konser musik klasik Haguenauer bertajuk “Resital Piano Debussy” di Soehanna Hall, Jakarta, 5 Juni 2016. (dok. Meninaputri/ Institut Francais Indonesia)

Akrabnya karya-karya komposer legendaris Claude Debussy, baik di telinga pianis dan komposer Prancis Jean-Louis Haguenauer maupun di memori para penikmat musik klasik di Indonesia, menjadi salah satu alasan Institut Prancis di Indonesia (IFI) menghelat konser musik klasik Haguenauer bertajuk “Resital Piano Debussy” di Soehanna Hall, Jakarta, 5 Juni 2016. Pertunjukan di Jakarta ini merupakan pagelaran final Haguenauer sebagai bagian dari Printemps Francais 2016, setelah sebelumnya tampil di Bandung dan Surabaya pada 28 dan 30 Mei, serta di Medan pada 1 Juni 2016 lalu.

Di konser ini, Haguenauer membawakan lengkap ke-24 nomor dari Préludes. Dua buku yang dikerjakan Debussy pada tahun 1910-1913 tersebut dimainkan dalam dua babak terpisah selama 75 menit. Di babak pertama, di antaranya, sang komposer membawakan nomor ketiga dari buku pertama Préludes, Le vent das la plaine. Di nomor ini, Debussy menerjemahkan deru angin yang menyentuh kapal terbang ke dalam tempo yang cepat dan riang. Nomor ini disambung dengan lantunan Les collines d’Anacapri, pieces keempat yang mengisahkan perjalanannya bermain musik di luar Prancis.

Perjalanan dari satu negara ke negara lainnya memberikan pengaruh kuat pada komposisi ciptaannya. Dalam nomor keempat bernuansa Italia tersebut, misalnya, Debussy terinspirasi oleh suasana tanah mediterania yang berlimpah cahaya. Kepekaan sang komposer pada alam juga hadir dalam banyak nomor lainnya—termasuk Ce qu’a vu le vent d’ouest—yang terinspirasi dari sejumlah puisi dan perjalanannya saat melihat laut, merasakan angin yang berhembus dari lautan Atlantik, dan menikmat cahaya matahari yang jatuh ke tanah dan dedaunan.

Di samping nada-nada yang mencipta atmosfer alam, Haguenauer juga memainkan nomor-nomor sendu seperti Des pas sur la neige. Nada-nada bertempo lambat dan repetitif yang seolah tanpa akhir ini mengisahkan tentang jejak kepergian manusia di atas hamparan salju.

Jean-Louis Haguenauer saat menjelaskan karya-karya Debussy (sumber: dok. Meninaputri/Institut Francais Indonesia)
Jean-Louis Haguenauer saat menjelaskan karya-karya Debussy (sumber: dok. Meninaputri/Institut Francais Indonesia)

Bagi peraih Yehudi Menuhin Foundation Prize Winner ini, karya-karya Debussy tak ubahnya bagian dari perjalanan bermusiknya sendiri. Pianis lulusan terbaik dari Normale de Musique, Prancis ini telah mempelajari karya sang maestro sejak berusia 14 tahun. Saat belajar pada Nadia Boulanger, komposer dan konduktor wanita kenamaan Prancis, Haguenauer mulai menyelami teknik dan gaya komposisi Debussy yang unik dengan sentuhan nuansa Asia.

“Debussy di mata saya merupakan maestro komposer Prancis sepanjang masa. Ia sangat terinspirasi pada musik-musik Timur Jauh (Asia), terutama gamelan Jawa yang ia dengar pertama kali di Paris pada pameran internasional tahun 1889 dan 1990,” katan Kecenderungan Debussy yang mengedepankan karakteristik bunyi ketimbang elemen-elemen lainnya dalam mengomposisi nomor mengukuhkan dirinya sebagai pionir kembalinya kejayaan musik klasik Prancis pasca Renaisans dan Barok.

Hal itulah yang menjadi salah satu alasan Haguenauer muda untuk menggeluti musik klasik hingga hari ini. Sebagai penghargaan pada sang maestro, murid komponis besar Henri Dutilleux ini merekam keseluruhan komposisi Debussy menggunakan piano Debussy dan merilis CD Claude Debussy: Melodies Integrale (Complete Songs) pada 2014.

Dalam rangkaian kedatangannya ke Indonesia, pengajar Fakultas Piano Jacobs School of Music, Universitas Indiana, Amerika ini juga mengisi masterclass bersama delapan pianis muda terpilih se-Indonesia pada 4 Juni 2016. Selama delapan jam, para pianis Indonesia tersebut diajari teknik khas Debussy dalam membawakan repertoar dan menceritakan kisah di tiap nomor gubahan. Dengan sentuhan khas Asia dalam komposisi karya sang maestro asal Prancis tersebut, di sisi lain, menjadi sentilan bagi para komposer muda untuk turut bisa membawa identitas Indonesia dalam tiap karya.