Bambu adalah titik irisan paling menarik dalam membaca dinamika sejarah sosial di Indonesia. Sejak lama, bambu telah menjadi “jembatan” bagi banyak kepentingan dan kebutuhan.
Industri bambu di Indonesia tidak akan pernah tumbuh, dan bambu tidak akan pernah mempunyai tempat sebagai material utama, jika bambu tidak bisa dilepaskan dari dominasi arsitek dan arsitektur. Kritik ini secara tersirat diungkap Jörg Stamm dalam sebuah kuliah publik di ITB, Juli 2017 lalu.
Sebagai ahli konstruksi bambu dengan reputasi mendunia, dia menggarisbawahi keterlambatan Indonesia dalam hal rekayasa industri bambu dibandingkan negera-negara tetangga. Harus diakui, arsitek memang punya andil dalam menaikkan “harkat” bambu menjadi material premium, namun ketika bambu hanya diarahkan untuk mendukung desain, akan sulit menemukan skema bisnis yang berkelanjutan terkait “fair price” dan sistem suplai karena bambu tersegmentasi hanya ke satu bidang dengan daya serap yang rendah.
Desain memang hanyalah salah satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi ekosistem dunia rancang bangun bambu. Faktor lainnya seperti industri, perkembangan teknologi, infrastruktur, tenaga kerja, dan iklim praktik, turut menyumbang peran yang signifikan dan, sayangnya, belum banyak dibicarakan selama ini. Bambu hanya akan jadi material masa depan ketika dia memang punya masa depan sebagai material. Dan di titik ini pembicaraan mengenai industri bambu menjadi pembicaraan yang tak terhindarkan.
Baca juga Jelajah Imaji Situs Gunung Padang
Menurut data LIPI, dari 1.439 jenis bambu di dunia, 162 jenis bambu ada di Indonesia dengan komposisi 124 jenis asli Indonesia dan 88 jenis endemis. Persebarannya pun tak hanya di Jawa, sekitar 56 jenis ditemukan di Sumatra, 60 jenis ditemukan di Jawa dan Bali, sisanya tersebar di Flores, Sulawesi, dan Papua.
Bambu mempunyai sejarah sosial yang panjang di Indonesia. Praktik olah bambu dalam berbagai sendi kehidupan di Indonesia juga merentang panjang dari sejak masa prakolonial hingga saat ini. Begitu dekatnya bambu dengan ruang-ruang hidup manusia di Indonesia membuatnya termanifestasikan dalam banyak hal, tidak hanya yang terkait rancang bangun, namun juga dalam dongeng, kepercayaan, hingga falsafah hidup.
Sebagai elemen desain, bambu tidak lagi dipandang hanya sebagai “kayunya orang miskin”, stigma yang selama ini dilekatkan ke bambu karena banyak dipakai oleh masyarakat pada struktur sosial rendah. Bambu juga menjadi “kegairahan” baru bagi masyarakat di negara-negara dunia pertama melalui ragam aplikasi produk yang indah, kuat, dan kontemporer. Bambu bahkan mampu menjadi pengikat kolektivitas, baik secara nasional hingga regional, yang jangkauannya melampaui batas-batas lama secara geografis. Melebarnya spektrum nilai ini turut menyumbang tingkat penerimaan bambu secara sosial ke level yang lebih tinggi.
Pencapaian ini tidak mungkin terjadi jika bambu hanya dipandang sebagai material untuk kebutuhan arsitektur. Berkaca dari realitas praktik bambu di konteks global jelas terlihat bagaimana arsitektur formal baru mampu mengkonversi bambu ke dalam potensi-potensi budaya, bukan potensi ekonomis. Kehadiran bambu adalah added value dari desain, sehingga sebenarnya bambu yang “menolong” desain, bukan sebaliknya. Hal ini berubah ketika bambu masuk ke dalam skema industri. Secara otomatis dia menjadi bahasa ekonomi yang berlaku di banyak bidang, tak hanya desain.
Baca juga Proses Menjadi Mentah
Dalam perdagangan dunia saat ini, bambu adalah salah satu komoditas paling strategis dan mempengaruhi perekonomian dunia. Sebagai komoditas ekspor, bambu Indonesia memang menjadi salah satu primadona setelah Tiongkok. Data statistik tahunan sejak 1999-2012 mengenai perdagangan bambu dan rotan yang dirilis INBAR menunjukkan bahwa Tiongkok, Indonesia, dan Vietnam masih menjadi tiga negara Asia pemasok bambu ekspor terbesar saat ini. Total ekspor ketiganya mencakup sepertiga volume ekspor bambu dunia.
