Memori tidak hanya berupa ingatan visual dan audio, tetapi juga dalam bentuk perasaan. Hal-hal yang tersimpan dalam memori itu pula dapat membentuk pribadi seseorang. Memori adalah hal yang bersifat pribadi. Maka dari itu, apakah memori hanya dapat dinikmati diri sendiri? Apakah memori seseorang dapat memberikan kesan kepada orang lain? Apakah sebuah terali dapat menarik terali lainnya dan membuahkan sebuah kesan? Hal-hal ini diulas Karin Josephine dalam pameran tunggal perdananya yang bertajuk “Terali Memori” di Lir Space, Yogyakarta dari tanggal 22 April – 7 Mei 2016.

Dalam “Terali Memori”, Karin memvisualisasikan memori dalam empat jenis karya, yakni kolase potret keluarga, kumpolan foto kota, zine dan mix-media di atas kanvas yang menggambarkan perjalanan waktu mengenai masa lalu, hari ini, dan masa depan.

“(Selayaknya) Keluarga” berupa rangkaian potret-potret keluarga sekitar tahun 1940-1960 yang sudah koyak di atas papan polyfoam hitam. Keluarga adalah sekelompok orang yang pertama kali kita kenal, juga sekelompok orang yang akan selalu ada dalam hidup kita hingga menjelang ajal. “Dalam hubungan ini bisa ditemukan cinta yang paling tulus, sekaligus penerimaan yang kadang terpaksa,” jelas Karin. Walaupun begitu, memori apapun mengenai keluarga, baik maupun buruk, adalah hal yang akan terus tercipta dan memperkaya seorang individu. Maka layaklah keluarga dikatakan sebagai harta yang paling berharga.

Gedung-gedung pencakar langit yang dilengkapi dengan teknologi modern tidak dapat mencerminkan karakter sebuah kota. Gedung-gedung yang berumur bersama sang kota itulah yang menjadi tekstur dan karakter sebuah kota. Dalam karya Karin yang berjudul “#teksturkota”, dapat kita temui berbagai jenis “tekstur” yang diambil dari berbagai lokasi sepanjang tahun 2014-2016. Karat pada besi, cat yang terkelupas, kayu yang sudah lapuk, hingga coret-coretan pada permukaan dinding tersebutlah yang dapat bercerita mengenai memori sebuah kota.

Hal sepele apapun itu, tetap merupakan sesuatu yang sempat berperan kecil dalam hidup kita. Hal sepele itu juga mungkin adalah akar dari peristiwa yang terjadi di masa depan. Berbagai catatan, ilustrasi, dan zine yang dipersembahkan untuk “Serpihrasa” dapat menjadi pemicu memori yang sempat terlupakan. Memori tidak hanya mengenai apa yang terjadi, tetapi juga apa yang terasa, baik dengan kelima indra, maupun dengan hati.

Waktu tidak pernah berhenti berjalan. Hembusan nafas yang kita keluarkan semenit yang lalu sudah menjadi masa lalu, begitu juga perkataan dan perbuatan  yang kita ucapkan dan lakukan di menit yang sama. Seberapa besar perkataan dan perbuatan kita itu akan mempengaruhi esok hari? Di saat yang sama, kekhawatiran dan ketakutan akan seberapa besar perilaku yang kita lakukan di masa ini juga mempengaruhi masa depan. Tetapi justru dari ketakutan itulah kita diberikan kesempatan untuk mencoba. Bilapun salah, masih akan ada esok hari untuk memperbaikinya. “Lihat Besok” membisikkan kita untuk menggunakan kesempatan yang berikan oleh esok hari untuk terus mencoba.