Oleh: Renjana Widyakirana & Trisna Wulandari
Setidaknya ada gurauan—yang mungkin serius—tentang hitam putih. Konon, lewat bahan hitam putih, siapa yang tidak bisa menggambar, kemampuan menggambar (drawing) akan benar-benar terbaca lewat hitam putih.
Demikian Frans Sartono, General Manager Bentara Budaya menulis untuk katalog pameran Yapi Tambayong, Ipong Purnama Sidhi, MasPadhik, Sarnadi Adam, dan Sri Warso Wahono di Bentara Budaya Jakarta. Di bawah nama panca atma, kelimanya memberi tajuk “hitam putih-panca atma”— ditulis tanpa huruf kapital—untuk pameran kolektif mereka di Bentara Budaya Jakarta, 8-17 September 2016.
Sesuai tajuknya, kelima seniman ini bersepakat menggunakan hitam dan putih saja di atas kanvas dan kertas mereka. Gagasan ini, menurut mereka, sekaligus dimaksudkan untuk mengejawantahkan filsafat paling dasar dari kedua warna tersebut, yang di dalamnya meliputi wacana estetika dan etika.
Ipong Purnama Sidhi, misalnya, memadukan ragam hitam yang dingin dan hangat dalam satu bidang kanvas, berganti-ganti dari menjadi latar dan objek lukisan. Dalam Banyan, Ubud, lulusan Seni Lukis STSRI/ASRI Yogyakarta ini menangkap wujud pohon beringin kurang daun dengan tinta dan akrilik di atas kertas dan kanvas.
Sementara itu, dalam The Singer not The Song, hadir sosok penyanyi bersama pemain gitarnya dari sapuan akrilik di atas kanvas. Tentang sosok-sosok hitam putih ini ia menulis, “Saya melukis apa adanya. Ada keinginan membagi keriangan, kesenangan, dengan memandang lukisan saya. Saya memilih berterus terang apa adanya. Figur-figur frontal memancarkan cinta dan kengerian, kebahagiaan dan ketakutan, tragedi dan komedi, dialektik dasar dari emosi manusia.”
Sementara itu, MasPadhik menuangkan hitam putih ke dalam lukisan-lukisannya yang bergaya relief batu. Kegemarannya pada situs bersejarah dan pengaruh latar belakang lulusan seni Patung STSRI Yogyakarta ini tampak dalam karya-karyanya yang mengalihkan citra trimatra patung dan relief batu ke dalam citra dwimatra.
Dengan menambahkan sejumlah objek dari masa kini, figur-figur masa lampau yang dilukisnya seolah mampu melompat dari masa ke masa, berdiri dan bercerita tentang konteks yang berbeda dari zamannya.
“Ciri tekstur yang kuat pada relief, permukaan bidang ke dalam dan ke depan yang menonjol, merupakan tantangan tersendiri ketika dialihkan ke dalam imaji warna dan bidang datar. Menjadi tantangan tersendiri pula ketika narasi masa lalu candi itu dapat dialihkan ke dalam konteks isu-isu sosial, kemanusiaan, dan kebangsaan kita secara kekinian,” kata seniman kelahiran Bandarlampung, 25 Desember 1960 ini.
Sri Warso Wahono masih mengangkat rampogan sebagai tema sentral dalam karyanya. Pertarungan manusia dengan harimau atau semacam gladiator Jawa ini sendiri telah menjadi tema yang melatari berbagai karya lukisnya sejak 1996.
Mulanya, lulusan Seni Rupa IKIP Surakarta ini diilhami fenomena dalam wayang kulit purwa yang senantiasa memunculkan adegan rampogan saat pergelaran berlangsung. Di tahun yang sama, pecah peristiwa pembakaran kantor ormas, disusul tragedi 1998.
Rezim Orde Baru yang lalim ini di matanya seolah harimau, di mana rampogan “putih” yang terdiri dari mahasiswa dan rakyat melengserkannya, meski dilawan pemerintah dengan tentara sebagai rampogan “hitam”.
Dalam kilas kehidupannya, peristiwa rampogan terus berulang, dalam rupa monopoli ladang minyak bumi, korupsi berjamaan, dan lumpur Lapindo. Kasus-kasus rampogan muncul dalam karya lewat berbagai latar adegan dan simbol yang khas ketimuran, dengan warna hitam dan putih menyiratkan dua massa yang bertentangan.