Autobiografi S. Sudjojono berjudul "Cerita Tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya". (Foto: Jacky Rachmansyah)

Dalam buku yang ditulis Sudjojono, kita diajak mengikuti cerita-cerita tentang pengalaman-pengalaman dan pandangan-pandangan sang pelukis terkait seni dan lainnya.

Judul: Cerita Tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya
Penulis: S. Sudjojono
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal : 254 halaman
Terbit : 2017
Cover : Softcover
Judul: Kisah Mawar Pandanwangi
Penulis: Sori Siregar & Tim S. Sudjojono Center
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal : 134 halaman
Terbit : 2017
Cover : Softcover
Biografi Rose Pandanwangi, berjudul
Biografi Rose Pandanwangi, berjudul “Kisah Mawar Pandanwangi”. (Foto: Jacky Rachmansyah).

Bertepatan dengan pameran sketsa-sketsa Sudjojono, “Hidup Mengalun Dendang”, yang diadakan di Bentara Budaya Jakarta, 6-13 Juni 2017, diluncurkan dua buku, yang pertama ialah autobiografi S. Sudjojono berjudul Cerita Tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya, dan kedua biografi istrinya, Rose Pandanwangi, berjudul Kisah Mawar Pandanwangi. Meski dihadirkan dalam dua bentuk terpisah, menarik membaca kedua buku ini secara berurutan.

Dalam buku yang ditulis , kita diajak mengikuti cerita-cerita tentang pengalaman-pengalaman dan pandangan-pandangan sang pelukis terkait seni dan lainnya. Misalnya, sang maestro membeberkan lima syarat penting yang menurutnya harus dimiliki pelukis untuk mencapai hasil yang bagus. Sudjojono menulis begini:

Seorang pelukis mencapai hasil yang bagus kalau dia punya kebisaan lima syarat penting:

  1. Pengertian tentang mana yang benar dan tidak benar dalam lukisan (visi);
  2. Pengertian tentang corak;
  3. Punya kepercayaan diri, bahwa dia bisa menggambar;
  4. Pengetahuan seluas mungkin dan
  5. Keberanian dalam banyak soal. (halaman 157)

Autobiografi ini aslinya berjumlah 49 halaman, diketik oleh Sudjojono. Tapi akhirnya ditambahkan beberapa tulisan lepas berupa butir-butir pemikiran, sambutan, serta catatan-catatan tentang peristiwa atau orang. Salah satu yang perlu disimak ialah balasan-balasannya atas kritik orang lain terhadapnya.

Pengritik tersebut antara lain Bambang Bujono, jurnalis Tempo, yang menulis respons pidato Sudjojono berjudul Seni Lukis Indonesia di Taman Ismail Marzuki, dan seseorang bernama Arjuna yang menanggapi pendapat Sudjojono dalam Jumpa Seni Rupa Biennale kelima di tempat yang sama.

Foto pernikahan Sudjojono dan Rose Pandanwangi dalam buku biografi Rose Pandanwangi. (Foto: Jacky Rachmansyah)
Foto pernikahan Sudjojono dan Rose Pandanwangi dalam buku biografi Rose Pandanwangi. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Dari perdebatan tersebut, terlihat bagaimana pemikiran Sudjojono terkait seni lukis Indonesia sekaligus sikapnya dalam memandang kaitan seni dan konteks sosialnya. Dalam perdebatannya dengan Arjuna, misalnya, Sudjojono menulis begini: Pikiran baru itu ialah: Moh (tidak mau) yang lama, buang teori-teori akademis, kita cari penyelesaian untuk sekarang! Ini disebabkan sebenarnya dalam intinya oleh unsur-unsur ekonomi. Orang di zaman industrialisasi apa-apa musti cepat, tidak mau duduk berjam-jam di muka pelukis; juga jalan pikirannya lain daripada orang di zaman agraria. (halaman 215)

Sementara, biografi Rose Pandanwangi memuat kisahnya sebagai penyanyi seriosa Indonesia yang aktif membawa nama bangsa ke perhelatan dunia. Itu terjadi ketika Indonesia baru merebut kemerdekaannya. Kiprah Rose bukan tanpa prestasi. Ia 12 kali menjadi pemenang Bintang Radio pada era 50-60an.

Porsi yang cukup besar dalam buku ini diberikan untuk kisah percintaan Rose dan Sudjojono. Dari pertemuan mereka sampai ke detail kecil tentang kesepakatan mengurus rumah tangga. Kalau membaca kedua buku ini berurutan, cerita percintaan mereka seperti menjadi titik temu. Ini memberi pengalaman pembacaan yang cukup menarik. Kita tahu keberadaan hubungan mereka jadi semacam irisan di tengah narasi hidup yang amat luas.

Artikel Pertemuan Dua Narasi Hidup dimuat di majalah SARASVATI edisi Agustus 2017.