Ada kontras yang menarik dalam karya-karya Titarubi yang dipamerkan di Philo Artspace pada 18 Maret – 18 April 2014. Kontras itu terletak pada simbol warna emas dan hitam yang diterapkannya pada karya instalasi dan dua dimensinya. Sesuai dengan tema pamerannya, Discourse of the Past, Titarubi seolah menggambarkan bahwa masa lalu bisa dilihat sebagai kegemilangan dan di sisi lain juga kegelapan.
Untuk mengusung konsep tentang dikotomi wajah masa lalu ini, Titarubi berhasil memilih media yang mampu “bicara” tentang konsep itu. Pesannya jelas dan gamblang. Tentang masa lalu yang kelam dan muram, Tita memilih media arang. Sementara kegemilangan sejarah ditampilkannya dengan warna emas.
Penggunaan media yang berujung pada seluk beluk pengerjaan teknis inilah yang memberi nilai lebih pada karya Titarubi. Di sinilah Tita menempatkan bahwa karya rupa tidak hanya melulu menawarkan keindahan estetika dan artistik, namun karya seni sudah seharusnya membawa pesan yang bisa disampaikan sejak dari pemilihan bahan hingga eksekusi akhirnya.
Lewat penggunaan arang dalam melukis wajah-wajah manusia dalam ekspresi sedih yang dipamerkan di lantai satu Philo Art Space dan sebagai bahan untuk membuat semacam sisa perahu yang seolah telah kandas dan terempas, Tita seolah ingin mengajak penikmat karyanya untuk melihat masa lalu sebagai sebuah sisa, ampas, bekas yang telah gosong. Masa lalu sejarah bangsa kita yang dulu dikenal sebagai penguasa lautan, seolah telah menjadi kenangan yang kelam. Hanya menyisakan reruntuhan. “Sampan yang dibakar itu sebagai pengingat bahwa kita pernah memiliki sampan yang lengkap,” ujar Tita.
Sementara di sisi lain, Tita merayakan kegemilangan masa lalu ketika Nusantara dikenal sebagai negeri rempah-rempah. Ekspedisi bangsa Barat ke wilayah Timur, didorong sebuah misi untuk menemukan rempah-rempah yang dinilai sama berharganya dengan emas. Konsep ini ditampilkan Tita dengan membuat “kerumitan” membungkus biji-biji pala dengan lapisan emas dan dibentuknya menjadi jubah.
Penciptaan biji-biji pala emas ini dilakukan alumni Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) ini dengan teknik dan kerumitan yang patut dipuji. Ia khusus mempelajari cara bagaimana pala bisa menjadi isolator. Proses panjang ini dilalui Tita dengan berbagai trial and error. Ia sempat mendapatkan informasi tentang cairan yang bisa menempel pada sesuatu yang bukan logam. “Namun cairan itu hanya dijual di Inggris dan Cina,” ujar seniman yang selalu tampil funky ini. Kemudian ia menemukan di situs Kaskus tentang sebuah kelompok elektronika yang membicarakan tentang teknik “silvering” yang secara penjelasan mudahnya adalah melakukan pencairan timah untuk mendapatkan semacam bentuk pasta yang kental untuk membentuk lapisan.
Namun temuan-temuan ini belumlah pas untuk mencapai hasil yang diinginkan Tita. Ia kemudian menemukan hasil penelitian seorang pensiunan LIPI yang melakukan penempelan bubuk metal kepada bahan yang bukan logam. Tita kemudian melakukan teknik ini dan kemudian ia ikat dengan tembaga yang berfungsi untuk menyatukan dan menebalkan menjadikan tekstur lebih kuat. “Kemudian saya lapisi dengan nikel, kemudian ke kuningan supaya menghemat emas. Baru setelah itu di-coating dengan emas. Di sinilah proses isolator menjadi konduktor,” ujar Tita menjelaskan proses berbelit yang memakan waktu 8-12 jam untuk masing-masing pala yang dijadikannya butiran emas.
Jerih payah Tita tentu saja percuma jika hasil karyanya tidak menawarkan kekuatan konsep yang sama dengan proses tekniknya. Untunglah karya perupa kelahiran Bandung, 1968 ini memberikan wacana dan pemaknaan yang kuat tentang perjalananan sejarah nusantara yang untuk saat ini tengah berada dalam kondisi terombang-ambing seolah berada di lautan lepas tanpa nakhoda. Baik sisa sampan yang telah menjadi arang, maupun jubah emas yang membentuk figur misterius, sama-sama berhasil menggedor batin penikmat seni visual untuk berpikir tentang keberadaan masa kini – apakah sejarah yang telah dijalani bangsa ini menyisakan kekelaman ataukah kegemilangan.