"Sejarah Estetika" karya Martin Suryajaya. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Martin memasuki wacana mengenai estetika dengan pandangan bahwa estetika, secara filsafat, bukan sekadar keindahan.

Martin Suryajaya, bisa jadi, penulis ambisius tahun ini. Ia menerbitkan tiga buku; satu novel, satu sejarah politik klasik, satu sejarah estetika. Yang terakhir disebut, bisa jadi juga, yang paling ambisius dari ketiganya. Tebalnya 900 halaman lebih. Isinya paparan perkembangan filsafat estetika dari zaman pra-sejarah sampai kontemporer.

Baca juga 11 Desain Produk Bambu Indonesia yang Dipamerkan di Chiang Mai Design Week 2017

Martin memasuki wacana mengenai estetika dengan pandangan bahwa estetika, secara filsafat, bukan sekadar keindahan. Oleh Martin, konsep estetika dibawa secara fleksibel dan luas untuk menilik praktik kesenian, sekalipun perkembangan seni sendiri pada satu titik banyak dianggap tidak melulu menyangkut “yang indah”.

“Sejarah Estetika” karya Martin Suryajaya. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Martin memulai dari penolakan lukisan di dinding gua sebagai karya seni pertama dalam peradaban. Ia mengamini Richard Bradley yang menganggap pemisahan seni murni dan terapan sebagai salah satu kesesatan yang sering terjadi saat membaca seni prasejarah.

“Semakin suatu artifak kehilangan fungsi akibat diceraikan dari konteks aslinya, semakin artifak itu dilihat oleh orang Modern sebagai ‘karya seni’,” tulisnya di halaman 14-15. Mencoba keluar dari apa yang ia sebut bias modernitas sejak zaman Romantik ini, Martin mengusung kapak batu sebagai karya seni pertama.

Baca juga Jalan Terjal Kampung Vertikal

Sesungguhnya, buku Martin adalah pemetaan lini waktu dan konteks perkembangan sejarah, serta buah pikir para filsuf yang telah mendalami estetika. Karena itu, hampir setiap bab berisi pandangan-pandangan filsafat dari tokoh-tokoh tersebut. Para pemikir yang Martin masukkan ke buku ini sebetulnya bukan pengkaji yang fokus pada masalah estetika semata, seperti Sartre, Foucault, atau Zizek. Namun, Martin mencomot kajian-kajian estetika yang menjadi bagian dari konsep pemikiran besar mereka.

Dengan demikian, buku ini lebih seperti pengantar untuk memahami perkembangan estetika. Tapi dengan kekayaan referensi yang ia punya, buku ini bisa menjadi pengantar yang padat dan bernas bagi para penggiat seni. Dari buku yang disokong secara finansial oleh Indonesian Contemporary Art Network  (iCAN) ini, pembaca bisa mendapat modal pengetahuan untuk mampu meletakkan karya seni dalam konteks praktik sejarah dan teori ketika melakukan analisis.