Lakon yang sempat bikin geger, Opera Kecoa, kembali dipentaskan. Produksi ke-146 Teater Koma ini akan dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, 10-20 November 2016.
Opera Kecoa berkisah tentang orang-orang kecil yang menghadapi kenyataan keras. Bagaimana bandit kelas teri, Roima, yang tertarik kepada Tuminah, seorang pekerja seks komersial, walau sudah punya pacar Julini si waria.
Perjuangan hidup tiga orang ini hanya punya dua risiko, jadi ada atau tersingkir. Jangan bicara nasib baik karena nasib baik jarang memihak mereka. Seolah-olah tempat mereka sudah digariskan: gorong-gorong, di dalam got, di kolong jembatan, di kawasan kumuh yang gelap dan berbau busuk.
“Opera Kecoa bercerita tentang perjuangan kaum minoritas yang hidup menderita, berhimpit-himpit dalam lorong gelap di balik kemegahan gedung tinggi, mencari keadilan dari para pemimpin. Lakon ini masih bisa menjadi potret keadaan masa kini,” ujar penulis naskah dan sutradara Teater Koma Nano Riantiarno.
Karya N. Riantiarno ini pertama kali dipentaskan Teater Koma pada 1985 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sejumlah pemain inti kini sudah berpulang, seperti Didi Petet, Tarida Gloria, dan Tuti Indra Malaon.
Lakon berdurasi tiga jam ini pernah dilarang pentas di Gedung Kesenian Jakarta pada 1990 dan tidak diberi izin pentas keliling ke Jepang. Pada 1992, dipentaskan dengan judul Cockroach Opera oleh Belvoir Theatre di Sydney, Australia.
Hingga akhirnya pada 2003 Opera Kecoa dipentaskan lagi di Gedung Kesenian Jakarta, 13 tahun setelah pelarangannya. Dan tahun ini, Teater Koma memanggungkan lagi Opera Kecoa di Graha Bhakti Budaya, TIM, tempat lakon ini pertama kali dipentaskan.
Lantas, setelah 31 tahun berlalu, apakah “kecoa” sudah berubah makna? Begini jawab Nano saat jumpa wartawan di Sanggar Teater Koma di Bintaro, Jakarta Selatan, 3 November 2016.
“Kecoa zaman dulu adanya di gorong-gorong. Sekarang bisa preman, pungli, anggota DPR yang salah pilih, bisa tinggal di rumah besar. Saya tidak tahu lagi siapa musuh saya. Sekarang kecoa lebih berbahaya dibanding saat pertama menulis ini.”
Pemain Opera Kecoa 2016 antara lain Ratna Riantiarno, Budi Ros, Rita Matu Mona, Dorias Pribadi, Alex Fatahillah, Daisy Lantang, dan Sri Yatun. Lirik-lirik gubahan N. Riantiarno akan diiringi komposisi musik (alm.) Harry Roesli, yang hingga pementasan pada 2003 masih terlibat.
Kali ini musik Harry Roesli tetap digunakan, diaransemen Fero Aldiansya Stefanus yang sebelumnya menggarap Ibu (2013). Tata gerak oleh Ratna Ully, dan bimbingan vokal oleh Naomi Lumban Gaol.
Sejak pertama dipentaskan pada 1985, beragam peristiwa dialami Teater Koma. Pimpinan Produksi Teater Koma Ratna Riantiarno menceritakan, saat lakon ini dipentaskan di Bandung pada 2003, tempat pertunjukannya, Teater Tertutup Taman Budaya Dago, sempat mendapat ancaman bom. Walau bom tidak ditemukan, ancaman tersebut sempat menimbulkan kepanikan, meski pertunjukan tetap dilanjutkan hingga selesai.
Opera Kecoa juga adalah pertunjukan panggung pertama di Indonesia yang menetapkan usia minimal penonton 17 tahun dengan pertimbangan adanya karakter waria dan PSK berikut dialog vulgar mereka.
Yang tak kurang mengesankannya, lanjut Ratna, inilah produksi pertama Teater Koma yang diundang bermain di empat kota di Jepang pada 1990, tapi kemudian batal akibat tak kunjung mendapat izin dari Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
“Dua bulan menjelang berangkat, pertunjukan kami di Gedung Kesenian Jakarta tahu-tahu dilarang, padahal tiket sudah terjual habis untuk tujuh hari pementasan. Alasannya, pertunjukan ini tidak mendidik,” ujar Ratna.
Dari peristiwa tersebut, dia sadari betapa loyalnya penonton Teater Koma. Tak kurang 50 persen calon penonton tidak mengambil uang pengembalian tiket (refund). “Malah ada yang kirim makanan, kue, amplop buat menambal-nambal kekurangan.”
Pentas di luar negeri pun jadi tak lebih penting daripada pentas di dalam negeri karena di sinilah “rumah” Teater Koma, di hadapan penonton yang dapat mengapresiasi karya mereka.