain, bahkan di Jawa Timur, seperti Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Magetan, Ponorogo, Kediri, Tulungagung, Probolinggo, Banyuwangi, hingga Madura. Namanya batik gedog.
Hanya di Tuban-lah lahir batik gedog, yaitu kain batik dengan mori hasil alat tenun bukan mesin (ATBM) yang ketika berproses berbunyi dag-dog-dag-dog. Morinya berasal dari benang tenun yang dipintal sendiri dan dengan kapas yang juga ditanam sendiri. Itu sebab permukaan mori batik gedog agak kasar.
Baca juga Dari Perca Menjadi Tas Bernilai Tinggi
Di atas mori yang kasar inilah diberi motif dengan proses batik. Motif yang terkenal dan kuno antara lain ceplek, kerompol tutul, kembang waluh, ganggeng, serta kenongo uleren. Dari segi ukuran dikenal tapeh (panjang 2 meter) dan selendang.
Tuban merupakan kota pelabuhan zaman Majapahit, dengan penguasa pertama yang masyhur bernama Ronggolawe. Tradisinya tua, dari tradisi Majapahit abad ke-12 hingga ke-14; tradisi Tiongkok dari sisa pasukan Kubilai Khan yang menyerang Jawa di awal Majapahit dan memutuskan tinggal di Tuban; hingga tradisi Islam dari Sunan Bonang di tahun 1465 – 1525.
Jejaknya antara lain bisa dilihat pada motif panji krentil, panji serong, dan panji komang pada motif burung hong; serta motif kijing miring dan ilir-ilir.
Kekayaan wastra Tuban dan daerah-daerah lainnya dipamerkan dalam “Nusawastra at Saumata” pada 4 – 19 November 2017 di Apartemen Saumata, Alam Sutera, Tangerang Selatan.
Pameran ini menghadirkan ragam batik, songket, dan tenun Nusantara koleksi Quoriena Ginting yang juga penyusun buku Nusawastra Silang Budaya tentang kekayaan wastra Nusantara.
Baca juga Mula Buton dari Nanas Penangkal Bajak Laut
Wastra Indonesia yang kaya ragam teknik dan motif adalah tenunan memori akan peradaban. Khasanahnya berbentuk produk, jejak sejarah, dan ilmu yang bisa dibaca dari generasi ke generasi.
“Nusawastra at Saumata” juga mengedepankan jasa Go Tik Swan (1931 – 2008) yang sejak 1957 merintis keberadaan “batik nasional” demi menjawab tantangan Presiden RI Sukarno.
Go Tik Swan adalah putra sulung keluarga Tionghoa terpandang di Solo. Ayahnya adalah cucu Letnan Tionghoa di Boyolali, sedangnya ibunya cucu Letnan Tionghoa di Solo.
Sedari bocah, Go Tik Swan diasuh kakek dari pihak ibu, Tjan Khay Sing, seorang pengusaha batik paling besar di Solo waktu itu. Sang kakek memiliki tempat pembatikan dengan total karyawan tak kurang dari 1.000 orang, dua di Keratonan, satu di Ngapenan dan Kestalan.
Sejak kecil Tik Swan hidup di lingkungan keraton, bergaul dan bersekolah bersama anak-anak kaum ningrat, sehingga ini menjadi pintu masuknya mempelajari budaya Jawa keratonan. Tak heran ketika dewasa, dia menguasai soal batik membatik, perkerisan, pedalangan, gending, juga tari-menari beserta segenap filosofinya.
Perkenalannya dengan Presiden Sukarno pada 1955 adalah ketika dia memeragakan tari Gambir Anom di Istana Negara. Mengetahui latar belakang Tik Swan yang turun temurun bergerak di dunia perbatikan, Bung Karno menantang untuk menciptakan “batik nasional” atau “batik Indonesia”, bukan batik pedalaman, bukan juga batik pesisiran.
Baca juga Siluman Terakhir Sie Jin Kwie
Lahirlah “batik Indonesia” yang rancangannya merupakan paduan canggih (sophisticated) unsur-unsur batik di Nusantara. Batik Indonesia ciptaannya telah berjumlah 200-an jenis, dan lebih dari 10 di antaranya jadi koleksi Quoriena.
Keraton Surakarta telah menganugerahkan gelar bangsawan yang kian tahun kian meningkat kepada Go Tik Swan alias Harjonagoro. Dari Raden Tumenggung pada 1972, Kanjeng Raden Tumenggung pada 1984, Kanjeng Raden Hario pada 1994, Kanjeng Pangeran Tumenggung pada 1998, Kanjeng Pangeran Aryo pada 2001, dan terakhir, hingga Panembahan pada 2005. Sebelumnya, gelar Panembahan hanya disandang raja Mataram pertama, Panembahan Senopati.
Selain batik, songket dan tenun juga karya seni yang dibuat dengan memadukan fungsi dan keindahan. Motif-motif yang dibuat tidak sekadar untuk menyampaikan pesan dan menceritakan kondisi pada zamannya, tetapi juga memperhatikan unsur estetika.
Salah satu daerah penghasil songket adalah Lampung. Lampung memiliki masyarakat suku paminggir (pesisir), antara lain tinggal di Kalianda dan Kota Agung; serta masyarakat suku abung (pedalaman).
Dalam urusan wastra, masyarakat paminggir melahirkan kain kapal serta beberapa jenis tapis. Sedangkan suku abung menghasilkan beragam wastra tapis.
Baca juga Budaya dan Identitas Baru Tubaba
Kain kapal yang panjangnya dapat lebih dari 2,5 meter dengan lebar rata-rata 60 centimeter dengan motif utama kapal adalah kain ritual yang digunakan dalam perayaan siklus hidup. Bentuk kapal bisa bermacam-macam, dari kapal bersajaha, kapal jung Tiongkok yang besar dan berbentuk naga, kapal Asia Tenggara berukuran raksasa dan bertingkat-tingkat, sampai kapal Belanda.
Di kehidupan masyarakat paminggir, kapal adalah perlambang penting kehidupan rohani mereka. Kapal jugalah yang akan membawa manusia berlayar dari satu tangga kehidupan untuk mencapai tangga kehidupan lain, dari kelahiran, perkawinan, hingga menuju alam abadi.
Kain kapal kini termasuk langka, sebab sebagian besar sirna bersama letusan Gunung Krakatau pada 1883, dan sejak seabad lampau tak ada lagi perajin yang membuat.
Saumata adalah apartemen yang mengutamakan estetika dan eksklusivitas, berada di Alam Sutera, Tangerang Selatan. Marketing Director PT Sutera Agung Properti yang jadi pengembang Saumata, Boy Noviyadi, menjelaskan saat pembukaan pameran, “’Nusawastra at Saumata’ mengungkapkan keindahan dan keunikan yang terkandung pada setiap helai kain. Kegigihan pembuatannya patut diapresiasi selain melestarikan keberadaan wastranya.”
Selama pameran digelar juga talkshow dan workshop mengenai batik, tenun, dan songket dengan Quoriena Ginting, Siti Maimona, Dhanny Dahlan, dan Dudung Alie Syahbana, serta kegiatan melukis boneka kayu bersama Hadiprana. Pada 25 November hingga 10 Desember 2017, Asosiasi Galeri Seluruh Indonesia (AGSI) akan menggelar pameran seni, fesyen, dan desain di Saumata.