Ekspresi seninya adalah intervensi. Ruang publik merupakan taman bermainnya. Ketidakmapanan, ketidakdisiplinan, dan ketidakadilan adalah target utama proyek-proyek seninya. Tak masalah karyanya dicap ilegal hanya karena tak pernah mengantongi izin aparat keamanan.

Iwan-Akmett-Seniman-new-media-art-video-(1)_smallSebuah rangka berbentuk bola raksasa berisi sampah plastik, menyambut Sarasvati saat pertama kali berkunjung ke studio Irwan Ahmett –akrab disapa sebagai Iwang – yang sekaligus menjadi kediaman pribadinya di kawasan Pasar Minggu, Jakarta. Seperti yang saya duga, bola itu merupakan proyek seni Iwang selanjutnya. Dan kini, bola tersebut sudah berdiri kokoh di pertigaan Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

Dalam kunjungan Sarasvati tersebut, Iwang ternyata tengah sibuk berkoordinasi dengan timnya mempersiapkan sejumlah proyek seni yang ditargetkan selesai tahun ini. Di antara tim ada Tina Salina, istri Iwang yang juga menjadi pasangannya dalam berkarya.

Sebagian besar karya-karya Iwang menggambarkan sosok pribadi dan cara pandangnya dalam merespon berbagai dinamika sosial di sekitarnya. Ia sangat suka ‘membaca’ problematika di perkotaan besar termasuk Jakarta. Dan, saat kota yang ruwet ini dikukung dengan berbagai peraturan, ia merasa ruang bermainnya ikut dibantai. Kepada Sarasvati, ia mengaku rindu dengan wajah Jakarta yang penuh kekacauan dan kejahilan. Dan, karya-karyanya adalah ungkapan perang, perang melawan kemapanan.

Bisa diceritakan awal mula Anda terjun ke dunia seni?

Usai lulus SMA pada tahun 1993, saya memutuskan untuk meneruskan pendidikan di jurusan Desain Grafis, Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Tapi tidak lulus, karena tahun 1997 saya memutuskan keluar. Setelah itu, saya bekerja sebagai desainer grafis di beberapa perusahaan. Hingga pada 2003, bersama istri – Tita Salina – saya memutuskan untuk membuat perusahaan desain grafis sendiri.

Anda disebut-sebut seniman yang anti-kemapanan, setujukah dengan pandangan ini?

Ha..ha, sebenarnya saya senang saat semua berjalan baik. Tapi lebih senang dengan ketidakmapanan. Misalnya, saya suka naik KRL (kereta ekonomi) karena bisa menyaksikan banyak drama kehidupan. Saya bisa tahu tren lagu dan model saat ini seperti apa ketika naik kereta ekonomi. Melihat aksi para pedagang kaki lima menjajakan barang dagangannya, kekompakan para penumpang menjaga keamanan antar mereka dari aksi kejahatan, kekesalan para penumpang saat kereta macet atau terlambat, hingga peristiwa naas penumpang jatuh dari kereta dan aksi bunuh diri. Semua itu seperti mapping society.

Iwan-Akmett_green-car-print_gelsenkirchen,-germany-(2013)_small
Green Car Print, 2013, gelsenkirchen, Germany

Buat sebagian orang, kondisi-kondisi itu memang menyebalkan. Tapi itulah kehidupan. Itulah drama. Tapi, sekembalinya dari Jerman (Irwan mengikuti artist residency di Berlin dari Mei-Juni 2013), saya cukup terkejut dengan perkembangan perkeretaapian kita saat ini. Tidak lagi ada orang duduk di atas kereta, seluruh gerbong bersih dari sampah, tidak ada lagi pedagang kaki lima dan pencopet. Orang-orangnya jadi jaim, kalau dulu masih ada yang saling bercanda bercerita, sekarang semua diam, fokus pada gadget mereka masing-masing. Ke mana Jakarta yang brutal dan riuh? Tiba-tiba semuanya hilang. Hidup kita penuh dengan kontrol. Kita dipaksa untuk berkata “yes” demi kepentingan massal, meski di hati berkata “no”. Lalu, kita dihadapkan dengan beragam branding dengan hadirnya berbagai bentuk iklan komersialisasi. Kita dipaksa masuk ke dalam sebuah sistem yang terus menerus me-feeding kita menjadi manusia konsumtif.

