Pada tahun ’90-an, dunia bacaan bergambar anak Indonesia dapat dibilang sudah didominasi komik, terutama dari Jepang. Di era yang sama, graphic novel dari Amerika dan Eropa, seperti DC Superheroes dan Marvel, menjadi bacaan kalangan remaja dan orang dewasa. Lalu, bacaan bergambar apakah yang dinikmati oleh generasi sebelumnya?
Djagat Roepa Studio Enam membawa kembali kenangan tersebut dalam pameran “Tjergam Taroeng” yang diselenggarakan di Gedung B Galeri Nasional Indonesia pada tanggal 12 – 22 Agustus 2016.
Pada dasawarasa ’70-an, komik lebih dikenal dengan nama cerita bergambar (cergam). Saat itu, belum banyak masukan komik dari Jepang maupun dari Amerika dan Eropa, karena itulah cergam lokal menjadi bacaan “informal” anak-anak di luar buku pelajaran sekolah mereka.
Setelah memasuki tahun ’90-an, cergam lokal perlahan-lahan menghilang. “Para perupa dari komunitas seni Djagat Roepa Studio Enam ini mencoba merespons ulang situasi bawah sadarnya yang bertahun-tahun lalu pernah melihat, membaca, dan mengakrabi dunia komik lokal untuk kemudian divisualisasikan kembali dalam format yang berbeda,” ujar kurator pameran Kuss Indarto saat pembukaan pameran “Tjergam Taroeng”, 12 Agustus 2016.

Siapakah Djagat Roepa Studio Enam ini? Mereka adalah 12 perupa yang juga staf pengajar fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Universitas Tarumanagara: Ananta O’Edan, Yuli A. S., Yassir Malik, Toto M. Mukmin, Untung Saryanto, Leonard Pratama, Iqbal Oemar, Andre Random, Nasir Setiawan, Abidin M., Muchyar Sumpena, dan Kurnia Setiawan.
Jagad Roepa adalah salah satu program kerja dari Studio Enam Untar, yang merupakan studio untuk bermain dan belajar seni rupa dalam lingkup FSRD.
Karya-karya yang dipamerankan adalah karakter superhero lokal era ’70-an, seperti Pandji Tengkorak, Kapten Mlaar, dan Gundala Putera Petir. Ada juga tokoh yang lebih familiar untuk khalayak ’90-an, seperti Si Buta dari Gua Hantu. Tokoh-tokoh ini pun digambarkan tidak hanya nostalgia visual, tetapi para seniman juga menyusupkan gagasan-gagasan yang mereka dalami.
Dalam tulisan kuratorial pameran ini, Kuss menjabarkan tiga nilai yang dibawa “Tjergam Taroeng”. Pertama, kesan satire yang eufemistik dengan kenyataan komik lokal tidak lagi mendominasi wilayahnya sendiri.
Kedua, pengolahan kembali gagasan dan konsep kreatif mengenai masa lalu atau masa kanak-kanak, dengan konteks yang berbeda sehingga berpeluang memperkaya karya. Terakhir, pameran ini kurang lebih memetakan persoalan keseharian anggota Jagad Roepa Studio Enam mengenai problem dunia teoritik dan dunia praksis, yang menjadi tantangan sehari-hari para anggota sebagai pengajar.