Buku "Pancaran Limasan" karya Mitu M. Prie. (Foto: Silvia Galikano)

Bangunan atap Limasan yang belakangan makin sering digunakan untuk rumah-rumah urban bergaya minimalis, ternyata akarnya berada lebih dari seribu tahun yang lalu, ke era wangsa Syailendra dan Sanjaya memerintah Mataram Kuno pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi. Bukti-buktinya ada dalam relief candi Borobudur dan candi Prambanan.

Bangunan atap Limasan kian mengemuka pada puncak imperium Majapahit-Wilwatikta abad ke-13—14. Eksistensinya juga termuat dalam berbagai sumber naskah zaman itu serta data arkeologis di lapangan.

Baca juga Pernah Azan Berkumandang Sayup di Musajik Usang

Sepanjang kurun kepurbaan tersebut, kehadiran bangunan beratap Limasan pun cukup mencolok. Karakternya yang luwes sebagai karya cipta dan karsa, erat dengan latar spiritual, nilai keindahan, dan fungsi yang juga spesial. Bangunan Limasan hadir di lingkungan permukiman kalangan kerajaan dan warga biasa, menandai status sosial dalam balutan estetika arsitektural.

Mitu M. Prie. (Foto: Silvia Galikano)
Mitu M. Prie. (Foto: Silvia Galikano)

Mitu M. Prie mengungkapkan hal tersebut saat peluncuran buku karyanya, Pancaran Limasan (The Brilliance of Limasan) pada Kamis, 26 Januari 2017 di Dia.Lo.Gue, Jakarta. Mitu adalah konsultan independen untuk komunikasi seni budaya, penulis, dan pengajar tamu.

Topik tentang atap Limasan berawal dari kajian untuk skripsinya di Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia pada 1984. Dia meneliti bangunan tempat tinggal di relief candi-candi masa Majapahit-Wilwatikta abad ke-13 yang menunjukkan bahwa bangunan atap Limasan sudah ditemui di rumah-rumah elite masa itu.

Baca juga Langgam Eklektik Hotel Trio Solo

Ketertarikan ini berlanjut setelah Mitu menjalani pekerjaan lain setelah sebelumnya di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta. Menjadi peneliti, praktisi bidang komunikasi, dan pengajar ISI Yogyakarta pada 1980-an membuatnya sering jalan ke berbagai daerah sekaligus mendalami arsitektur tradisional.

Berpijak dari kajian skripsi tentang Limasan era Majapahit, Mitu menarik garis mundur ke masa Mataram Kuno abad ke-8 lewat relief di candi Borobudur dan candi Prambanan.

“Antara Majapahit dan Mataram Kuno ada Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Singosari (abad ke-11 hingga ke-13), tapi kami tidak menemukan relief rumah di candi-candi Kadiri-Singosari,” ujar Mitu.

Limasan Pasuruan. (Dok Mitu M. Prie)
Limasan Pasuruan. (Dok Mitu M. Prie)

Secara langgam, relief bangunan Limasan di Jawa Timur berbeda dengan di Jawa Tengah. Bangunan Limasan di Jawa Tengah wujudnya dipahat dalam dan naturalis, di Jawa Timur pipih dan rendah pahatannya.

Penggambaran Limasan di Candi Jago,  Candi Jawi, dan di Candi Panataran agak berbeda pola dan gaya pahatannya, walau dalam satu masa kerajaan Majapahit.

“Ekspresi seni Limasan seru. Transformasi Mataram Kuno berpengaruh ke cara membuat Limasannya,” ujar Mitu. “Ekspresi pemahatan yang tidak naturalis justru menggambarkan relief yang lebih riil pada situasi sekarang, seperti di Bali atau di klenteng masih seperti itu.”

Baca juga Ashadi, Artisan Pisau dari Parakan

Pada 10 tahun terakhir dia mulai melengkapi data dan setahun terakhir memadatkannya untuk dijadikan buku. Mitu memaksudkan buku Pancaran Limasan bagi semua kalangan, tidak terbatas pemerhati arkeologi ataupun arsitektur.

Ada gejala bagus dengan semakin banyaknya galeri dan restoran yang mengadopsi gaya bangunan tradisional. Sebagian malah memindahkan rumah asli utuh-utuh.

“10 tahun terakhir masyarakat perkotaan melek langgam eklektik, melek galeri, sehingga isu-isu budaya lebih cepat diserap.”

Pancaran Limasan - Jago Kreshnayana. (Dok. Mitu M. Prie)
Pancaran Limasan – Jago Kreshnayana. (Dok. Mitu M. Prie)

Meski varian bangunan Limasan yang tersisa kini tidak selengkap asalnya yang beragam, namun bangunan Limasan berabad-abad senantiasa memancarkan keistimewaan. Dari yang amat sederhana hingga yang anggun asri di tengah lingkungan keraton.

Baca juga Hotel Bali Beach, Karunia Bung Karno untuk Sanur

Bangunan atap Limasan juga memiliki peran istimewa di lingkungan budaya yang berbeda, bukan hanya di Jawa. Kemiripan ini mengindikasikan fenomena unik yang masih terus ditelisik.

Seperti  hubungan dengan bangunan Limas di Palembang, bangunan Limasan di Bali, dan bangunan atap Limasan di Timor Tengah Selatan. Selain juga, bagaimana atap Limasan berpadu mulus dengan bangunan Eropa pada masa Hindia-Belanda hingga menjelang kemerdekaan.