Pameran “Art-tivities Now” di Breeze Art Space, Tangerang. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Tiga pukulan gong pada Sabtu, 4 Februari 2017 malam menandakan dua hal. Satu, peresmian sebuah galeri baru bernama Breeze Art Space, dan sekaligus pembukaan pameran “Art-tivities Now”. Pameran ini melibatkan 73 seniman dari 10 provinsi di Indonesia, yakni Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Bali, Jawa Timur, Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Irian Jaya.

Layaknya membuka sebuah tempat baru, seluruh karya yang ditampilkan pun adalah karya baru, paling tua berumur 2 tahun, dan belum pernah dipamerkan di Indonesia. Dari sinilah pengunjung dapat menikmati dua hal, yakni tempat dan karya yang mereka belum pernah lihat sebelumnya.

Pameran yang dikuratori Kuss Indarto  ini mempersembahkan variasi seniman pilihan dari beragam usia dan latar belakang. Di antaranya ada nama-nama yang sudah mendunia seperti Heri Dono, Nasirun, Tisna Sanjaya, Jeihan Sukmantoro, dan Edi Sunaryo.

Selain seniman yang sudah mendunia, hadir pula seniman muda yang melintas geografis untuk belajar seni. Mereka adalah Manuela Wijayanti dan Michael Timothy Surija. Dapat kita lihat hasil dari perpaduan budaya – Manuela di Singapura dan Amerika Serikat, dan Michael di Singapura – yang terjadi di atas kanvas mereka.

Pameran “Art-tivities Now” di Breeze Art Space, Tangerang. (Foto: Jacky Rachmansyah)
Pameran “Art-tivities Now” di Breeze Art Space, Tangerang. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Walaupun tak dapat dimungkiri bahwa kawasan yang menjadi pusat penghasil seniman didominasi  Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali, namun banyak juga seniman berkualitas di luar kota-kota tersebut. Zirwen Hazry dari Padang, Sumatera Barat dan Surya Dharma dari Balikpapan, Kalimantan Timur masih setia berkarya di kotanya masing-masing.

Ada pula seniman dari luar “pusat” tersebut yang berkabreerya terinspirasi tema-tema lokal. Mahdi Abdullah kelahiran Nanggroe Aceh Darussalam yang mengangkat gagasan berdasarkan pengalamannya akan Daerah Operasi Militer yang terjadi di tanah kelahirannya. Sedangkan Dicky Takndare dari Sorong banyak mengungkap problem dampak negatif dari globalisasi yang mempengaruhi alam dan penduduk di Papua.

Karya-karya pemenang kompetisi seni lukis pun dapat kita lihat di pameran ini, seperti pemenang UOBPOTY 2016 Gatot Indrajadi, dan 2015 Anggar Prasetyo. Juga Agus TBR yang menjadi pemenang Akili Art Award yang menghadiahinya kesempatan untuk belajar di sebuah akademi seni rupa di Beijing, Cina, selama satu tahun penuh.

Di antara banyaknya lukisan, ada pula seni patung dari Agapetus, Laksmi Sitharesmi, Lenny Ratnasari Weichert, Putu Adi Gunawan, dan Putu Sutawijaya

Menariknya, walaupun perbedaan usia dan latar belakang antara seniman cukup besar, contohnya Heri Dono yang sudah mendunia dan M. Irfan yang bahkan belum lulus kuliah seni, dari segi kuliatas karya, pameran ini memuaskan secara keseluruhan. “Sebanding” mungkin bukanlah kata yang bijak untuk digunakan, tetapi kulitas karya seniman senior tidak menutupi kualitas karya seniman muda yang berpartisipasi.