Keberagaman media begitu menonjol pada karya-karya seniman yang terlibat di Biennale Jogja XII. Sebagian besar seniman dari lima negara di kawasan Arab kebanyakan menggunakan media video.

seniman-biennale-jogja_small
Para seniman yang terlibat dalam Biennale Jogja XII

Hujan gerimis tak menghalangi Tisna Sanjaya untuk menaiki perahu yang bergerak layaknya sebuah pendulum. Ia ditemani Ketua Nahdlatul Ulama (NU) DIY, Ashari Abdulah Tamrin yang duduk di sudut kiri perahu sambil terus berkhotbah. Sementara Tisna, berdiri mondar mandir dari tengah hingga ke ujung kanan perahu sambil melemparkan bola-bola plastik ke arah penonton. Aksi panggung Tisna juga dimeriahkan penampilan kelompok shalawat dari Pesantren Kaliopak Yogyakarta yang menyuguhkan kesenian tradisi Emprak. Sungguh penampilan yang membuat trenyuh ketika melihat kelompok shalawat ini sebagian besar telah berusia sepuh dan mereka duduk bersimpuh sambil bernyanyi dalam guyuran air hujan.

tisna-sanjaya_small
Tisna Sanjaya, Doa Kora-Kora, 2013, Performance Art

Penampilan Tisna dan kelompok Pesantren Kaliopak ini bertajuk Doa Kora-Kora yang membuka ajang Biennale Jogja XII Equator #2 di Jogja National Museum, pada Sabtu (16/11) petang. Cuaca yang tidak bersahabat kemungkinan menjadi faktor tidak terlalu ramainya acara pembukaan Biennale Jogja yang tahun ini mengangkat tema Bukan Jalan Buntu (Not A Dead End).

Biennale yang akan berlangsung hingga 6 Januari 2014 ini merupakan seri kedua Biennale Equator, yang sengaja mengangkat kerja sama Indonesia dengan kawasan yang ada di bentangan khatulistiwa antara 23,27 derajat Lintang Utara dan Lintang Selatan. Seri Equator ini diluncurkan pertama kali pada tahun 2011 dan direncanakan akan mengelilingi Planet Bumi hingga 2022. Untuk seri kedua ini, Biennale Jogja bekerja sama dengan lima negara di kawasan Arab, yaitu Arab Saudi, Mesir, Oman, Uni Emirat Arab, dan Yaman.

Dikuratori oleh Agung Hujatnikajennong dan Sarah Rifky, terkumpul 35 seniman yaitu 16 seniman dari Indonesia, dua dari Arab Saudi, 14 dari Mesir, satu dari Oman, dua dari Uni Emirat Arab, dan satu dari Yaman. Karya-karya dari 35 seniman ini dipamerkan di lima tempat, yaitu di Taman Budaya Yogyakarta, Jogja National Museum, HONFablab, SaRang Building, dan Langgeng Art Foundation.

Di Jogja National Museum, dipamerkan karya Handiwirman, Agus Suwage, Tiong Ang, Eko Nugroho, Basim Magdi (Mesir), dan Wael Shawky untuk lantai 1. Di lantai 2, tersaji karya Jasmina Metwaly (Mesir), Take To The Sea (Mesir/Italia/Indonesia), FX Harsono, Ahmed Mater (Arab Saudi), Leonardiansyah Allenda, Prilla Tania, Salwa Aleryani (Yaman), dan Otty Widasari. Di lantai 3, dipamerkan karya Restu Ratnaningtyas, Reza Afisina, Syagini Ratna Wulan, UBIK, Dina Danish, Duto Hardono, dan Hassan Khan (Mesir).

Di Taman Budaya Yogyakarta, dipamerkan karya Restu Ratnaningtyas, Samuel Indratma, Ugo Untoro, dan Syagini Ratnawulan. Sementara di Langgeng Art Foundation, tampil karya Mohamed Abdelkarim (Mesir), Radhika Khimji (Oman), Pius Sigit Kuncoro, Restu Ratnaningtyas, Syagini Ratna Wulan, Venzha Christiawan, Wael Shawky (Mesir), Ayman Yousri (Oman), Dina Danish (Mesir), Magdi Mostafa (Mesir), dan Nasir Nasrallah (Uni Emirat Arab). Untuk SaRang Building, dipamerkan karya Agung Kurniawan, Agus Suwage, Salwa Aleryani (Yaman), Tintin Wulia, Restu Ratnaningtyas, dan Syagini Ratna Wulan. Tempat terakhir, yaitu HONFablab menampilkan karya Mobius (Uni Emirat Arab) dan HONFablab.

