Setahun lalu, Bakaba membuat terobosan dengan membuka sistem open call bagi seniman yang bermukim di Sumatra Barat. Tahun ini, Bakaba membuat terobosan dengan memberi ruang lebih bagi para mahasiswa lewat tema yang dekat dengan milenial.
Setiap tahunnya, Sakato Art Community, sebuah komunitas perupa asal Sumatra Barat di Yogyakarta mengadakan pameran tahunan bertajuk “Bakaba” yang mengisi rangkaian pameran di Jogja Art Weeks. Tahun ini, Bakaba ke-7 didukung oleh Gajah Gallery mengusung tema “Zaman Now” yang berlangsung pada 3-31 Mei di Yogya Gallery, Yogyakarta.
Baca juga BAKABA 6: Menyelami Indonesia dari Hulu dan ke Belakang
Sakato menyeleksi 13 mahasiswa yang tergabung dalam Formisi (Forum Mahasiswa Minangkabau ISI Yogya), sebuah organisasi di bawah asuhan Sakato. Dengan merangkul anak muda, diharapkan akan muncul banyaknya seniman yang potensial.
“Bakaba menjadi salah satu cara untuk regenerasi. Sekre dan space kami di kompleks Sarang, menjadi tempat pameran dan berbagai kegiatan bulanan. Anggota Formisi lebih dulu diajak berpameran skala kecil hingga bisa terasah kemampuannya. Dari yang kecil, mereka bisa ikutan yang besar (Bakaba-red),” papar penulis Bakaba Anton Rais Makoginta setelah pembukaan pameran.
Istilah zaman now yang diambil sebagai judul pameran, menjadi sesuatu yang sering kita dengar dan baca di media sosial dalam setahun belakangan. Bayu Whardana, yang membuat catatan pengantar di pameran ini menuliskan bahwa istilah ‘zaman now’ menjadi ungkapan yang terkesan satir dan kritis, juga unik karena dapat disampaikan secara parodi, sindiran, dan serius. Menurut Bayu, ‘zaman now’ menjadi pintu multi-fungsi yang dapat digunakan untuk merespons perubahan-perubahan yang terjadi belakangan ini, termasuk dalam seni kontemporer Indonesia.
Baca juga Jakarta Biennale 2017, Dari Semsar Siahaan Sampai Seniman Afrika Selatan
Sebelum masuk ke ruang pamer, ada yang terasa berbeda. Tahun lalu, fasad Yogya Gallery tampil begitu berani dengan warna merah mencolok, hasil kerja dari tiga commission artist seperti Derry Pratama, Dian Hardiansyah dan Taufik Ermas. Sedangkan di Bakaba #7 ini, commission work absen dari agenda pameran.
Mengambil ruang pamer yang sama seperti Bakaba #6, ruangan Yogya Gallery diisi oleh materi karya dua dan tiga dimensi dari 74 seniman lintas generasi Sakato. Kita bisa melihat karya instalasi dari seniman established Handiwirman yang khas lewat bentuk karet gelang merah muda, hingga lukisan abstrak figuratif berwarna cerah dari seniman muda Iabadiou Piko.
Hampir di setiap sudut ruangan, pengunjung bisa menikmati karya tiga dimensi atau instalasi yang mengundang perhatian. Salah satunya adalah karya dari Rinaldi, yang menyabet Bakaba Award. Karya bertajuk Tampak Luar Dalam, terbuat dari potongan kayu jati yang dibentuk menyerupai batok kelapa. Ukurannya yang cukup besar yakni 120x134x139 cm, mengundang banyak pengunjung untuk berfoto di depannya.
Baca juga Dari Bali ke Jogja Lewat Pameran Prajurit Kemayu
“Kelihaian Rinaldi dalam merespons material kayu, menjadi nilai tersendiri karena mengembalikan kehadiran kayu seperti Anusapati,” ujar Anton.
Tak jauh dari karya Rinaldi, terdapat lima panel karya Afdhal bertajuk Bersatu. Menggunakan media silikon dan dakron di atas kanvas, karya Afdhal samar-samar menunjukan sekelompok orang yang berpelukan. Persatuan yang ditampilkan lewat figur-figur yang berpelukan, bisa jadi merupakan hal yang dirindukan oleh Afdhal dan banyak orang di ‘zaman now’ ini. Berbagai tebaran kebencian, berita palsu, dan konflik di berbagai lapisan masyarakat, menjadikan persatuan sebagai hal yang mahal.
Afdhal adalah salah satu seniman yang diundang oleh Sakato untuk memamerkan karya terbaik bersama dengan lima seniman lainnya seperti Zulkarnaini Rustam, Stevan Sixcio Kresonia, Hojatul, Bestrizal Besta, dan Oktaviyani.
Porsi khusus bagi seniman milenial juga ditandai award bagi seniman emerging seperti Riski Januar. Riski yang selama ini berkutat dengan fotografi, kali ini mencoba mengasah kemampuannya lewat sembilan panel lukisan berwarna merah bagaikan daging segar. Berjudul After Beautiful Landscape, Riski seperti menyindir trend ‘zaman now’ yang lebih menampilkan tubuh individu sebagai ‘pemandangan’, khususnya di media sosial—keindahan alam tergeser oleh narsisme.
Di Bakaba #7 ini, diberikan pula Special Mention kepada tiga mahasiswa yakni Melta Desyka, Ega Budaya Putra, dan Fika Ria Santika.
Melta salah satunya, menampilkan karya berjudul Noise berupa sulaman bentuk kaktus di atas kanvas. Anton turut menyebutkan bahwa karya Melta merupakan salah satu yang patut dilihat di pameran ini.
“Melta berangkat dari hal yang sederhana yakni menyulam namun masih menggunakan disiplin lukis. Bisa jadi yang ia lakukan merupakan kritik terhadap lukisan,” jelas Anton.
Baca juga 10 Bienial Seni Internasional 2018
Istilah zaman now yang dipilih untuk memayungi Bakaba di tahun ini, terlihat ingin menonjolkan posisi milenial yang lekat dengan istilah tersebut. Hal ini tampak dari besarnya porsi bagi seniman muda dan mahasiswa yang diberi tempat di Bakaba #7, yang menjadi ruang alternatif selain ArtJog yang lebih diisi primadona pasar seni rupa. Hal ini tentunya peluang bagi yang muda dan upaya positif dari Sakato untuk mendorong semangat berkarya milenial lewat topik yang dekat dengan kesehariannya. Namun yang perlu disadari adalah begitu jamaknya tema yang membahas isu kekinian, sehingga tema “Zaman Now” rasanya tak lagi menjadi sesuatu yang ‘wah’ di masa sekarang. Belum lagi absennya commission work di tahun ini yang menyebabkan sepinya ‘wajah’ Yogya Gallery sebagai sarang tahunan perupa Sumatra Barat tersebut.