Jadi, Anda tidak suka masyarakat diatur?

Manusia memiliki kecenderungan untuk selalu mengontrol. Namun, kontrol terhadap masyarakat kita sudah bergerak terlalu jauh, berlebihan. Jujur saja, kita orang Indonesia paling sulit diatur kok. Jika kita diatur-atur seperti Jepang, jadinya aneh. Kita kehilangan identitas kita. Yang mengatur itu juga belum tentu benar.

Aksi ‘kontrol’ itu bahkan sudah dimulai sedari kita kecil. Dicetak secara organik hingga melahirkan pola tertentu yang kita tidak bisa keluar darinya. Sama seperti akar sebuah pohon yang ditanam di sebuah pot, yang tumbuh sesuai bentuk wadahnya meski wadahnya sudah pecah. Semua sudah dimulai sejak kita duduk di bangku SD. Berbagai macam peraturan mempengaruhi pola pikir dan kreativitas kita. Sistem menentukan seseorang disebut pintar bukan lagi untuk mereka yang senang berinovasi, membuat sesuatu yang radikal. Tapi mereka yang paling patuh, paling cepat menjawab, dan benar sesuai dengan standar kebenaran sang guru.

Akhirnya, kreativitas kita lumpuh. Kita menjadi manusia yang terlalu mudah dikontrol. Aturan menjadi agama baru, yang orang-orang tidak lagi mempertanyakan saat diberlakukan. Jujur saja bahwa kita belum siap untuk menjadi masyarakat dari sebuah negara maju. Manusia sendiri sebenarnya memiliki moral control-nya masing-masing. Sudah karunia dari Tuhan, jadi tidak perlu terlalu diatur-aturlah. Atau, jangan-jangan ketidakaturan kita itu sebenarnya menggerakkan ekonomi masyarakat kecil kita.

Bagaimana bisa?

Contohnya sampah. Di proyek seni selanjutnya, saya ingin melihat bagaimana perputaran sampah di Jakarta. Tapi ternyata untuk mendapatkan sampah di Jakarta tidak gampang. Sampah-sampahnya dikuasai para cukong. Ada ribuan pelaku yang terlibat, mulai dari ibu-ibu rumah tangga hingga pengepul sampah tingkat RT/RW. Bisa dibayangkan kalau sampah-sampah itu dikelola secara modern, oleh mesin, seperti di Inggris dan Singapura. Mereka akan kerja apa? Saat semua dimodernkan, justru kearifan lokal punah.

Saya terpikir, jangan-jangan menangani masalah sampah bukan dengan membeli kendaraan pengangkat dan pengolahan sampah yang bagus. Tapi dengan menyarankan agar orang buang sampah sembarangan, sehingga para pemungut sampah itu bisa tetap hidup. Di sinilah pentingnya sebuah proyek seni. Senjata utama saya adalah dengan bermain. Karena saat bermain, bersikap jahil, memainkan kritik terhadap peraturan, ternyata mampu menawarkan solusi dan cara pandang baru terhadap sebuah masalah. Meski tidak selalu karya seni menjadi solusi.

Dalam berkarya, Anda sering menggunakan media video. Mengapa memilih video?

Iwan Akmett_FEEDING THE MACHINE_berlin (2013)
Feeding The Machine, 2013, Berlin

Video bukan satu-satunya medium yang saya gunakan dalam berkarya. Saya juga menggunakan foto, sculpture, dan instalasi. Namun, saat mengeksekusi cara apa yang paling efektif untuk mempresentasikan karya, ternyata lebih sering ‘dimenangkan’ video. Ketertarikan saya pada video justru muncul saat bertemu dengan teman-teman di ruangrupa. Bahkan, karya video pertama yang saya buat adalah saat mengikuti festival OK.Video pertama, pada tahun 2003. Ide-ide mereka menurut saya cukup segar.

Saat itu, seni video belum sepopuler sekarang bahkan peralatannya masih mahal dan teknologinya masih sulit diakses. Tapi, saya melihat video cukup potensial menjadi medium selanjutnya dalam berkarya.  Pertama, karena video bersifat segmented, memiliki durasi, yang tidak dimiliki media lain.

