Di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, almarhum Haryadi Suadi mempersembahkan tak kurang dari 120 karyanya dalam pameran bertajuk “Persembahan: Haryadi Suadi (1938–2016) Radi Arwinda Risa Astrini”. Berkolaborasi dengan kedua anaknya, Radi Arwinda dan Risa Astrini, pameran yang telah disiapkan sejak dua tahun lalu ini menjadi momen untuk menyelami karya-karya sang pionir grafis kontemporer, pendidik, dan budayawan yang berpulang pada 8 Januari 2016 ini.
Hampir seluruh karya yang pernah dikerjakan dalam karir artistik dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB) ini dipamerkan hingga 10 April mendatang, termasuk beberapa sketsa dan vinyet yang ia kerjakan di Cirebon, sebelum pergi ke Bandung dan belajar di Studio Seni Grafis FSRD ITB hingga tahun 1969. Karya-karya ini dipilih dan disiapkan langsung oleh Haryadi bersama para kurator. Beberapa karya baru pun ia kerjakan secara khusus untuk pameran ini, meski belum selesai ketika Haryadi Suadi dipanggil Tuhan di awal tahun ini.
Karya-karya yang terdiri dari lukisan cat minyak dan akrilik di atas kanvas, lukisan kaca, gambar, woodcut, serigrafi, linografi, xerografi, embroidery, serta beberapa dokumen dan obyek yang berisi karya-karya ilustrasinya diboyong dari studio dan rumah Haryadi yang serupa perpustakaan dan museum pribadi. Haryadi sendiri adalah seorang ‘kolektor’; dengan minatnya pada seni dan budaya, ia mengumpulkan benda-benda, terutama buku dan cetakan grafis seperti poster dan kartu pos yang bersejarah dan langka.
Tak ubahnya sejarawan budaya, seniman kelahiran Cirebon, 20 Mei 1938 ini kerap menuangkan beragam peristiwa dan pemikirannya dalam gambar dan catatan dengan analisa yang orisinil dan tidak lumrah dalam pendekatan historiografis. “Meski demikian, ia tak pernah merasa menjadi seorang kolektor, karena kecintaan Haryadi pada koleksinya tersebut lebih didasari nilai pengetahuan dan pengalaman yang ada di baliknya,” ujar Rizki A Zaelani, kurator pameran.
Untuk memamerkan karya-karya seniman yang kerap disapa Mang Idik ini, Rizki semula akan memetakan ruang Galeri Nasional serupa sudut ruang di rumah yang juga menjadi ruang kerja Haryadi. Kala itu, Haryadi mengutarakan keinginan agar pameran perdananya di Galeri Nasional ini tampil seperti umumnya pameran di museum seni rupa.
Pameran ini pun semula hadir untuk mengenalkan sosok dan karya Haryadi Suadi pada generasi muda. “Tak seperti Sadali, Srihadi, atau Umi Dachlan yang lebih banyak dikenal dengan karya lukisan, Haryadi lebih banyak mengerjakan karya seni grafis, di mana pameran dan kolektor printmaking memang lebih langka dibandingkan dengan pameran dan kolektor lukisan,” kata Rizki.
Di samping karya grafisnya, Haryadi dikenal sebagai seniman yang menggabungkan elemen tradisi dari beragam etnis nusantara dan mancanegara seperti Cina, Jepang, dan Belanda dengan kecenderungan dan metode berkarya modern. Haryadi juga kerap membuat lukisan kaca dan membina seniman lukis kaca di Cirebon dengan khas objek pewayangan, mitos, dan aksara kuno dalam gaya kontemporer.
Di mata Rizki yang sempat menjadi mahasiswanya, sosok Haryadi tak terlalu banyak bicara, namun penuh kharisma karena pengetahuannya yang mendalam tentang narasi sejarah dan budaya. Haryadi tak hanya seorang seniman, namun juga ‘penggerak gagasan’. “Semasa berkuliah hingga menjadi dosen muda, bersama sejumlah rekannya di departemen Seni Rupa seperti Sanento Yuliman, ia tak gentar menyuarakan keadilan lewat karikatur dan kritik visual yang cukup keras untuk rezim orde lama Sukarno,” kata Rizki.
Tak banyak yang mengetahui bahwa Haryadi Suadi salah seorang penanda tangan naskah MANIFESTO KEBUDAYAAN (MANIKEBU) di Bandung. Meski demikian, Haryadi tetaplah sosok yang sederhana dan tak pernah mengobral kiprah pergerakannya tersebut. Bagi Rizki, Haryadi adalah seorang dosen yang sabar dan telaten, selain mengajarkan teknik kerja yang cermat dan akurat, ia juga membicarakan gagasan-gagasan yang ‘tak biasa’, terkadang nyeleneh, berakar dari nilai tradisi, dan kemudian bisa dikerjakan dengan bantuan kerangka pemikiran modern yang autentik.
Dengan kecenderungan praktik seni rupa abstrak pada karya patung dan lukisan oleh seniman ITB di tahun 1950-160-an, Haryadi sendiri tetap lebih tertarik dengan drawing dan lekat dengan narasi. Eratnya hubungan antara seni rupa dengan teater dan karya sastra pada tahun 1960-1970-an turut memengaruhi gagasan naratif karya-karya Haryadi yang cenderung mendeformasi bentuk dengan ekspresi lintas gagasan dan medium yang dituangkannya dengan permainan imajinasi warna dan garis.
Melengkapi pameran ini, hadir sebuah buku berisi bunga rampai tentang sosok dan karya Haryadi. “Namun dalam persiapannya, Haryadi malah ikut menulis sehingga proyek penulisannya juga menjadi semacam autobiografi yang justru membantu generasi muda untuk mengenal lebih dalam tentangnya dan karya-karyanya, sekaligus mengenang dan belajar dari apa yang sudah dilakukan Haryadi dengan intens dan bersungguh-sungguh selama 76 tahun,” ujar Rizki.