Patung kerap kali identik dengan wujud makhluk hidup (artefak), manusia/binatang atau dewa. Namun, dalam pameran Trienal Seni Patung #2 bertajuk “Versi”, patung berubah wujud menjadi berbagai bentuk yang tak terhingga macamnya. Pameran yang diadakan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, ini menampilkan jenis karya-karya yang sebenarnya sering terlihat di pameran-pameran seni yang digelar galeri komersial. 53 karya seni terpilih atas konsistensi senimannya dalam berkarya.

Pameran yang dikuratori oleh Rizki A. Zaelani, Asmudjo J. Irianto, dan Asikin Hasan ini menampilkan variasi karya seni patung dalam makna yang lebih meluas. Menurut Anusapati, Ketua Umum Asosiasi Pematung Indonesia, seni patung “berlaku pada berbagai ekspresi artistik yang pada perkembangannya kemudian menghasilkan berbagai macam bentuk, serta menggunakan berbagai macam material, sesuai dengan pengembangan dan eksplorasi di dalam media seni patung itu sendiri.”

Sejatinya patung bersifat trimatra, tiga dimensi. Di era 1990-an, seperti tertulis dalam kuratorial Asikin Hasan, seni rupa berubah dari karya dwimatra menjadi trimatra. “Dari lukis melompat ke objek, instalasi, seni rupa eksperimental, seni rupa pertunjukan, seni rupa video, dan lain sebagainya.” Karenanya, karya seni berbentuk patung pun meluas dengan sendirinya.

Seni patung klasik pun hampir tidak dipamerkan. Bahkan, perupa senior Dolorosa Sinaga menampilkan sebuah karya instalasi “Tak Terjudulkan/Untitled” (2014) yang mengandung isu politik. Karyanya berupa patung sosok wanita berukuran mungil tengah memandang peta Indonesia yang di atasnya tertulis jelas huruf T-(lambang arit)-65. Karyanya membuat kita teringat peristiwa pembantaian oleh rezim militer Soeharto pada 1965. 

Selain konsep yang fundamental, kekayaan media yang diolah sebagai karya seni tiga dimensi menjadi andalan pameran ini. Perupa senior seperti Amrizal Salayan, Entang Wiharso, Ichwan Noor, Noor Ibrahim, serta Sri Astari kembali hadir menggunakan media alumunium. Ada juga karya Sunaryo dengan media batu dan kristal, karya Laksmi Shitaresmi menggunakan perak, dan karya Nyoman Nuarta yang mengolah tembaga dan kuningan.

Selain bahan olahan, terdapat juga karya seni dari media alam. Seperti tanah dalam karya Fajar Abadi “Balada Uang Seribu” (2014), yang mengandung isu inflasi dengan membandingkan keadaan tahun 1999-2014. Uang kertas yang dilipat menjadi perahu kertas kecil digambarkan mendekati beras jika harga beras masih terjangkau. Syaiful A. Garibaldi kembali hadir dengan menggunakan media jamur. Sementara, media bambu terdapat dalam karya I Wayan Sujana dan Nus Salomo. Karya Joko Dwi Avianto “The Lowland Origins” (2014) berbentuk pulau Kalimantan terbuat dari rotan, dengan mengangkat isu nasionalisme karena pulau tersebut berperan besar dalam perdagangan di nusantara namun berlebihan dengan eksploitasi alamnya.

Ada juga karya yang berasal dari media yang sering dijumpai sehari-hari. Misalnya, karya Teguh Agus Priyanto “Between Existence and Non-Existence” (2014) yang dibuat dari kumpulan kancing dan nilon sehingga membentuk sepeda roda tiga anak-anak. Terdapat juga karya Yudi Sulistyo berjudul “Yang Terlupa” (2013) yang mengumpulkan barang bekas, pipa, kabel sehingga membentuk setengah badan pesawat militer di atas gerobak. Karya kinetik pun hadir, diwakili oleh Septian Harriyoga dengan karya lamanya “Dragronfrrry” (2012).

Media yang variatif bisa menandakan bahwa seni patung memang berkembang, seiring dengan perkembangan seni rupa kontemporer. Karya-karya tiga dimensi yang kebanyakan “bikin mikir” ini pun layak diapresiasi. Seni patung masa kini dirangkum bukan hanya dalam wujud sosok, namun juga wujud konsep.

Pameran Trienal Seni Patung Indonesia #2 “VERSI” masih berlangsung hingga 10 November 2014.