Defining Excellence, Julia Sarisetiati, Single Screen HD Video Installation, 2015.
Defining Excellence, Julia Sarisetiati, Single Screen HD Video Installation, 2015.
Defining Excellence, Julia Sarisetiati, Single Screen HD Video Installation, 2015.

Lewat pameran “Wani Ditata Project” yang berlangsung 3-19 Oktober 2015 di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta, delapan seniman wanita melakukan pembacaan ulang terhadap bagaimana identitas wanita dikonstruksi lewat organisasi Dharma Wanita, organisasi wajib bagi istri-istri pegawai negeri di era Orde Baru. Adalah Aprilia Apsari, Julia Sarisetiati, Kartika Jahja, Keke Tumbuan, Marishka Soekarna, Otty Widasari, Tita Salina, dan Yaya Sung, yang menghadirkan potret representasi wanita yang dibangun lewat keberadaan organisasi tersebut.

Misalnya, Julia Sarisetiati yang lewat karya instalasi videonya, Defining Excellence, menghadirkan gambaran pelatihan kepribadian yang mengajarkan bagaimana wanita harus bicara, berjalan, dan sebagainya. Julia menceburkan diri secara langsung dalam program latihan ini tanpa mengeluarkan opininya. Hasilnya adalah sebuah video yang jenaka dan terkesan konyol, namun justru di sanalah karya ini bermain: mempertanyakan apa iya seorang wanita harus mengikuti tata aturan konyol – yang membuat orang yang melihatnya tertawa – baru bisa dicap sebagai wanita berkualitas unggul?

Atau lihat Diumbul No karya Aprilia Apsari yang mempersoalkan gaya rambut wanita. Dalam videonya, Sari menampilkan dirinya sendiri berdandan – mengganti-ganti gaya rambut hingga “sempurna”. Dari sini kita bisa melihat bahwa rambut di tubuh wanita tidak hanya sekadar bagian tubuh. Rambut juga menjadi simbol penentu nilai seorang wanita dalam struktur sosial selain tren perkembangan zaman. Rambut gaya sasak tinggi yang lekat dengan ibu-ibu Dharma Wanita di era itu, misalnya bisa dipersoalkan ketika menjadi simbol “kesantunan” atau “kepantasan” seorang wanita.

Angga Wijaya, kurator pameran, membaca keberadaan Dharma Wanita sebagai salah satu upaya negara mengontrol wanita secara kultural. “Bentuk kontrol negara secara kultural dapat kita lihat melalui konsep ‘wanita’ yang dikonstruksi secara hegemoni dengan pencitraan yang santun, kemayu, tunduk, dan setia,” ujarnya dalam catatan kuratorial.

Meski terkesan mengandung semangat perlawanan, nuansa yang dibangun oleh seluruh karya dalam pameran ini tidak menggebu-gebu menyuarakan penentangan. Hasil riset disikapi dengan subtil sehingga temuan-temuan terhadap situasi wanita di masa itu bisa dicermati dengan cara yang menghibur. Lebih jauh lagi, pameran ini juga menawarkan refleksi kembali atas kondisi saat ini. Apakah di masa demokratis sekarang, masih ada sisa-sisa konstruksi wanita seperti itu? Apakah kontrol kultural terhadap wanita sudah selesai ketika Orba tamat dan banyak wanita zaman sekarang tidak kenal apa itu Dharma Wanita?

Hadir sebagai tanggapan Komite Seni Rupa DKJ terhadap perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia dalam menjalankan kegiatan seni yang mengarah pada riset dan isu tertentu, khususnya kali ini pada isu perempuan, pameran ini memang menawarkan pendalaman proses kerja kreatif yang mengarah pada produksi pengetahuan. Di tengah peran tersebut, kekurangan pameran ini terletak pada display karya sangat tidak menarik. Penyelenggara belum bisa mengakali luasnya ruang pameran dihadapkan dengan jumlah karya yang sedikit.