Mengambil tema “HANA TAN HANA: Death and Life of the Unknown”, I Dewa Ngakan Made Ardana menampilkan karya hasil eksplorasinya seputar kejadian 1965 di Bali. Eksplorasi Made Ardana berpijak pada ungkapan masyarakat Bali, “Han Tan Hana” yang berarti “Ada tapi Tak Ada”. Hasilnya adalah karya-karya yang bercerita tentang “dugaan” sejarah. Disebut dugaan karena, dalam pameran ini, sejarah tersebut berada di batas ada dan tiada.
Ini posisi yang dipilih Made Ardana, pada pameran yang berlangsung 28 May – 28 June 2016 di REDBASE Foundation, untuk menyikapi salah satu peristiwa terkelam di Tanah Air. Untuk korban yang mengalami, jelas peristiwa ini ada, namun, ketika dihadapkan pada generasi yang lahir jauh setelahnya, peristiwa ini seperti tidak lagi sahih untuk dianggap ada. Aliih-alih, 1965 bersama kisah-kisahnya bisa jadi hanya mitos bagi mereka. Ketika ditanya apakah “pengaburan” ini disengaja oleh pihak-pihak tertentu, Made Ardana menjawab, “Indikasi ke sana selalu ada, tapi saya tidak melihat dari sana.”
Jika diperhatikan, ketidakberpihakan Made Ardana menghasilkan karya-karya dengan interpretasi terbuka. Dalam Potrait of Me, Onda, and Brothers, misalnya, seniman lulusan ISI Denpasar ini menggambarkan kelampauan lewat bahasa visual yang mengesankan kengerian sekaligus kemisteriusan. Lima sosok lelaki ditampilkan “tidak utuh” karena beberapa bagian tubuh, seperti juga objek lain dalam lukisan ini, terdistorsi oleh latar belakang lukisan. Sama seperti karya instalasi patung, Hana Tan Hana. Jejeran kepala manusia berwarna putih ini tersamarkan oleh dinding saat dipajang di ruang pamer, dan baru jelas ketika pengunjung melihat dari dekat.
Dari kedua karya ini saja, bisa terlihat bagaimana lihainya si seniman mempermainkan persepsi orang yang melihat karyanya. Sangat menggoda orang untuk meyakini tafsirannya sendiri. Kuatnya konsep memantapkan posisi pameran ini sebagai upaya mengajak pengunjung meresepsi sejarah sesuai versi masing-masing dan tidak terjebak pada dikotomi benar-salah. Seseorang yang punya kedekataan dengan peristiwa atau kabar-kabar soal peristiwa ’65 tentu akan punya pembacaan berbeda dengan yang yang tidak.
Keselarasan konsep juga jadi pertimbangan utama Made Ardana dalam pameran ini. Itulah mengapa hanya ada enam karya dalam pameran ini; 4 lukisan, 1 gambar, satu patung, dan sebuah slideshow yang memaparkanangka-angka korban 1965 dari buku The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali yang dirampungkan Robert Cribb.
Karya-karya dalam pameran ini dibuat di atas keleluasaan Made Ardana sebagai seniman, sekaligus keberjarakan seniman kelahiran 1980 ini terhadap peristiwa tersebut. “Awalnya saya kesulitan mencari bahasa pengungkapan karena saya tidak mengalami kejadian itu. Tapi, saya tidak memandang ini sebagai hambatan, justru saya punya kebebasan untuk memberi arti pada yang berjarak itu,” ujar Ardana. Ia mencontohkan, maraknya meme tentang PKI yang beredar, yang membuat orang-orang tertawa, adalah bukti bahwa pada masa sekarang, orang-orang sekarang, keberjarakan itu sudah memberi sudut pandang yang lain terhadap sejarah yang sama.
Meski membaca kajian-kajian peristiwa 1965 dan mengobrol dengan beberapa korban, Made Ardana menolak anggapan dirinya melakukan riset. Pasalnya, apa yang ia lakukan bukan dalam konteks sengaja mencari bahan secara struktural untuk berkarya. Bagi Made Ardana, yang ia lakukan tak ubahnya sebuah pengalaman yang wajar belaka. Ini dilakukannya sejak 2015 silam, tapi baru betul-betul diniatkan menjadi pameran tiga bulan belakangan.
Posisi Made Ardana dalam mengangkat isu ini menarik dan bisa dianggap berhasil. Ia tidak tercebur pada keberpihakan yang ia hindari. Karena itu, karya-karya Made Ardana tidak menakuti dengan simbol-simbol yang mengerikan. Kalaupun ada yang mengerikan dari pameran ini, itu dibuat oleh jarak antara si pengunjung dan peristiwa tersebut – jauh atau dekat.