Questioning Everything!: Kreativitas di Dunia yang Tidak Baik-Baik Saja. (Foto: Rizaldy Yusuf)

Terlepas dari dikotomi alternatif dan arus utama, majalah Warning adalah media. Proses kerja yang berlangsung di dalam tubuh majalah dari Yogyakarta itu juga merupakan proses kerja jurnalistik.

Maka, ketika Tomi Wibisono dan Soni Triantoro mengumpulkan 27 artikel wawancara yang hampir semua pernah dimuat di Warning untuk dijadikan sebuah buku, buku itu harus dibaca sebagai produk jurnalistik.

Dalam buku berjudul Questioning Everything! Kreativitas di Dunia yang Tidak Baik-Baik Saja, pertanyaan-pertanyaan Tomi dan Soni untuk para sastrawan, sineas, musisi, sampai seniman rupa menggiring mereka masuk ke persoalan yang berada di luar wilayah bidang kreatif itu sendiri.

Kata “dunia” yang ada di judul tidak sekadar merujuk pada proses berkarya dan seluk beluk dunia kesenimanan para narasumber. Tomi dan Soni menempatkan kreativitas sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kondisi sosial, politik, maupun ekonomi.

Ini terlihat dari munculnya pertanyaan-pertanyaan yang menagih narasumber, di antaranya Remy Sylado, Joshua Oppenheimer, Jerinx, Seno Gumira Ajidarma, Puthut EA, Nia Dinata, Dandhy Laksono, Risky Summerbee & The Honeythief, untuk memberi opini terkait isu-isu yang beredar di sekitarnya.

Kepada sastrawan senior Remy Sylado, kedua penulis bertanya soal pengalamannya dalam perseteruan budaya Lekra dan Manikebu setelah sebelumnya membincangkan soal sikap “galak” Remy kepada generasi tua di masanya.

Dengan Wendi Putranto dan Sheila On 7, mereka membahas kisruh tak ada ujung pembajakan musik, mulai dari analisis awal kemunculan sampai strategi perlawanan. Band rock asal Palembang, ((Auman)), dimintai pendapat soal pro-kontra aksi buruh di mogok nasional. ANTI-TANK, street artist asal Yogyakarta, dikuras pernyataannya tentang bagaimana ia memposisikan peran seni di masyarakat.

Tentu saja tidak semua yang mereka wawancarai mengaku bahwa karya mereka memiliki muatan politik, seperti FSTVLST atau Soko, contohnya. Namun, dengan giringan pertanyaan-pertanyaan Tomi dan Soni, tetap saja pada akhirnya mereka membicarakan soal itu.

Soko bicara tentang sikap apolitisnya yang ternyata efek trauma karena peristiwa 9/11 (“Saya sangat ketakutan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi,” ujarnya, di halaman 192), Farid dari band FSTVLST berujar isu sosial dalam lagu-lagunya merupakan contoh “sikatan sindir-sindir sedikit” (halaman 252) isu politik yang ia hindari.

Sampai di tingkat ini, kemantapan sikap kedua penulis terbilang menarik. Sebab, bahasan pun menjadi luas dan kaya.

Hal bagus lainnya ialah, meski dengan pendekatan macam itu, tulisan-tulisan dalam buku ini bisa selamat dari kemungkinan menjadi sekaku tulisan-tulisan di halaman depan koran. Ini berkat keluwesan kedua penulis buku.

Mereka tahu kapan harus membahas topik-topik “berat”, kapan harus bersantai membicarakan ide aransemen lagu atau kiat menjaga produktivitas berkesenian. Obrolan juga nyambung karena pengetahuan Tomi dan Soni seimbang dengan referensi-referensi narasumbernya.

Yang tidak terelakkan dari pemilihan narasumber-narasumber asal luar Indonesia adalah tidak mungkinnya Tomi dan Soni melakukan wawancara secara langsung. Di beberapa kasus, kata Tomi, wawancara harus dilakukan lewat surat elektronik atau chat Facebook.

Tentu saja ini ada pengaruhnya. Pada wawancara-wawancara yang terlaksana melalui cara demikian, dialog jadi kurang mengalir. Tek-tok tanya jawab tidak selancar wawancara tatap muka.

Seperti bagian Joshua Oppenheimer, percakapan malah lebih mirip sesi pertanyaan setelah ceramah atau kata sambutan atau pidato. Sesi yang berlangsung via Facebook ini memutus kaitan satu pertanyaan ke pertanyaan lain, sementara si penjawab berpanjang-panjang dengan bebas.

Satu masalah di buku ini yang sangat mengganggu adalah banyaknya kesalahan gramatikal. Kata ‘pun’ masih kerap ditulis sambung dengan kata ‘apa’. Penulisan kata juga banyak yang luput dari kaidah yang baku, misalnya ‘detil’ yang sebetulnya ‘detail’, ‘resiko’ yang semestinya ‘risiko’, ‘sekedar’ yang seharusnya ‘sekadar’, atau ‘silahkan’ yang sewajibnya ‘silakan’.

Kesalahan ini terjadi berkali-kali hampir sepanjang buku, sehingga mustahil disebut ketidaksengajaan. Saya belum pernah membaca majalah Warning, sehingga tidak tahu apakah kesalahan tersebut memang sudah ada sejak tulisan-tulisan dalam buku ini masih menclok di halaman majalah.

Menurut keterangan Tomi, ada beberapa tulisan di pengantar sebelum tanya jawab yang ditulis ulang. Ada juga versi panjang yang sebelumnya tidak muat di majalah. Jadi, tidak bisa ditarik kepastian soal kesamaan naskah di buku dan di majalah.

Meski perkara penulisan kata baku ini terlihat sepele di hadapan topik obrolan yang terbilang besar, tetap saja ini kekurangan dan tidak bisa dilempar ke penyunting begitu saja. Baik penulis atau penyunting, mereka yang terlibat dalam penggarapan konten buku seharusnya sadar ada akses mudah ke kamus daring. Ini perlu, apalagi mengingat kedua penulisnya sudah mempraktikkan kerja tulis-menulis sejak lama (edisi pertama Warning terbit Desember 2012).

Belum lagi, banyak pembaca yang memberi respons positif pada buku ini. Saya kutip apa adanya pernyataan Ananda Badudu yang dituliskan di sampul belakang buku, “Adalah suatu hal yang patut disyukuri di tengah deruan zaman artikel distortif serba singkat nir-5W+1H masih ada anak-anak muda sudi berkutat berjam-jam mentranskrip dan menyunting wawancara panjang seperti yang ada dalam buku ini.”

Sebagai buku berisi produk jurnalistik yang cukup matang secara konsep, tentu amat disayangkan jika ia harus pincang akibat ditopang penguasaan teknik dasar yang kurang terampil.