Ini kali ketiga Teater Koma memainkan lakon Opera Ikan Asin, saduran karya Bertolt Brecht. Yang pertama pada 1983 dan yang kedua pada 1999 ketika Teater Koma mementaskannya berturut-turut selama 15 malam. Pula, pada pementasan tahun 1999 dan 2017 memiliki kesamaan, yaitu sama-sama dihiasi lagu selamat ulang tahun. Delapan belas tahun lalu, lagu itu dinyanyikan sebagai penutup untuk merayakan ulang tahun Ratna Riantiarno yang ke-47. Kini, lagu itu dinyanyikan saat preview, tepat 1 Maret, saat Teater Koma merayakan ulang tahunnya yang ke-40.
Ikan Asin di umur ke-40 mereka ini membuat Ciputra Artpreneur Theater tidak pernah sepi dari tanggal 2 sampai tanggal 5 Maret lalu. Opera Ikan Asin memang masih menghibur dan relevan. Berlatar Batavia abad ke-20, kisah ini menampilkan pernikahan Mekhit alias Mat Piso si Raja Bandit dan Poli Picum sebagai biang masalah. Natasasmita Picum, ayah Poli, juragan pengemis di Batavia, menentang pernikahan ini. Ia memakai segala cara guna memisahkan keduanya, termasuk melapor tindak kejahatan Mekhit ke polisi. Sayangnya, Komisaris Polisi Kartamarma justru bersahabat dengan saling bandit. Mereka kongkalikong saling bagi jatah dan perlindungan.
Secara umum, yang diperlihatkan Opera Ikan Asin pada kita adalah putar balik logika. Itu tergambar dari adegan dan dialog dalam pertunjukan ini. Dan logika yang terbalik itu menyebar ke pelbagai aspek kehidupan masyarakat, bukan semata kisruh penyelewengan hukum yang ditunjukkan dengan kecemasan, Kartamarma, petinggi kepolisisan, yang justru berharap si bandit tak tertangkap. Contoh kecil saja, yakni ucapan Natasasmita Picum pada anaknya, Poli, ketika mengetahui ia telah menikah: “Orang pada cerai, kamu malah nikah.” Dialog semacam itu bisa memberi gambaran cerita yang jenaka, tajam, keblinger.
Kita diajak menertawakan betapa sederhananya ketidakadilan itu dibentuk. Perwira hukum berkawan dengan bandit, eksploitasi orang miskin, pemujaan pada sosok penjahat; semuanya seakan wajar. Masalah-masalah yang masih jadi kasak-kusuk sehari-hari – walaupun sudah jelas juga tanda-tandanya – digelar begitu saja. Memang, sudah sejak lama humor menjadi cara paling jitu untuk membicarakan hal-hal seperti ini secara blak-blakan.
Penanganan panggung pun hal lain yang memukau dari pertunjukan Teater Koma kemarin. Bukan hanya megahnya tata panggung dibangun, tetapi juga sigapnya pertukaran satu latar adegan ke yang lain. Kekurangan terletak pada seringnya suara para pemain tidak terdengar, entah karena memang terlalu kecil atau tenggelam dalam musik pengiring yang sedang melantun. Sayang, karena sebetulnya bagian musik arahan Fero A. Stefanus merupakan kekuatan paling menonjol dalam pertunjukan yang disutradarai N. Riantiarno ini.