Nikola Mascia dan Fitri Setyaningsih dalam pertunjukan mereka di Goethe Institut Jakarta, 23 Oktober 2015 (photo credit: Goethe-Institut Indonesien/ Ramos Pane)

Dengan sistem kencan buta, dua seniman indonesia dan dua seniman yang berkarya di Jerman dipertemukan dalam satu program residensi berjudul Choreographers’ LAB. Diprakarsai Goethe-Institut di Indonesia dan Mousontrum di Frankfurt, rangkaian program Jerman Fest ini   memasangkan Fitri Setyaningsih dengan Nicola Mascia dari Berlin dan Elia Nurvista dengan Josh Johnson untuk menaklukkan jarak ketidaktahuan mereka akan satu sama lain demi mengembangkan proyek bersama yang mengamati ragam tari hingga kebiasaan sehari-hari.

Observasi para seniman lintas disiplin tersebut selama beberapa bulan ini kemudian dihadirkan dalam bentuk presentasi tari Choreographers’ LAB yang dihelat di Goethe Institut Jakarta,  23 Oktober 2015.  Dalam dua sesi pertunjukan olah gerak tersebut, kedua pasang seniman ini menghadirkan dua nuansa yang bertolak belakang.

Nikola Mascia dan Fitri Setyaningsih dalam pertunjukan mereka di Goethe Institut Jakarta, 23 Oktober 2015 (photo credit: Goethe-Institut Indonesien/ Ramos Pane)
Nikola Mascia dan Fitri Setyaningsih dalam pertunjukan mereka di Goethe Institut Jakarta, 23 Oktober 2015 (photo credit: Goethe-Institut Indonesien/ Ramos Pane)

Fitri dan Nikola, yang sama-sama berlatar belakang sebagai koreografer, membangun suasana khidmat  yang berangsur absurd dengan gemerincing lonceng, cucuran gula dari celah atap, batu-batu yang disusun Nikola di atas punggung Fitri saat bersujud memutari poros lingkaran yang dialasi kelopak-kelopak mawar, dan rok tutu yang dipakaikan Fitri pada Nikola yang bercelana pendek.

Mengambil posisi di luar ruangan yang tak luas, Nikola dan Fitri  berhasil memaksa penontonnya untuk ikut bergerak mengiringi perpindahan wilayah pertunjukan mereka; bergerak dari halaman tengah ke selasar berkarpet gula dan kelopak mawar, lalu dari selasar ke halaman kanan, di mana Fitri kemudian menjahit diterangi api  temaram lentera sementara Nikola mengenal lebih jauh rok tutu dari serat kayunya; lalu berganti Fitri yang menuturkan perjalanan observasi mereka dengan membawakan kain dari serat tumbuhan yang mereka temukan di pasar tradisional Yogyakarta, lengkap bersulam simbol-simbol titik singgah mereka: candi, laut, ikan, bintang, dan bulan.

Fitri Setyaningsing pada presentasi residensi Choreographers' LAB (photo credit: Goethe-Institut Indonesien/ Ramos Pane)
Fitri Setyaningsing pada presentasi residensi Choreographers’ LAB (photo credit: Goethe-Institut Indonesien/ Ramos Pane)

Lalu apa yang ingin mereka sampaikan dalam pertunjukan tersebut? Proses. Begitu Fitri dan Nikola mengartikan presentasi residensi mereka kali ini.  “Adalah ide yang bagus ketika Anda ditawari untuk melihat proses, bukanartwork-nya sendiri; dan adalah hal yang menyenangkan bagi kami untuk melihat bagaimana penonton terserap pada proses kami. Jadi di sini kami tidak dibebankan untuk membuat ‘produk’ semacam itu,” jelas Nikola.

Kontras dengan suasana janggal namun khidmat dari Fitri dan Nikola, kolaborasi Elia, perupa dan periset makanan, dengan Josh, penari dan DJ,  menyiapkan kejutan a la party  untuk para penontonnya malam itu dengan  mengambil lokasi presentasi residensi mereka di dalam ruang pertunjukan Goethe. Merapikan para pemirsanya untuk duduk di panggung alih-alih di kursi penonton, Josh dan Elia menenangkan kebingungan mereka dengan sugesti pendinginan.

Penonton yang menjadi 'partisipan' dalam presentasi residensi Elia Nurvista dan Josh Johnson (photo credit: Goethe-Institut Indonesien/ Ramos Pane)
Penonton yang menjadi ‘partisipan’ dalam presentasi residensi Elia Nurvista dan Josh Johnson (photo credit: Goethe-Institut Indonesien/ Ramos Pane)

Sugesti ini tentu saja segera buyar karena kejutan kedua mereka, yakni instruksi untuk memakai baju hujan yang telah disiapkan, memakan ‘roti gantung’  dan ‘apel gantung’ a la lomba makan kerupuk di acara 17-an, lalu joget bersama diiringi musik remix  yang diputar Josh sudah menanti. Presentasi mereka menghadirkan pemandangan yang tak kalah absurd dan menyenangkan: penonton yang berjoget bersama–sebagian di antara mereka memakai baju hujan plastik–dengan gantungan nilon,  roti, dan apel setengah habis di atas kepala mereka.

Josh di tengah para penonton pertunjukannya Penonton yang menjadi 'partisipan' dalam presentasi residensi Elia Nurvista dan Josh Johnson (photo credit: Goethe-Institut Indonesien/ Ramos Pane)
Josh di tengah para penonton pertunjukannya Penonton yang menjadi ‘partisipan’ dalam presentasi residensi Elia Nurvista dan Josh Johnson (photo credit: Goethe-Institut Indonesien/ Ramos Pane)

 “Kami berusaha menghadirkan proses yang sudah saya dan Josh jalani selama proses pengenalan. Adapun yang saya alami kebanyakan di antaranya yaitu hang out dari klub ke klub dengan Josh yang seorang DJ, hingga proses yang kami jalani lebih seperti proses berteman, bukan bekerja atau mengerjakan proyek seni,” kata Elia. Adapun sisi ke-Jerman-an atau ke-Indonesia-an  dalam presentasi mereka tersebut, menurut Josh, lebur dalam masa proses pra-pertunjukan tersebut, alih-alih tampil dalam presentasi mereka malam itu.

Pertunjukan ini akan mereka hadirkan kembali di Studio Plesungan, Surakarta, 26 Oktober 2015 ini, pukul 19.30 WIB.