Merpati mempersatukan keduanya. Dua generasi, dua negara. Dari keberadaan binatang peliharaan itulah seorang pensiunan tentara Jepang, menerima persahabatan yang diberikan pembantu rumah tangganya. Di hari tuanya yang sepi, jauh dari negaranya, jauh dari anaknya, lelaki tua itu kembali merasakan makna keluarga.
Mengambil judul Pigeon, sutradara Isao Yukisada mengetengahkan tema yang bisa dikatakan sangat relevan dengan situasi Asia masa kini. Tentang perbedaan generasi, kesendirian, dan nilai-nilai kekeluargaan yang mulai berubah.
Inilah wajah Asia masa kini yang dengan tepat ditampilkan Yukisada dalam Asian Three-Fold Mirror 2016: Reflections yang merupakan antologi dari tiga film pendek pertama yang diproduksi Japan Foundation Asia Center dan Tokyo International Film Festival.
Film ini ditampilkan sebagai salah satu highlight acara Focus on Asia Fukuoka International Film Festival 2017 di Fukuoka, Jepang, 15-24September 2017.
Selain Pigeon, film Reflections juga menampilkan film pendek Shiniuma Dead Horse karya sineas dari Filipina, Brillande Ma Mendoza dan Beyond the Bridge karya Sotho Kulikar. Namun dibandingkan kedua film tersebut, Pigeon tampil paling kuat baik dari segi narasi, pesan yang ingin disampaikan, hingga penyutradaraan.
Lewat film pendeknya ini, Yukisada mengisahkan kehidupan veteran perang Jepang, yang memilih hidup di Penang, Malaysia. Dalam kondisi yang sudah pikun, ia kerap membuat ulah ketiga pembantunya. Namun hanya satu orang yang dengan sabar mencoba memahami karakternya. Termasuk memahami mengapa kakek ini memelihara merpati.
Ikatan batin antara kakek dan pembantunya ini makin kuat ketika anak vetaran Jepang ini datang dari negaranya dan memaksa ayahnya untuk memberikan surat-surat berharganya. Namun sang ayah lebih memilih diam dan mengabaikan anaknya.
Yukisada mengolah cerita ini dari pengalaman pribadi seorang kenalannnya yang memiliki orangtua yang memilih tinggal di Malaysia yang dinilai lebih memberikan tempat bagi perawatan lansia penderita dementia. Namun kemudian istrinya kembali lagi ke Jepang. Beberapa kali, keluarga dari pria ini masih menengoknya secara berkala, namun lambat laun makin jarang, hingga kemudian lelaki ini meninggal di Malaysia.
“Kisah ini mengingatkan saya pada film The Ballad of Narayama karya Shohei Imamura. Bagaimana di masa sekarang, orang tua dianggap tak berguna,” ujar Yukisada dalam wawancara langsung sebelum pemutaran filmnya di United Cinema Canal City Fukuoka, 23 September 2017.
Sutradara kelahiran Kumamoto 1968 ini memilih mengolah cerita ini ketika diminta pihak Japan Foundation untuk mencari tema yang terkait dengan masa depan Asia. Baginya, kisah ini menjadi suatu ironi. Ketika di satu sisi mulai banyak negara mapan di Asia mengalami penurunan populasi generasi muda, keberadaan generasi tua ikut terabaikan. Mungkin hal ini belum terlalu terasa di kawasan Asia Tenggara, namun globalisasi dan urbanisasi menjadikan masyarakat perkotaan cenderung lebih individualis.
Memilih Penang sebagai lokasi cerita, menjadikan Yukisada mendapatkan pengalaman unik selama pembuatan film. “Sebagian besar kru cenderung enggan bekerja saat siang hari karena cuaca panas. Mereka hanya akan membantu ketika diminta. Dalam kacamata filmmaking di Jepang, hal ini menjadi tidak efektif.
Mereka menghabiskan banyak waktu untuk persiapan,” ujar sutradara peraih FIPRESCI Award di Berlin pada 2010. Keunikan lainnya yang dirasakannya terletak pada cara penyutradaraan. Ia melihat kebanyakan filmmaker di Malaysia melakukan improvisasi yang mana pendekatan ini turut mempengaruhi sikap para kru yang terlibat.
Akibatnya karakter ini menjadikan jadwal dan perhitungan waktu produksi menjadi agak meleset. “Saya tidak punya pilihan lain juga untuk memilih Malaysia, karena produksi ini turut melibatkan teman saya, seorang sutradara Malaysia,” ujar Yukisada.
Meski mengalami sedikit tantangan yang berbeda dari cara penyutradaraannya, Yukisada lebih matang dalam menyajikan alur penceritaan. Sedikit berbeda halnya dengan Shiniuma Dead Horse yang menceritakan seorang imigran gelap Filipina yang puluhan tahun tinggal di Jepang dan kemudian dideportasi.
Adapun Beyond the Bridge cenderung menjadi drama melodramatik tentang seorang pria Jepang yang kembali bertemu kekasihnya, seorang perempuan Kamboja, saat ia harus kembali ke Kamboja dalam sebuah proyek pembangunan jembatan.
Tiga narasi tentang Asia ini dipersatukan sebagai bagian dari tujuan proyek Asian Three-Fold Mirror yang diluncurkan Japan Foundation Asia Center dan Tokyo International Film Festival (TIFF). Proyek ini bertujuan untuk memperdalam interaksi antara negara-negara di Asia, sekaligus memperkaya pemahaman kebudayaan dan menyediakan kesempatan bagi orang-orang untuk memahami identitas mereka dan cara hidup mereka sebagai individu di Asia.
Dua institusi ini bergabung untuk meluncurkan film yang memperlihatkan pertukaran budaya di Asia pada 2014 yang direncanakan akan berlangsung hingga 2020, pada saat Olimpiade di Tokyo diadakan. Dengan cara ini diharapkan semakin banyak film-film Asia yang ditampilkan di Jepang dan begitu pula sebaliknya, serta menampilkan talenta-talenta Asia ke tingkat internasional melalui TIFF.
Film Reflections merupakan hasil pertama proyek ini. Rencananya, film yang baru diluncurkan tahun ini itu akan dikelilingkan ke sejumlah negara di Asia. Termasuk di Indonesia. Pihak Japan Foundation di Jakarta telah menjadwalkan akan menayangkan film ini dalam sejumlah festival film yang akan diadakan tahun ini dan tahun depan, salah satunya Japanese Film Festival (2-7 November 2017) yang akan tayang di CGV Grand Indonesia. Rencananya dalam pemutaran tersebut akan mendatangkan Isao Yukisada ke Indonesia.