Hotel Trio Solo berdiri di Jalan Urip Sumoharjo No. 25 Kepatihan Wetan, Kecamatan Jebres, Solo, di deretan pertokoan sebelah utara Pasar Gede Hardjonagoro. Sekeliling Pasar Gede adalah kawasan Pecinan yang terdiri dari deretan rumah toko (ruko) dengan pola permukiman linear.
Dibangun pada 1932, saat perkembangan Kota Surakarta menuju kota modern pada awal abad ke-20, kembar dengan bangunan di seberangnya yang sekarang sudah berubah total.
Baca lengkap Pernah Azan Berkumandang Sayup di Musajik Usang
Kental pengaruh arsitektur rumah tradisional Jawa dengan pola peletakan pintu tiga memusat, ornamen dan struktur Eropa dengan fasad didominasi kolom-kolom besi berukir a la Korinthia, serta karakter rumah tradisional Cina dengan courtyard di depan dan tengah rumah.
Lantai di bangunan bawah adalah tegel bermotif flora, mulai dari beranda depan hingga beranda belakang, sedangkan di lantai 2 berlantai kayu.
Rumah ini awalnya milik Tjokro Soemarto, saudagar batik di Laweyan pada awal 1900-an, kemudian disewa Tjoa Boen King. Ketika ada saudara Boen King, pengelola Hotel Trio di Yogyakarta, mencari tempat untuk penginapan dengan nama sama, rumah ini jadi pilihan.
Rumah sewaan tersebut kemudian dibeli putra Boen King, Djoenadi Tjokrohandojo, pada 1970-an, saat bisnis penginapan semakin berkembang. Sekarang, penanggung jawab hotel adalah putri Djoenadi, Indriati Tjokrohandojo, 60-an tahun.
Baca juga Ashadi, Artisan Pisau dari Parakan
Dalam artikel Dhian Lestari Hastuti “Struktur dan Fungsi Desain Interior Rumah Peranakan Tionghoa di Surakarta pada Awal Abad ke-20” (2012) di jurnal desain interior Pendhapa, Hotel Trio semula terdiri dari dua bangunan, yakni bagian depan sebagai penginapan dan bagian belakang untuk rumah tinggal. Antara penginapan dan rumah tinggal dipisahkan courtyard.
Di bangunan utama ada delapan kamar, yakni empat di lantai 1 dan empat di lantai 2. Kamar-kamarnya ditandai dengan huruf A, B, C, dan seterusnya. Setiap kamar, masing-masing berukuran 4×5 meter, dengan jendela besar menghadap ke luar. Di depan setiap kamar diletakkan meja kayu dengan permukaan marmer.
Kusen dan daun pintu dengan tinggi 3,5 meter mendapat pengaruh gaya Eropa. Pintu-pintu utama memiliki dua pasang daun pintu, yakni sepasang daun pintu kayu yang membuka keluar dan sepasang daun pintu kaca membuka ke dalam.
Baca juga Bali Hotel dan Singgahnya Negarawan Dunia
Pembatas lobi dan kamar, serta kamar dan teras belakang, adalah kolom Tuscan dengan lengkungan di bagian tengah.
Warna yang mendominasi daun pintu dan jendela adalah kuning muda dengan aksen hijau yang merupakan pengaruh Keraton Mangkunegaran. Meski demikian, menurut budaya Tionghoa, hijau yang merupakan simbol unsur kayu, melambangkan panjang umur, pertumbuhan, dan keabadian. Sedangkan kuning, simbol unsur tanah, melambangkan kekuatan dan kekuasaan.
Tangganya memiliki railing kayu serta balustrade dari besi dan kayu. Dari bawah hingga bordes menggunakan balustrade kayu, sedangkan dari bordes ke lantai 2 adalah balustrade asli dari besi tuang.
Di lantai 2, kita bisa ke balkon depan untuk melihat jalan raya. Balkon depan sekarang sedang dalam tahap renovasi. Di atap balkon terdapat hiasan (kuluk) patung burung berkepala singa.
Baca juga Bakoel Koffie, Ikhtiar Melanjutkan Garis Kopi
Hingga kini, bentuk bangunan lama tetap dipertahankan sesuai aslinya, kecuali dinding yang semula dilapisi bata yang dihaluskan dan dicampur pasir dan kapur diganti dengan dinding semen akibat rembes.
Rumah tinggal di bagian belakang sudah berganti jadi deretan kamar dua lantai yang saling berhadapan, mengapit courtyard. Ukuran kamarnya lebih kecil dibanding kamar di bangunan lama.