Imaji Kampung dan Warna di Art Jakarta 2018

0
6594
Eddy Susanto menawarkan kampung imajiner lewat The Irony of Ruralism (Dok. Art Jakarta)

Bayangkan, kamu berada di ruangan berpagar besi dan duduk di sebuah bangku taman sambil memandang imaji rumah Joglo di hadapanmu. Di sekitar kakimu berserakan daun-daun kering yang menutupi tanah, menimbulkan bau khas pedesaan di tanah Jawa. Sedangkan di luar pagar terpasang tulisan “DIJUAL/FOR SALE” berwarna kuning. Gambaran yang muncul di pikiranmu tersebut adalah bagian dari instalasi The Irony of Ruralism milik Eddy Susanto di helatan Art Jakarta 2018.

Eddy merupakan satu dari sepuluh seniman terpilih yang berkesempatan mengisi ruang “10 For 10” yang secara khusus dibuat Art Jakarta sebagai representasi 10 tahun kehadirannya sebagai bursa seni di Indonesia. Selain karya Eddy, ada pula 389-696-104-554 dari Syagini ‘Cagi’ Ratna Wulan, berupa panel-panel stainless yang memainkan cahaya dan warna di ruang tersebut. Meski kesempatan melihat karya Eddy dan Cagi telah Anda lewatkan, cerita dibalik dua karya tersebut masih menarik untuk disimak.

Menjual Kampung Imajiner

Mendapati suasana kampung di salah satu sudut Ballroom Ritz-Carlton Jakarta menjadi keunikan tersendiri bagi pengunjung yang menghadiri Art Jakarta di awal Juni lalu. Ruang instalasi The Irony of Ruralism yang dibuat oleh Eddy Susanto, dengan leluasa bisa dieksplor pengunjung hingga duduk di dalam ruangan sembari meresapi suasana kampung yang jauh dari ibukota.

Tampak dalam instalasi The Irony of Ruralism dari Eddy Susanto (Dok. Instagram Eddy Susanto)
Tampak dalam instalasi The Irony of Ruralism dari Eddy Susanto (Dok. Instagram Eddy Susanto)

Dalam beberapa tahun terakhir, Eddy dikenal sebagai seniman yang kerap mengangkat topik mitologi dan sejarah jawa. Kesenangannya akan membaca dan melakukan riset tentang kebudayaan, ditampilkannya pada pameran tunggal “JavaScript” di Galeri Nasional Indonesia, 2015. Ia juga mewakili Indonesia di Singapore Biennale 2016 bersama dengan Titarubi dan Ade Darmawan. Sedangkan tahun lalu, ia menghubungkan kebudayaan Jawa dengan era Renaisans lewat Melencolia I (Java of Durer #2) di Art Jakarta bersama dengan Lawangwangi Creative Associates.

Karya ini sesungguhnya menjadi respons perupa pada pernyataan “Jogja ora di dol/Jogja tidak dijual” yang mencuat terkait pembangunan Bandara Kulon Progo. Respons tersebut dibungkus ironi lewat tulisan “DIJUAL/FOR SALE” yang dipasang di pagar besi.

Eddy Susanto (Dok. Dhamarista Intan)
Eddy Susanto (Dok. Dhamarista Intan)

“Yang ingin saya sampaikan, saya menjualnya [Yogyakarta] tetapi secara imajiner. Ada joglonya, ada luas tanah, ada sertifikat, tapi saya juga bawa ada suasana bau kampungnya, daun-daun keringnya, supaya nanti pengunjung mau duduk di situ menikmati dan merasakan baunya, kotornya. Seperti inilah suasana kampung. Saya menjualnya tidak dalam bentuk fisik tapi imajiner.”

Sesuai namanya, karya instalasi ini juga merespons fenomena ruralisasi, yakni perpindahan masyarakat kota ke desa-desa, khususnya Yogyakarta. Sebagai sesama pendatang di Yogyakarta, ia melihat keganjilan orang-orang kota yang tinggal di desa.

Tampak dalam instalasi The Irony of Ruralism (Dok. Instagram Eddy Susanto)
Tampak dalam instalasi The Irony of Ruralism (Dok. Instagram Eddy Susanto)

“Banyak orang pendatang di kampung, mereka beli tanah, beli rumah di sana tetapi tidak ditinggali. Atau ditinggali tetapi tidak pernah keluar rumah, gak keluar kampung. Mungkin lewat sosmed mereka ketemu tetangga. Saya melihat ruralisme sebenarnya positif untuk pemerataan penduduk, tapi ini kok justru jadi negatif,” ujar seniman kelahiran 1975 itu.

The Irony of Ruralism dikerjakan Eddy hampir selama satu tahun sejak diundang secara khusus oleh Art Jakarta lewat pihak Lawangwangi Creative Associates yang menaungi sang perupa.

Warna Yang Tak Bernama

Syagini Ratna Wulan, atau Cagi, sempat ramai diperbincangkan ketika karya Bibliotea menjadi satu-satunya perwakilan Indonesia di penghargaan Celeste Prize di New York tahun 2011. Sedangkan dalam dua tahun terakhir, Cagi kerap menggunakan warna dan cahaya sebagai materi eksplorasinya, lewat 2 pameran tunggalnya: “Spectral Fiction” (2016) dan “Susurrus” (2018).

Karya 389-696-104-554 dari Syagini Ratna Wulan di Art Jakarta 2018 (Dok. Art Jakarta)
Karya 389-696-104-554 dari Syagini Ratna Wulan di Art Jakarta 2018 (Dok. Art Jakarta)

Ketika terintegrasi ke dalam kehidupan manusia, warna seringkali dikaitkan dengan budaya yang menghasilkan banyak makna. Namun bagi Cagi, warna adalah sesuatu yang dapat berdiri sendiri tanpa embel-embel yang mengikutinya. Sedangkan cahaya, adalah sesuatu yang membuat warna menjadi ada (spektrum warna).

“Manusia yang bikin warna merah artinya berani, garang, macem-macem, tapi saya melihatnya warna adalah warna.”

Syagini Ratna Wulan (Dok. Dhamarista Intan)
Syagini Ratna Wulan (Dok. Dhamarista Intan)

Salah satu karya Cagi yang dihadirkan ke Art Jakarta untuk tampil bersama 9 karya lain di “10 for 10” adalah 389-696-104-554, yang terdiri dari 38 panel stainless yang tampak menghasilkan ilusi warna.

Karya ini merupakan kelanjutan dari karya pameran“Spectral Fiction”, karena masih berkutat dengan isu persepsi dan kesadaran manusia. Dalam catatan pendamping karya yang diambil dari tulisan Agung Hujatnika, menyebutkan “Walau seringkali ia diturunkan sebagai bagian dan paket untuk produk kosmetik, dekorasi, atau hiasan semata, warna tetaplah warna, yang sesungguhnya tidak pernah bernama.”

Detail 389-696-104-554 (Dok. Dhamarista Intan)
Detail 389-696-104-554 (Dok. Dhamarista Intan)

389-696-104-554 sebelumnya telah di pamerkan pada helatan Art Jog pada Mei 2018, dengan cara display yang membagi 38 panel tersebut pada tiga sisi dinding. Sedangkan untuk Art Jakarta 2018, karya Cagi dijajarkan secara memanjang di dinding ruang pamer dan berada di bawah naungan galeri ROH Projects.penutup_small