Namun begitu, dalam konteks lokal, data mengenai perdagangan bambu belum benar-benar bisa dilacak. Karakter industri bambu memang site-specific dan kebanyakan kegiatan ekonomi yang menyangkut bambu belum terdokumentasi karena terjadi dalam level pengepul bambu yang usahanya tidak terdaftar secara formal.
Di Indonesia, industri bambu memang masih menjadi wacana yang baru dan asing. Banyak pengusaha bambu yang berpendapat, bahwa investasi dalam industri bambu di Indonesia sangat mahal mengingat infrastruktur dan rantai industrinya yang belum terbentuk. Hal ini berdampak pada harga bambu awet siap pakai yang cukup mahal, sehingga arsitek dan pengrajin dalam negeri lebih memilih untuk mengambil bambu dari pengepul. Penetapan harga yang kompetitif masih menjadi tantangan terbesar mengingat regulasi serta sistem permintaan dan penyediaan yang belum mapan.
Jika diperbandingkan, performa industri bambu di Tiongkok jauh melampaui performa industri bambu di manapun saat ini, termasuk di Indonesia. Walau dengan perbandingan upah buruh dan harga bahan baku yang relatif sama, industri bambu Tiongkok mempunyai kualitas produk, kapasitas produksi, skala industri, dan efisiensi industri yang sangat baik. Saat ini Indonesia baru mempunyai dua pabrik, itu pun dengan kapasitas produksi yang belum stabil. Sementara Tiongkok telah mempunyai ratusan pabrik dengan kapasitas produksi tinggi. Tak heran harga bambu ekspor yang ditawarkan Tiongkok bisa jauh lebih rendah dari harga bambu ekspor Indonesia.
Baca juga Mempertanyakan Ingatan Lewat “Iconic” Yuswantoro Adi
Di Tiongkok, rantai industri memang ditopang oleh kampung-kampung yang 80 persen warganya memang bekerja untuk industri. Efisiensinya pun tinggi, mereka mengolah bambu hampir tanpa residu, mulai dari produk utama berupa bambu laminasi, pengolahan serat bambu, hingga pengolahan sisa paling akhir berupa serbuk gergaji. Bisa dikatakan 100 persen dari massa bambu terserap industri. Walau produk untuk konstruksi menjadi prioritas utama, volume produksi untuk bidang kriya dan lain-lain cukup besar sehingga dominasi arsitektur tidak terlalu terasa.
Hal ini berbeda dengan industri di Indonesia, yang baru ada satu lini industri dengan satu jenis produk, itupun dengan efisiensi yang rendah. Dari 100 persen massa bambu, hanya 30 persen yang menjadi produk, dan 70 persen menjadi serbuk gergaji yang tidak diolah lagi lebih lanjut.
Mengingat rumitnya memulai industri bambu dalam negeri, salah satu industri bambu lokal, Bambubos, mengambil pentahapan bisnis yang perlahan. Bambubos, yang berdiri pada 2012, merupakan pecahan dari Sahabat Bambu, sebuah kelompok bisnis yang terbentuk pada 2006 dan memulai perintisan usahanya lewat gerakan sosial di tahun 2004 melalui sekolah lapang bambu dan community center dari bambu. Tujuan utamanya untuk memperkenalkan paradigma baru tentang bambu ke masyarakat. Peserta sekolah lapang ini dibina untuk menjadi tukang, pembibit, dan pemasok bahan mentah. Di tahun 2006, ketika kegiatan produksi dimulai, kesiapan mereka bisa dikatakan cukup matang.
Jajang Sonjaya, sang pendiri Bambubos, mengakui bahwa untuk terjun ke bisnis bambu tidak bisa setengah-setengah. Investasi yang dilakukan harus menyeluruh, mulai dari pembibitan dan penanaman di hulu, pengawetan yang bertanggung jawab di tengah, kemampuan produksi bermacam produk di hilirnya, hingga pelatihan untuk tenaga tukang yang terampil.
Kelemahan pengembangan industri bambu di Indonesia saat ini adalah belum adanya kawasan hutan bambu yang bisa dikelola bersama untuk menjamin suplai bahan secara berkelanjutan. Walau program kemitraan dimungkinkan melalui skema KUR (Kemitraan Usaha Rakyat), namun pada praktiknya kemitraan yang setara itu belum benar-benar bisa diwujudkan, mengingat industri bambu belum mampu menjadi industri yang mapan secara sistem.
