Hotel Bali Beach dibangun bersama tiga hotel berbintang di tiga kota lainnya, sebuah visi pariwisata yang dirintis Presiden Sukarno untuk mengedepankan Indonesia di dunia pariwisata internasional.
Patung Rajapala karya Nyoman Nuarta menyambut tamu di lobi hotel. Nama patung ini diambil dari cerita rakyat Bali tentang pemburu bernama Rajapala yang mencuri baju bidadari bernama Ken Sulasih sewaktu sedang mandi di mata air bersama enam temannya. Dengan terpaksa, Ken Sulasih menikah dengan Rajapala agar bisa segera kembali ke kahyangan setelah memberikan seorang anak.
Patung perunggu Rajapala yang terdiri dari delapan sosok itu berada di atas pedestal setinggi 2 meter, dipasang menandai rampungnya renovasi hotel pada 4 Oktober 1993. Patung ini, berikut lobi yang luas, menjadi ikon Inna Grand Bali Beach di Jalan Hang Tuah, Sanur, Bali.
Baca juga Kitab Kuliner Warisan Sukarno Diterbitkan Ulang
Hotel di bawah manajemen dan kepemilikan PT Hotel Indonesia Natour (Persero) tersebut adalah hotel terluas di Bali. Tertulis di sertifikat adalah 48 hektare, namun karena Jalan By Pass Ngurah Rai di depan hotel mengambil lahan milik hotel, maka pada kenyataan sekarang luas area Inna Grand Bali Beach “tinggal” 42 hektare.
Keluasan itu dibagi menjadi tiga kategori, yakni 29 hektare untuk area Tower 10 lantai, 9 hektare untuk area Garden, dan 4 hektare untuk Resorts/Cottages dengan total 523 kamar.
Pada 1 November 2017, Grand Inna Bali Beach akan berusia 51 tahun. Inilah hotel berbintang lima pertama di Bali dan menjadi satu-satunya bangunan dengan tinggi 10 lantai.
Rata-rata bangunan di Bali memiliki ketinggian maksimal 15 meter atau 4 – 5 lantai. Ada landasan hukumnya, yakni Surat Keputusan Gubernur Kdh. Tk. 1 Bali, Tanggal 22 November 1971, No 13/Perbang 1614/II/a/1971 yang isinya antara lain tinggi maksimal bangunan di Bali setinggi pohon kelapa atau 15 meter. Hotel ini bisa punya tinggi 10 lantai karena dibangun pada 1963, jauh sebelum peraturan gubernur itu dibuat.
Hotel Bali Beach, nama asal Inna Grand Bali Beach, dibangun bersama tiga hotel berbintang di tiga kota lainnya, sebuah visi pariwisata yang dirintis Presiden Sukarno dengan tujuan mengedepankan Indonesia di dunia pariwisata internasional. Empat hotel itu dibangun dari dana pampasan perang pemerintah Jepang.
Yuke Ardhiati dalam buku Bung Karno Sang Arsitek (2004) menuliskan, sebelum munculnya peristiwa Dekrit Presiden 1959, di tahun 1958 Sukarno telah berhasil merintis lobi dengan pemerintah Jepang dalam upaya pengembalian dana pampasan perang. Akhirnya terwujud Pakta Perjanjian bahwa Jepang akan membayar US$223 juta selama 12 tahun, akan menghapuskan utang niaga Indonesia sebesar hampir US$177 juta, dan akan memberikan bantuan ekonomi sebesar US$400 juta.
Sedangkan program-program pampasan yang berkaitan dengan pembangunan arsitektural ditemukan dalam sejumlah proyek arsitektur, antara lain Hotel Indonesia (Jakarta), Hotel Bali Beach (Bali), Tonichi Hotel Ambarrukmo (Yogyakarta), Tonichi Samudra Beach Hotel (Jawa Barat), dan Tonichi Gedung Wisma Nusantara (Jakarta). Semua dibangun perusahaan konstruksi Jepang.
Baca juga Bakoel Koffie, Ikhtiar Melanjutkan Garis Kopi
Saat itu, pantai Sanur bukanlah lokasi wisata, melainkan pantai yang disakralkan masyarakat dan digunakan untuk melarung. Bung Karno-lah yang melihat potensi pariwisata pantai ini sehingga membangun Bali Beach. Lokasi hotel bertetangga dengan kediaman sahabatnya, pelukis Le Mayeur dan sang istri, Ni Pollok, yang memang sering dia kunjungi.
Hotel diresmikan pada 1 November 1966 saat Bung Karno sedang dalam tahanan rumah di Wisma Yaso, Jakarta sehingga peresmiannya dilakukan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Sultan Hamengku Buwono IX. Menjadi ironi, sejak dikonsep Presiden Sukarno pada 1963, rampung pembangunannya pada 1966, hingga sang konseptor wafat pada 1970, dia belum pernah sekali pun menginap di Hotel Bali Beach.
Budaya Jawa Kuno
Lewat rancangannya, Sukarno menggali budaya Jawa Kuno yang dipadukan dengan teknologi serta mengadopsi gaya arsitektur the international style untuk memunculkan citra Indonesia modern.
Unsur budaya Jawa Kuno yang paling jelas ditandai dengan padma (bunga teratai dalam bahasa Sansekerta) sebagai bagian elemen arsitektur, tata ruang kota interior, dan kria. Umumnya, padma diaplikasikan pada alas arca (padmasana), relief, dan ornamen dekorasi dinding candi di Jawa Tengah.