Secara mekanis video bisa bergerak dinamis dengan sendirinya. Berbeda dengan foto dan lukisan yang statis. Karya yang ditampilkan bisa lebih dinamis. Bila ditambah efek lain seperti suara, bisa jadi luar biasa. Ia bisa menampilkan emosi, ketegangan, hanya bau saja yang tidak. Video adalah media dokumenter terbaik untuk saat ini karena sifatnya yang bisa menangkap realtime. Karena saat sebuah peristiwa terjadi di sanalah letak karyanya.

Menurut saya, tanpa mengecilkan bentuk seni lainnya, video adalah medium berkarya yang powerfull. Video mudah diakses karena harganya sekarang sangat murah. Tidak ada ponsel yang tak dilengkapi fitur video. Karya video juga sangat murah didistribusikan, berbeda dengan lukisan ataupun patung yang butuh ‘ritual’ khusus. Cukup diunggah di Youtube, karya itu bisa langsung dilihat seluruh manusia di dunia.

Kehadiran karya-karya video, tidak saja membutuhkan cara membaca yang baru. Tetapi juga dengan cara penyimpanan karya video. Menyimpan karya seni dalam bentuk konvensional, misalnya kanvas, menurut saya sudah tidak lagi masanya. Lihat saja, orang kaya tidak lagi membawa uang 100 jutanya secara fisik, semua dalam bentuk digital di dalam sebuah kartu. Televisi saja sudah dikonversikan ke dalam bentuk digital, tidak lagi TV satelit.

Maksud saya, ke depan perilaku kita terhadap karya seni juga berubah. Karya seni disadur ke bentuk digital. Sehingga tidak lagi perlu gudang, penggantinya adalah gudang binner. Namun, kalau pada praktiknya kita masih menggunakan formasi yang lama, memang masih bisa, tapi hanya untuk dimuseumkan, menjadi artefak  yang hanya disimpan. Saya rasa video menjadi indikator dan titik awal menuju level dalam berkesenian selanjutnya. Di masa depan, jangan-jangan untuk menikmati seni kita tidak perlu lagi datang ke galeri ataupun museum. Tinggal mengunggah dan tonton di waktu dan tempat yang kita sukai.

Screen-shot-2013-09-19-at-4.52
A Final Touch, 2013, Jakarta

Proses dalam berkarya seperti apa?

Ada kecenderungan dua karakter saat saya berkarya. Pertama, sifatnya spontan. Ide muncul saat saya melihat sesuatu dan tinggal sentuhan akhir saja sehingga layak dibilang karya seni. Seperti dalam karya ‘A Final Touch’ (melukis bercak darah di belakang aparat TNI yang tengah tertidur). Saya menjadikan lantai sebagai pengganti kanvas. Dan, tiba-tiba hasilnya sangat powerfull.

Lainnya, seperti dalam karya Feeding the Machine di Berlin. Saya bermain-main dengan sebuah mesin pembersih sampah yang cara kerjanya dengan menyedot sampah di jalanan. Saya sengaja membuang sampah di hadapan mesin tersebut, sehingga mesin itu mengikuti ke mana arah sampah yang saya letakkan. Hal menarik adalah ketika sang pengemudi mesin itu terlihat bingung dan takut melihat aksi saya. Namun ia harus tetap mengemudikan mesinnya mengikuti arah sampah saya, sudah tugasnya.

Kedua, bersifat partisipatif yang membutuhkan partisipasi pihak lain. Karyanya tidak bisa spontan, perlu persiapan. Seperti dalam karya ‘Propeller People’ yang digarap di Istanbul, Turki. Perlu waktu untuk menentukan di mana lokasi dan siapa saja yang menjadi partisipan. Jadi, saat saya menemukan permasalahan yang bisa menjadi next project, saya perlu tahu lebih dulu problemnya apa.

Sama seperti antropolog, perlu melakukan riset dan interview, meet with the local, dan menganalisa masalah. Barulah ditentukan bagaimana harus meresponnya. Dari sana kita buat model (karya), simulasi, cari partisipasi, baru dieksekusi. Prosesnya bisa sangat lama. Untuk pembentukan konsep bisa dua bulan. Belum lagi untuk survei lokasi dan mencari partisipasi.