Dari kelima tempat ini, para seniman yang tampil pada umumnya mendapatkan masing-masing ruang khusus untuk menampilkan karyanya. Sehingga kebanyakan dari mereka menyajikan karya berbentuk site specific installation. Konsekuensi dari karya site specific installation menjadikan media yang dilibatkan para seniman begitu beragam. Bahkan sering kali media yang digunakan berupa materi yang sudah jadi. Misalnya dalam karya Syagini Ratna Wulan yang hadir di lima tempat. Bertajuk 100 Moving Numbers (2013), Cagi – sapaan akrabnya – menempatkan loker-loker berwarna putih dengan nomor-nomor di pintunya. Karya ini serupa game yang memberikan pengunjung kartu yang nantinya akan menggiring mereka untuk mengunjungi loker-loker tersebut. Di dalam loker itu, Cagi telah menempatkan benda-benda sehari-hari, dari sepatu, mesin tik, hingga jam.

Karya multimedia berbasis video installation dan sound installation juga banyak ditampilkan para seniman. Misalnya karya Venzha Christiawan yang menampilkan sound installation tentang hubungan alien dan piramida, karya HONFanlab yang menyajikan instalasi multimedia di Langgeng Art Foundation, dan karya Duto Hardono yang mempersilakan para pengunjung untuk memutar potongan-potongan piringan hitam di atas turntable. Performans interaktif ini menghasilkan perpaduan-perpaduan bunyi yang patah-patah.

Keberagaman media baik yang sudah jadi dan sehari-hari dengan media yang khusus dibuat, bisa ditemukan di karya instalasi FX Harsono dan Eko Nugroho. Harsono menyajikan ruangan yang dipenuhi sejumlah benda-benda yang khas dari daerah Cirebon. Mulai dari lukisan kain bercorak mega mendung dan hewan-hewan imajiner seperti buroq atau kuda bersayap dengan kepala seperti gajah, hingga teko-teko kuningan yang ditulisi huruf-huruf Arab di permukaannya. Sementara di salah satu dinding, tampak layar video menampilkan seorang gadis muda memakai jilbab secara bertahap. Lewat karya ini, Harsono menyajikan kehidupan sinkretisme antara Jawa, Sunda, Hindu, China, Arab, dan Islam di daerah Cirebon. Sedangkan Eko Nugroho memamerkan karya berjudul Taman Berbulan Kembar. Media yang digunakannya begitu bervariasi. Dari patung resin, bunga-bunga plastik yang disusun membentuk tengkorak kepala bersusun tiga, mukena, bunga-bunga kering, dan mural yang menjadi kekuatannya.

Sinkretisme, migrasi, dan mobilitas memang menjadi narasi di sebagian besar karya. Lihatlah misalnya karya Ugo Untoro yang menggantungkan 43 potongan kaki kuda di langit-langit Taman Budaya Yogyakarta di karya berjudul Deru (Roar) mengingatkan pada langkah kuda-kuda yang mengantarkan perjalanan para musafir dan di situlah awal mulanya terjadi penyebaran kultural. Migrasi juga terutama muncul di karya-karya seniman dari Timur Tengah, misalnya karya Ahmad Mater yang menampilkan perjalanan haji di negaranya. Uniknya, sebagian besar karya seniman-seniman dari negara jazirah Arab ini tampil dalam bentuk video atau fotografi.

Sebagai sebuah biennale, ide dan konsep yang ditawarkan para seniman begitu kuat sehingga bisa jadi mengecewakan mereka yang mengharapkan kemunculan eksplorasi teknik dan estetika. Biennale Jogja XII ini lebih bertumpu pada pemaparan bahwa batas-batas yang terjadi di dunia visual kontemporer saat ini telah begitu cair dan kompleks. Sayang sekali sebenarnya ketika “kegilaan” ide-ide para seniman ini kurang bisa terfasilitasi dengan ruang-ruang pamer yang cukup nyaman untuk dikunjungi. Pada saat hari pertama Biennale Jogja, Sabtu (16/11) saja, beberapa kali listrik di Taman Budaya Yogyakarta terputus. Belum lagi kondisi bangunan di Jogja National Museum yang kurang rapi dan terawat. Cuaca yang buruk – hujan terus-menerus – membuat acara pembukaan Biennale Jogja kurang bisa dinikmati dan terbilang sepi pengunjung meski ketika hujan sudah berhenti, berangsur-angsur mulai berdatanganlah para penikmat seni. Untunglah biennale ini cukup lama berlangsungnya hingga 6 Januari 2014 sehingga masih ada kesempatan untuk mengharapkan cuaca tidak lagi menjadi penghalang bagi mereka yang ingin menikmati penjelajahan ide para seniman terhadap konsep migrasi.