Sukarno memadu-padankan padma yang merupakan unsur Timur, dengan struktur beton dari Barat, sebagai simbol kebaruan zaman. Motif padma dapat dijumpai sebagai hiasan pilar, pemberi corak di lift, hingga ke nomor pintu kamar hotel.
Sukarno juga mengembangkan mural, mozaik, dan relief berukuran besar sebagai dekorasi hotel. Ini misalnya dapat ditemukan di Hotel Indonesia, Hotel Samudera Beach, serta Hotel Bali Beach. Seniman yang banyak diminta Sukarno memvisualisasikan ide gagasannya adalah pematung Gregorius Sidharta Soegijo dan pelukis Lee Man Fong.
Bung Karno tak dapat mengiringi pembangunan Hotel Bali Beach hingga tuntas, relief yang ada di dinding luar Hotel Bali Beach pun tak terselesaikan. Berbahan batu padas di dinding selebar kira-kira 3×20 meter, sebagian rampung dipahat, sebagian lain hanya sampai digambar, belum sempat dipahat. Bagian yang sudah dipahat menggambarkan Bung Karno di tengah rakyat, sedang berdiri menggendong anak kecil.
“Sengaja kami biarkan seperti aslinya, tidak diselesaikan pemahatannya, karena di balik itu ada sejarahnya,” ujar PR Manager Grand Inna Bali Beach I.A. Dewi Apriyanti di Bali, akhir Juli 2017.
Dua Kamar Suci
Kebiasaan Sukarno melakukan samadi juga tercermin di karya-karya arsitekturalnya, terutama rumah tinggal, yang cenderung menyediakan ruang khusus untuk kegiatan tersebut. Di tempat pengasingannya di Ende, misalnya, ada satu ruang khusus berukuran kecil untuk samadi, selain Bung Karno bersamadi juga di bawah pohon sukun.
“Alam pikiran bawah sadarnya membimbingnya untuk merealisasikan kebutuhan tersebut sebagai unsur dalam perancangan arsitektur,” tulis Yuke Ardhiati.
Baca juga Langgam Eklektik Hotel Trio Solo
Ruang samadi di Bali Beach Bung Karno siapkan di kamar 327 (Tower lantai 3). Namun peruntukan ini baru diketahui usai kebakaran besar pada 20 Januari 1993 yang meninggalkan kamar 327 tetap utuh, padahal kamar lainnya ludes terbakar.
“Kaca jendela memang pecah, tapi tirainya utuh. Kabel-kabel juga utuh, hanya terputus. Saat direnovasi, kabelnya bisa tersambung lagi,” ujar Dewi.
Setelah peristiwa ini, lanjut Dewi, para agamawan dari berbagai latar belakang agama dikumpulkan untuk mencari tahu mengapa kamar 327 tak tersentuh api sementara di sekitarnya hangus. Didapat kesimpulan kamar tersebut dahulu disiapkan Sukarno sebagai kamar samadi walau belum sempat digunakan.
Sekarang, kondisi kamar 327 masih sama seperti pada 1993, saat pertama diketahui bahwa kamar ini untuk Bung Karno.
Jauh sebelum diketahui ada kamar untuk Bung Karno samadi, ada satu cottage, yakni yang bernomor 2401 sengaja diperuntukkan bagi Kanjeng Ratu Kidul. Cottage yang berada di sebelah selatan Tower itu dibangun pada 1972.
Di terasnya dipasang lukisan seorang ratu mengendarai kereta kencana yang ditarik empat kuda, mengapung di atas laut; seperangkat kursi teras, dan sepasang songsong (payung kerajaan) berwarna hijau di kanan dan kiri pintu.
Interiornya serba-hijau. Tempat tidur queen size ditutup seprai hijau. Di atas tempat tidur dihamparkan sajadah hijau yang diganti setiap Jumat. Ada lemari khusus untuk menyimpan sajadah.
Altar persembahyangan berada di samping kiri tempat tidur. Di kanan tempat tidur diletakkan pesawat telepon. Tiga pasang selop berwarna hijau dijajarkan di lantai tak jauh jauh dari tempat tidur.
Baca juga Menggores Ekspresi dengan Teknik Gutha Tamarin
Ada dua ruang lain di cottage 2401, yakni ruang makan dan kamar mandi ber-bathtub dan bertirai hijau. Isi cottage ini masih menggunakan barang-barang yang sama seperti awal didirikan, 1972, itu sebab selop, pesawat telepon, seprai, meja makan, hingga kamar mandi, retro semua. Dua Kamar Suci ini, 327 dan 2401, setiap hari dibersihkan dan diganti sesajennya.
Walau tidak untuk disewakan, namun terbuka bagi tamu yang ingin berkunjung atau melakukan persembahyangan, yakni pada Kamis pukul 17.00 hingga 21.00 WITA, dengan lama masing-masing 30 menit.
Ada aturan yang wajib dipatuhi ketika mengunjungi Kamar Suci, yakni menanggalkan alas kaki di teras, dilarang mengambil gambar, dan perempuan yang sedang haid tidak dibolehkan masuk.
[…] *** Dimuat di sarasvati.co.id, 6 September 2017 […]
Comments are closed.