Biennale Jogja XIV telah mengumumkan tema program dan kuratorial untuk seri Equator keempat yang akan diselenggarakan pada tanggal 2 November hingga 10 Desember 2017 di Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta. Dengan arahan dari Dodo Hartoko sebagai Direktur dan Pius Sigit Kuncoro sebagai Kurator, BJ XIV Equator #4 mengangkat “STAGE of HOPELESSNESS” sebagai tema utama tahun ini. Tema tersebut akan direspons dalam empat program utama Biennale, yakni Festival Equator (10 Oktober – 2 November 2017), Main Exhibition (2 November – 10 Desember 2017), Parallel Events (4 November – 7 Desember 2017), dan Biennale Forum (4 November – 7 Desember 2017).
Ide tema ini berawal dari kunjungan pertama Tim Biennale Jogja ke Brasil pada November 2016. Saat itu Tim Biennale Jogja menemukan momen estetik dalam São Paulo Biennial ke-32, Live Uncertainty. Perhelatan ini tidak hanya merefleksikan persoalan ketidakstabilan politik ekonomi karena momen traumatik dari pergantian kekuasaan di Brazil yang terjadi pada tahun sebelumnya, tetapi juga mengetengahkan persoalan ekologi sebagai pangkal persoalannya.
“Biennale Jogja XIV Equator #4 hendak menjawab persoalan ketidakpastian hidup yang telah membuat kita tidak berani untuk berharap karena kenyataan semakin sulit untuk dipahami. Narasi besar ini akan mengajak kita pada suatu pengalaman melintas dari ketidakpastian menuju harapan,” tulis penyelenggara dalam siaran persnya.
Ada tiga bagian besar dalam pagelaran ini, yaitu “Organizing Chaos” sebagai tema untuk Festival Equator, “Stage of Hopelessness” sebagai tema untuk Main Exhibition dan Parallel Events, dan “Managing Hope” sebagai tema untuk Biennale Forum.
Untuk Festival Equator, bentuk kegiatannya akan berupa intervensi ruang publik di Yogyakarta. Melalui festival ini, Tim Biennale Jogja mencoba menampilkan keadaan yang tidak biasa dan peristiwa yang tidak lazim di ruang-ruang publik untuk mengingatkan kembali orang-orang pada momen-momen traumatik di masa lalu. Gagasan yang sejalan dengan tema “Organizing Chaos”, kumpulan kekacauan tertata.
Tema ini pula menjadi pembuka bagi pagelaran Biennale kali ini. Sejumlah komunitas dan seniman akan berpartisipasi dengan cara mengintervensi ruang-ruang publik dan sebagian dari karya tersebut akan dipanggungkan dalam pembukaan pada tanggal 2 November di JNM.
Sedangkan untuk tema “Stage of Hopelessness” pada pameran utama, akan dijawab oleh karya-karya para seniman di Jogja National Museum dan ruang-ruang pamer lain di Yogyakarta yang menjadi peserta Parallel Events. Tema ini adalah wujud perlintasan panjang yang merupakan tahapan-tahapan psikologis dari ketidakpastian menuju harapan. Tujuh narasi yang dicakup dalam tahapan ini adalah Penyangkalan atas Kenyataan, Kemarahan pada Keadaan, Keputusasaan atas Kehilangan, Kepasrahan dalam Ketiadaan, Penghiburan atas Kehilangan, Kesadaran pada Keadaan, dan Penerimaan atas Kenyataan.
Pameran utama ini diikuti oleh 27 seniman Indonesia, yakni Adi Dharma a.k.a. Stereoflow, Aditya Novali, Arin Sunaryo, Cinanti “Keni” Astria Johansjah, Faisal Habibi, Farid Stevy Asta, Gatot Pujiarto, Indieguerillas, Julian Abraham, Kinez Riza, Lugas Syllabus, Maria Indriasari, Mulyana, Narpati Awangga, Ngakan Ardana, Nurrachmat Widyasena, Patriot Mukmin, Roby Dwi Antono, Sangkakala, Syaiful Aulia Garibaldi, Tattoo Merdeka, Timoteus Anggawan Kusno, Wiguna Valasara, Wisnu Auri, Yudha “Fehung” Kusuma Putera, Yunizar, Zico Albaiquni.
Selain seniman Indoneia, 12 seniman Brasil juga akan turut ikut serta, yaitu Cinthia Marcelle dan Tiago Mata Machado, Clara Ianni, Daniel Lie, Deyson Gilbert, Ícaro Lira, Jonathas de Andrade, Leticia Ramos, Lourival Cuquinha, Rodrigo Braga, Virginia de Medeiros, Waléria Americo, dan Yuri Firmeza. Tiga dari antara seniman Brasil tersebut – Daniel Lie, Rodrigo Braga, dan Yuri Firmeza – terlebih dahulu mengikuti residensi selama dua bulan di Yogyakarta.
Sementara, untuk Parallel Events, sekitar 35 ruang dan kolektif seni akan bergabung dalam perhelatan ini. Di antaranya, Ark Galerie, PKKH Universitas Gadjah Mada, Taman Budaya Yogyakarta, Kedai Kebun Forum, Museum Dan Tanah Liat, Galeri Lorong, Ruang MES 56, dan lain-lain. Tiap-tiap ruang/kolektif seni/komunitas akan menyajikan sebuah acara (pameran, performance, lokakarya, diskusi, pemutaran film, dll.) untuk merespons satu dari tujuh tahap narasi yang diajukan dalam Main Exhibition.
Selain itu, ada juga Biennale Forum yang akan menjadi wadah bagi percakapan-percakapan produktif yang dilandasi kesadaran akan hadirnya momen-momen traumatik dalam kehidupan sebagai momen-momen estetik yang dapat menjawab persoalan tentang ketidakpastian hidup yang dihadapi hari ini. Tema “Managing Hope” diturunkan ke dalam serangkaian pertemuan diskusi yang memantik pembicaraan-pembicaraan yang berdasar pada kenyataan-kenyataan hari ini untuk mencari kemungkinan baru untuk masa depan yang lebih baik.
Berbeda dari format Biennale Forum periode sebelumnya, Biennale Forum kali ini mencakup berbagai ragam forum diskusi, yang lebih berfungsi sebagai semacam payung bagi terlaksananya pertukaran gagasan, baik yang diagendakan dalam forum akademis maupun ruang-ruang seni yang terlibat dalam penyelenggaraan biennale kali ini.