Peralihan kekuasaan politik dari satu rezim ke rezim lainnya bisa mempengaruhi keberlangsungan karya seni dan menghilangkan spirit berkarya seorang seniman. Setidaknya hal itu yang dialami oleh Harijadi Sumodidjojo, seorang seniman besar di era orde lama. Bersama Sudjojono dan Surono, Harijadi Sumodidjojo adalah figur sentral organisasi Seniman Indonesia Muda (SIM) yang pada tahun 1957 diminta oleh Bung Karno untuk menyelesaikan relief mural monumental di Bandara Kemayoran, Jakarta.
Generasi sekarang mungkin kurang mengenal sosok Harijadi Sumodidjojo yang dikenal dekat dengan sosok Bung Karno, namun seperti hilang tenggelam di era orde baru. Nama Harijadi Sumodidjodjo tidak seharum nama Sindoedarsono Sudjojono dalam pelataran sejarah seni rupa Indonesia. Padahal di lain sisi, karya-karya dan ketokohan Harijadi sangat layak untuk diperhitungkan dan diperbincangkan. Pada tahun 1958, Harijadi mendirikan “Sanggar Selobinangun”, bersama kelompok selobinangun, Hariadi menciptakan beberapa relief monumental dari batu andesit yang ramai menghiasi ruang publik dan perhotelan di era 1960-an.
Di tahun 1965, Harijadi dikirim Bung Karno untuk mempelajari mural dan museum di Meksiko dengan tujuan untuk mengisi Monumen Nasional dengan karya-karya monumentalnya. Namun situasinya berubah setelah peristiwa G30S terjadi dan Bung Karno lengser dari tahta. Selanjutnya, segala bentuk kebijakan de-Soekarnoisasi yang diambil oleh pemerintahan orde baru membuat Harijadi enggan kembali berkarya. Banyak proyek-proyek mural relief terbiarkan begitu saja.
Dengan tujuan untuk melacak kembali jejak-jejak sosok seniman Harijadi Sumodidjojo, kurator Sanjaya Kuss Indarto bersama dengan Ireng Laras Sari – anak Harijadi Sumodidjojo yang menulis buku Andesit Untuk Bangsa – menggelar acara peluncuran buku “Andesit Untuk Bangsa” yang dilanjutkan dengan acara diskusi. Acara ini akan diadakan pada 23 November 2019 di Bentara Budaya Yogyakarta. Sarasvati berkesempatan mewawancarai Sanjaya Kuss Indarto untuk menggali lebih jauh tentang acara peluncuran buku tersebut.
Apa yang melatarbelakangi peluncuran buku Andesit Untuk Bangsa?
Buku ini sebenarnya bukan hal baru, buku ini sudah ditulis oleh penulisnya Ireng Laras Sari pada tahun 2015, namun belum sempat diterbitkan karena adanya persoalan di internal keluarga tentang isi buku. Lalu saya dan beberapa teman beranggapan sayang sekali jika buku ini tidak jadi diterbitkan, karena ini adalah karya yang luar biasa. Banyak hal penting yang belum terungkap di pelataran sejarah seni rupa Indonesia yang diungkap dalam buku ini. Kemudian saya membujuk mbak Ireng Laras Sari untuk me-launching sekaligus mendiskusikan buku tersebut, dan beliau setuju.
Apa yang bisa dihighlight dari buku Andesit Untuk Bangsa?
Selama ini kita seperti kehilangan jejak Harijadi Sumodidjojo, padahal pencapaian estetisnya cukup penting. Karya relief mural batu andesit di bekas bandara Kemayoran Jakarta yang dipesan oleh Bung Karno pada waktu itu dibuat oleh 3 seniman besar pada masanya, yaitu Soedjojono, Soerono dan Harijadi. Nama Soedjodjono dan Soerono cukup harum di pelataran sejarah seni rupa Indonesia, namun nama Harijadi seperti terlupakan. Padahal ketokohan, jasa-jasa dan pencapaian estetis karya-karyanya cukup penting dalam sejarah seni rupa Indonesia. Melalui buku ini kita melacak kembali jejak-jejak Harijadi dalam sejarah seni rupa Indonesia.
Apa yang menjadikan Harijadi dekat dengan sosok Bung Karno?
Sebetulnya bukan hanya Harijadi saja, Bung Karno adalah sosok yang dekat dengan para seniman karena ia mempunyai kepedulian tinggi akan kesenian. Kedekatan Soekarno dengan seni bukanlah hal kebetulan, darah Bali ibunya mengalirkan darah seni kepada Soekarno. Terlebih lanjut saat dewasa ia memilih jurusan Arsitektur dalam kuliahnya yang merupakan indikasi minat dan bakatnya di dunia seni. Lalu di tahun 1957, saat ia menunjuk Seniman Indonesia Muda untuk menyelesaikan projek relief di bandara Kemayoran, tentu bukannya tanpa alasan. Ia telah mengenal seniman-seniman SIM sejak lama, dan Soekarno tahu jika seniman-seniman SIM adalah orang-orang yang sangat revolusioner dan cocok dengan visi Bung Karno.
Mengapa Harijadi menolak untuk melanjutkan pembuatan relief “Untung Rugi di Lereng Gunung Merapi” dan “Ombak Sepanjang Pantai” di era orde baru?
Itu terkait dengan kebijakan politik orde baru dan orde lama yang berbeda. Bung Karno jelas seorang pecinta seni, dan anggaran untuk Seni dan Budaya di era Bung Karno sangat besar. Ketika Bung Karno lengser dan digantikan oleh Soeharto, keadaannya berubah. Pertama, secara taste seni, Bung Karno dan Soeharto sangat berbeda. Yang kedua adanya gerakan de-Soekarnoisasi di era orde baru. Jadi setiap proyek seni Bung Karno atau karya seni yang berbau Soekarno dihentikan. 2 karya tersebut – Untung Rugi di Lereng Merapi dan Ombak Sepanjang Pantai – saat itu penyelesaiannya baru 10 persen, tapi pemerintah menghentikan pembiayaan proyek tersebut karena dalam mural yang didesain Harijadi ada figur Soekarno. Pemerintah waktu itu berjanji akan membiayai lagi projek tersebut sampai tuntas dengan catatan figur Bung Karno dihilangkan, tetapi Harijadi tegas menolak permintaan tersebut, sehingga akhirnya karya itu terlantar begitu saja.
Apa yang bisa dipelajari dari sosok Harijadi Sumodidjodjo ?
Pertama, ia adalah sosok seniman yang mau belajar tentang apapun. Medium karya Harijadi sangat beragam, mulai dari sketsa, lukisan, grafis, mural, patung dan relief-relief. Artinya Harijadi adalah seorang pembelajar seni yang luar biasa dan bisa menjadi contoh bagi para seniman. Yang kedua ia adalah seniman yang punya mobilitas vertikal atas bawah yang dinamis, mobilitas ke atas dalam arti ia bisa bernegosiasi dan melobi pemerintah lalu mobilitas kebawah untuk mengorganisir sebuah tim dengan penganganan yang teramat baik. Bagi saya, itu adalah contoh seorang seniman yang mempunyai kecakapan khusus. Seniman yang bisa mengorganisir tim tanpa egosentrik, dan selanjutnya karya-karya yang dihasilkannya juga sangat monumental.
Peluncuran dan diskusi buku “Andesit Untuk Bangsa” akan digelar di Bentara Budaya Yogyakarta pada hari Rabu, 20 November 2019.