Melalui sifatnya yang populis dan kerap memuat satir-satir humoris, seni kartun punya cara tersendiri dalam menyampaikan pesan. Dengan sifatnya itu lebih mudah bagi kartun untuk berada dekat dengan pembacanya, dibanding dengan seni rupa lain, misalnya. Kesadaran ini yang dibawa Pameran Kartun Santri Nusantara saat menampilkan sekitar 120 karya di Gedung B Galeri Nasional Indonesia, 24-30 November 2015. Pameran yang digagas oleh Kementrian Agama Republik Indonesia ini menampilkan karya-karya yang telah lolos penjurian oleh KH Ahmad Mustofa Bisri (Pengasuh Ponpes Roudlotut Tholibin, Rembang), Pramono R Pramujo (kartunis senior), dan Abdullah Ibnu Thalhah (Direktur Rumah Kartun Indonesia) dan Kuss Indarto yang sekaligus menjadi kurator pameran. Penjurian dibagi ke dalam dua kategori, santri dan umum, dan tiap kategori dipilih tiga pemenang.
Bicara karya, tentu kejelian dan daya ungkap senimannya lah yang membuat sebuah karya menjadi membosankan atau tidak. Dalam isu agama yang diangkat dalam pameran ini, misalnya, memerlukan kejelian lebih untuk tidak terperangkap pada konflik agama yang itu-itu lagi. Pada kartun Agama dan Bakti Kemanusiaan yang menjadi jaura 1 kategori santri, misalnya, Muhammad Bahrudin membawa isu kerukunan beragama ke tataran kemanusiaan. Simbolisasinya juga menarik; seorang nenek buta menyeberang di zebra cross yang bertuliskan nilai-nilai masyarakat Indonesia (musyawarah, gotong royong, budi pekerti, persatuan dan kesatuan, dan lainnya), seorang gadis kecil berjilbab menuntun si nenek, dan dua anak laki-laki kecil (yang satu berkalung salib) menahan laju kendaraan. Pengemudi-pengemudi kendaraan itu pun digambarkan berhenti dengan raut wajah tersenyum. Lewat karya ini kita diingatkan indahnya menghargai orang lain, apa pun agamanya, dengan tidak menabrak nilai-nilai positif masyarakat kita.
Sedangkan yang menjadi juara 1 kategori umum, Waspada Musuh dalam Selimut karya Didie Sri Widiyanto, memiliki perspektif yang usil. Ia menyindir politisi yang memakai kedok agama untuk mendapat kepentingannya. Memang karya-karya pada kategori umum lebih menyuguhkan sudut pandang yang lebih beragam. Ikhsan Dwiono, lewat Komersialisasi Pesantren, yang menjadi juara dua, misalnya membuat kartun menohok berupa gambar aula pesantren yang bagian tengahnya berisi space iklan sehingga tidak boleh diduduki oleh santri. Karya Ikhsan menegaskan kembali bahwa komersialisasi telah masuk ke dalam segala unsur hidup, bahkan agama sekalipun.
Selain karya peserta, ada juga beberapa karya persembahan spesial buatan kartunis-kartunis terkenal. Beng Rahadian, dengan Ngaji Era Digitalnya, menyentil kebiasaan anak muda zaman sekarang yang tak bisa lepas dari gadget. Ia membuat kartun berupa gambar sekelompok santri yang tidak mau jauh-jauh dari gawainya walau gawai mereka sedang diisi baterainya. Sang ustadz yang duduk di depan pun tampak yang geram. Atau, karya Cari Sinyal yang Bagus buatan Aji Prasetyo yang menyorot perbedaan posisi tangan orang Islam saat berdoa. Isunya sederhana saja, tapi tak pelak menghiburnya melihat jejeran orang berdoa berlomba mengangkat tangan seperti sedang mencari sinyal paling bagus agar doanya cepat sampai ke Tuhan.
Secara keseluruhan, pameran ini bisa dinikmati dan dicermati isinya sebagai pengingat apa yang sedang terjadi terkait isu keagamaan saat ini. Toh, memang melalui proses situ kartun mendapati perannya. Seperti yang dikatakan Kuss Indarto, “Karya kartun tentu hanya bisa lebih banyak memberi informasi berbumbu ironi dan satir atas fakta sosial ini, tanpa memberi tawaran solusi yang jauh lebih lengkap, komprehensif dan detail. Ya, memang hanya itulah peran seni kartun yang bisa diketengahkan.”