Mustikarasa, satu-satunya buku masakan resmi yang pernah diterbitkan pemerintah, pada 2016 diterbitkan ulang oleh Komunitas Bambu. Edisi barunya ditambah anak judul, sehingga berjudul lengkap Mustikarasa: Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno.
Buku ini pertama terbit pada 1967 setelah melalui proses panjang. Walau mulai digagas pada 1959 namun sebenarnya pada 1920-an Bung Karno pernah melontarkan kalimat bahwa kemerdekaan itu dimulai dari lidah. Yang dimaksud adalah kebebasan berbicara karena rezim kolonial represif terhadap wacana.
Setelah merdeka, Sukarno mulai bicara definisi lain tentang kalimat tersebut, yakni dikaitkan dengan kemerdekaan sehingga kemudian kita kenal slogan-slogan, seperti gemah ripah loh jinawi (kekayaan alam yang melimpah) dan sandang, pangan, papan (pakaian, makanan, rumah). Sandang, pangan, papan adalah garansi negara bagi rakyat jika Indonesia merdeka.
“Bung Karno pun mulai memikirkan tiga hal itu, dan pangan jadi persoalan serius karena dia tahu salah satu kampanye persatuan dalam kebhinnekaan adalah melalui makanan,” ujar sejarawan J.J. Rizal dalam peluncuran buku Mustikarasa di Kedai Tjikini, Jakarta, 14 Agustus 2016.
Baca juga Hotel Bali Beach, Karunia Bung Karno untuk Sanur
Masalahnya, walau Indonesia kaya akan khazanah kuliner, tak ada dokumentasinya secara nasional, disebabkan budaya tutur lebih dominan. Hanya pemerintah kolonial Belanda yang pernah membuat satu-satunya buku masak Nusantara berjudul Groot Niew Vooledig Oost-Indisch Kookboek yang memuat 1381 resep Hindia Belanda.
Ditambah lagi Sukarno bukanlah petualang kuliner yang punya banyak referensi tentang makanan. Dia tak suka makanan Eropa, dan hanya makan makanan kampung. Saat kunjungan ke luar negeri, misalnya, koki istana ikut diboyong berikut cobeknya karena Sukarno makan sambal harus langsung di-korek dari cobek.
“Begitulah Sukarno, selera makannya ‘kampungan’ dan cara makannya ‘kampungan,’” kata Rizal yang juga pendiri Komunitas Bambu.
Maka untuk mendokumentasikan masakan Indonesia dalam bentuk buku, dikirimlah para pekerja yang serius dalam urusan fashion (saat itu, makanan masuk kategori fashion). Setelah terkumpul 1300 resep, ternyata Sukarno tak menggunakannya sama sekali.
Dia kemudian menugaskan M. Yamin untuk jadi Kepala Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada 1962, yang jadi cikal bakal Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), untuk memikirkan ketersediaan sandang, pangan, papan.
Baca juga Bali Hotel dan Singgahnya Negarawan Dunia
Pengerjaan buku babon kuliner Indonesia itu juga jadi tanggung jawab Yamin dengan tenggat waktu satu tahun. Para pamong praja dari daerah diundang ke Jakarta untuk diwawancara guna menggali kekayaan kuliner wilayahnya. Namun ternyata hasilnya jauh dari harapan.
Akhirnya penulisan buku diserahkan ke Akademi Gizi. Walau mulai tampak keberhasilannya, belum jelas betul bentuk jadinya bakal bagaimana, termasuk akan mengambil judul apa.
Sekali lagi Sukarno menemukan masalah, yakni ketika tak ada yang dapat menjawab pertanyaan tim penulis buku tentang berapa konsumsi beras per kapita orang Indonesia. “Pasalnya posisi beras sangat penting di Indonesia. Kalau stok beras kosong, maka negara dalam bahaya,” kata Rizal.
Dan ketika jawaban pertanyaan itu ditemukan, disimpulkan jika Indonesia mau selamat, ekspansi dan kolonisasi beras ke masyarakat yang tidak mengkonsumsi beras harus dihentikan. Sukarno membuat self-supporting beras, mengganti beras dengan jagung. Salah satu bentuk kampanye mengerem konsumsi beras adalah dengan seringnya istana memperdengarkan lagu Menanam Jagung.
Baca juga Membaca Makna Limasan
Ketika tahun 1964 Mustikarasa mulai menemukan bentuknya, Sukarno menugaskan sang istri, Hartini, untuk menguji resep-resep yang sudah terkumpul. Hartini pun membuat pameran makanan ke seluruh Indonesia. Namun setelah pameran rampung, belum lagi hasilnya dikompilasi, pecah peristiwa G30S 1965.
Mustikarasa akhirnya terbit tujuh tahun setelah dicetuskan, pada awal 1967, secara terburu-buru, pada akhir masa pemerintahan Sukarno. Karena Sukarno pernah berpesan agar buku itu terbit saat dia masih memimpin.
Karena kitab kuliner ini terbit secara terburu-buru, tak heran jika ditemukan banyak keganjilan, seperti di nama resep tertulis “Ayam” tapi ternyata di daftar bahannya tak mengandung ayam, atau sayur khas Betawi tapi dituliskan di buku itu berasal dari Cirebon.
Baca juga Ashadi, Artisan Pisau dari Parakan
Lepas dari semua keganjilan tersebut, yang menarik, Mustikarasa disajikan secara inklusif, ambil contoh, menuliskan “babi” dan “darah” dengan gamblang.
Selain masakan rumahan yang abadi, seperti sayur bobor dan ongklok kentang, dari buku ini juga kita jadi tahu dunia kuliner juga berproses; ada bahan makanan baru, ada juga yang hilang. Dahulu daging penyu banyak digunakan, ada masakan bernama kelada yang berbahan lidah kuda, serta ada taart semangka, tapi sekarang ketiganya tak lagi ada di meja makan rumah tangga.
“Saya menemukan resep kue sakura di majalah Djawa Baroe terbitan tahun 1944. Di Mustikarasa ada resep kue sakura juga, tapi beda. Inilah kekayaan kuliner kita yang hilang. Resep-resep dari nenek yang sekarang sudah tak lagi dipraktikkan,” kata Rizal.
Nyaris sepertiga buku berisi teks, bukan resep. Banyak pula esai panjang tentang kuliner, pengetahuan gizi, cara menganyam ketupat, posisi dapur, peletakan tungku, sampai cara mencegah kebakaran.
“Saya mempertahankan semua seperti asli; ejaannya, juga kekurangannya. Saya hanya mengubah anak judulnya untuk menghormati iniasiator pengumpul resep agar ingat bahwa beliau pernah melakukan sesuatu di luar pengetahuan kita.”