Baca juga Singgih Kreator Radio Kayu yang Mendunia
Dengan latar belakangnya sebagai akademisi dan peneliti, Jajang mengungkapkan bahwa industri bambu di Indonesia punya beban lain yang lebih mendesak. Karakter industri bambu di dalam negeri memang tidak bisa dipaksakan untuk sama dengan karakter industri di Tiongkok, sehingga ia tidak harus didorong untuk menjadi alat translasi modal alam ke modal kapital semata. Industri bambu, sebagai bagian dari alat kerja budaya, bisa dipakai sebagai katalis untuk menghadirkan inklusivitas.
Melalui cara pandang ini, bambu bisa hadir untuk siapa saja, dengan harga yang bisa dijangkau kalangan apa saja. Secara hitungan di atas kertas, translasi ke dalam modal kapitalnya mungkin tidak terlalu terbaca, namun bambu tetap hadir sebagai bahasa ekonomi yang kuat ketika ia mampu menjadi penghimpun modal-modal lain, yang tadinya hanya dapat diakses melalui perantara uang.
Pendapat senada juga diungkapkan Robbani Amal Romis, seorang penggiat bambu dari Malang. Arsitek muda yang tergabung di Arsitektur Swadaya dan Fasilitasi (ASF) ini justru mempertanyakan seberapa kompetitif harga bambu bisa diatur jika ditranslasikan secara literal ke dalam rupiah. Dalam konteks proyek tertentu, jika bambu diperlakukan sama dengan material industri lain, maka bambu bisa jadi akan jauh lebih mahal dan kurang kompetitif. Selain faktor suplai yang harus dari satu sumber, sumber daya untuk proyek-proyek bambu biasanya akan lebih banyak terserap untuk pengadaan tenaga tukang yang terampil, yang jika disetarakan dengan nilai rupiah malah menjadi nilai minus dalam perspektif industri yang kapitalistik.
Dia mencontohkan sebuah proyek gereja bambu di Dusun Jengger, Kabupaten Malang, yang sedang ditangani ASF. Di lokasi gereja ini ada isu degradasi hutan lindung dan isu agraria. Selain itu kehadiran tengkulak dan eksportir di berbagai komoditas bahan mentah turut menyebabkan krisis sosial ekologis yang cukup parah. Bambu sebagai sebuah “nilai tukar”, ketika ditempatkan dalam konteks ini, bisa dipakai untuk “menghimpun” social capital warga melalui metoda membangun yang partisipatif. Desain partisipatif bisa dilihat sebagai kesempatan untuk mengorganisasikan warga ketika berhadapan dengan tantangan yang krusial. Menurut penilaiannya, bambu bisa dijadikan instrumen untuk ke sana karena bambu menjawab isu lokalnya.
Baca juga Menaksir Partisipasi dalam Pariwisata Desa
Proses membangun melalui bambu mempunyai kemampuan untuk mengembalikan perspektif membangun arsitektural ke akarnya, yaitu “membangun kelompok” yang terorganisir, memetakan potensi, menyusun tahapan kerja, serta mengorganisasi kolektivitas warga. Artinya, “arsitektur bambu” menjadi katalis untuk merajut makna, sejarah dan satuan-satuan sosial rakyat yang terserak, lalu membangun momentum untuk bergerak bersama. Dia menjadi alat yang menyelaraskan tujuan-tujuan pragmatis warga dengan tujuan-tujuan paradigmatis pendidikan sosial.
Bambu, jika dilihat pada konteks yang berbeda, mempunyai tawaran yang berbeda pula. Membaca masa depan melalui bambu memang akan “memaksa” kita untuk keluar dari skenario tunggal bambu sebagai material, yang selama ini menjadi hegemoni arsitek. Sebagai investasi masa depan, bambu memang harus dilihat sebagai bahasa ekonomi, namun bahasa ekonomi yang ditawarkan bambu tidak hanya bahasa kapital. Karenanya, industri bambu yang kontekstual di Indonesia harus juga akomodatif terhadap “kekuatan-kekuatan” lain ini. Bagaimanapun, bambu adalah jembatan bagi banyak kepentingan dan kebutuhan, dan dia akan punya daya tawar kuat ketika ia setia dengan naturnya.
Artikel Membaca Masa Depan Bambu dimuat di majalah SARASVATI edisi November 2017.