Bagi Edwin Rahardjo, hobi merupakan keberangkatan awal untuk memulai penjelajahan kreatif. Sebagai manusia yang tertarik akan banyak hal, Edwin menantang arus meski banyak teman-temannya menilainya “orang bingung”.

edwin-rahardjo-(1)_edit_smallSelama ini Edwin Rahardjo dikenal sebagai kolektor dan pemilik galeri – Edwin’s Gallery – yang terletak di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Bahkan ia saat ini menjabat sebagai ketua Asosiasi Galeri Seni Indonesia. Namun selain sebagai kolektor dan pemilik galeri, Edwin juga seorang fotografer yang sudah ditekuninya sejak tahun 1980-an. Kini profesinya bertambah lagi – seniman kinetic sculpture yang saat ini masih menjadi definisi baru bagi seni rupa Indonesia. Kinetic Sculpture yang masuk pada ranah seni New Media, mulai merangkak dalam peta seni rupa Indonesia. Adalah Edwin Rahardjo salah satu yang memperkenalkan ranah ini. Tidak hanya sebagai praktisi, lelaki kelahiran 1 Juli 1953 ini juga berperan ganda sebagai seniman dan penggagas Kinetic Sculpture pada Kinetica Art Fair 2013 bertajuk Motion Sensation di Grand Indonesia, Jakarta pada Februari 2013. Ditemui di galerinya yang didirikannya pada tahun 1984, Edwin menceritakan pada Sarasvati tentang persentuhannya dengan Kinetic Sculpture dari sebagai hobi dan mainan hingga optimisme sebagai potensi karya yang berkembang untuk New Media.

Pada intinya apa beda kinetic sculpture  dengan robot?

Robot itu punya fungsi, misal memadamkan api, menyapu lantai dan lain-lain. Jadi robot itu lebih pada fungsi, bentuk jadi tidak terlalu penting. Sedangkan Kinetic itu lebih kepada art, ada kelembutan yang lebih halus dan cantik, itulah art, karena art tidak punya fungsi. Fungsinya misal karena keindahan, membuat saya berpikir, memberikan pencerahan. Art itu tidak punya fungsi realitas, kecuali memberikan fungsi pada pemiliknya yang sifatnya lebih bersifat sense.

Anda dulu fotografer, sekarang berubah ke Kinetic Sculpture, bisa dijelaskan peralihannya?

Sebetulnya begini, saya dari 1995 selalu membuat mainan, dari 1995 sampai sekarang mainan itu bahkan belum selesai. Tapi orang tidak akan ada akhir kalau tidak ada awal. Lalu saya bikin Kinetic Art yang dalam proses memerlukan waktu setahun karena semua handmade dan bentuknya harus presisi.

Saya menekuni mainan ini berbarengan dengan mekanik saat tahun 1995. Jadi saya punya obsesi membuat sesuatu yang membuat saya berpikir kalau saya bikin ini akan jadi apa. Kemudian ada seniman yang pernah ngomong, kamu kenapa tidak bikin patung aja sih, wah benar juga ya saya pikir begitu. Tapi mau seniman atau bukan seniman, this is my toys. Buat saya ini menjadi alasan yang bagus karena seperti ada seniman yang melukis untuk pesanan, ada seniman yang bikin lukisan sudah seperti diary saja sehingga dia setiap hari harus menggambar. Nah itu yang membuat seseorang menjadi seniman yang tangguh.

Untuk satu produksi karya, memakan biaya berapa?

kinetic-art-(7)_small
Edwin Rahardjo
Light Rhythm 1/5
Mixed media

Karya seni itu, kalau seniman muda bikin karya sejuta kalau dijual harganya dua juta. Saya sadar di karya seni saya orang baru, jadi saya tidak memikirkan harus make money, yang penting modal saya balik, orang mau membeli, yang penting tidak merepotkan saya, dan yang penting ini bisa membuat sesuatu untuk ke orang, kalau suatu hari saya terkenal, cost itu tidak ada apa-apanya. Jadi nama yang harus dibuat, yang bikin kita mahal bekerja sebagai seniman itu yah nama. Anda harus punya nama, bukan karena gosip, digoreng, tapi kamu harus lebih diakui dan kita masuk ke dunia yang mengakui kita.

Untuk Indonesia, apakah memang sebagian besar kalangan telah mengkategorikan karya kinetic dalam New Media?

Bisa, meski new media atau kontemporer itu apa yah sebetulnya? Maksud saya belum sepenuhnya mencapai kesepakatan. Tahun 1989 itu saya bikin Pameran Surealis Jogja, senimannya 20 orang, yang sebetulnya mereka itu bukan sepenuhnya surealis. Jadi pada saat itu mereka tidak mau disebut realis kemudian pindah bergabung ke dalam pameran Surealis Jogja ini. Nah kemudian pada perkembangannya, 20 orang itu sekarang sebagian besar tidak mau disebut surealis Jogja, jadi sekarang ini pecah lagi. Saya yakin Kinetic juga akan seperti itu.

Kalau untuk Indonesia sendiri, apakah kolektor telah memiliki mindset baru bahwa mereka harus membuka ruang ketika membeli karya new media? Apakah di Indonesia kolektor sudah terbuka dengan arahan Kinetic Art ini?

Saya rasa kolektor yang sudah mapan dan berumur mungkin dia tidak paham dan tidak mau paham. Misalnya seperti Manga, yang tua gak bakal beli atau mereka yang modernis karena tidak nyambung. Saya pikir kolektor yang muda lebih welcome, sementara yang tua kembali ke old style.  Kalau yang tua membeli lukisan kontemporer, itu perlu dipertanyakan apakah karena nama atau karena dia suka. Sekarang saya mengembangkan Kinetic karena saya ingin mengetahui yang baru, dan mendapati karya kinetic itu menarik dan exciting. Itulah saya, selalu tertarik untuk mempelajari sesuatu yang baru.

Apa tanggapan orang lain dengan kesibukan Anda sekarang membuat karya Kinetic?

kinetic-art-(2)_small
Bob Potts
Cosmographic Voyager, 2010
Mixed media
68, 5 x 30, 5 x 38, 5 cm

Teman saya pernah berseloroh, kamu menghabiskan waktu berapa jam dan berapa juta untuk bikin karya seperti ini? Ratusan jam dan ratusan juta, apakah kamu nggak merasa membuang waktu dan uang,  kata kawan saya itu. Lalu saya bilang, kamu itu golf, berapa ratus jam dan berapa uang yang kamu gunakan untuk ke Hawai, ke Bali, dan apakah hasilnya orang ingat ketika kamu main dan apakah kamu jadi juara? Nggak kan? Itulah bedanya dengan saya, kalau nggak ada yang mau beli, saya taruh di rumah buat anak saya dan cucu saya, sebagai kenangan, ini lho your crazy grandfather do this.

Anda biasanya dapat ide-ide untuk membuat karya dari mana?

Sebenarnya pengendapan dari cara saya melihat alam di sekitar saya. Misalnya saya itu sangat mengagumi ubur-ubur. Namun tentu saja untuk membuat benda seperti ubur-ubur sangat sulit, karena gerak tentakel ubur-ubur kan harus lembut. Jadi tinggal bagaimana sekarang memindahakan gerakan lembut mereka di dalam air untuk di udara. Kemudian juga tertarik pada burung, cumi, atau ikan pari. Pada intinya saya tertarik pada kelembutan yang saya temukan pada alam.

Baca wawancara lengkap Sarasvati dengan Edwin Rahardjo di sini