Di bawah rapatnya gerimis selepas isya, 33 penari Nenemo bercaping memainkan tongkat bambu mereka di seperempat lingkaran Tugu Rato, Tubaba.
Musik pengiring yang dikomposisi Lawe Samagaha dan dimainkan Sanggar Marga Kencana terdengar tak berupaya dominan dibanding suara tongkat ketika serempak dientakkan ke tanah.
Tak ada lampu sorot khusus ke penari layaknya di panggung pertunjukan, hanya lampu yang memang sudah ada di Tugu Rato. Keadaan ini malah memunculkan kesan magis, hal yang tak akan ditemui ketika tarian ini dibawakan di panggung pada hari terang.
Baca juga Budaya dan Identitas Baru Tubaba
Tari Nenemo ditampilkan dalam Purnama Tugu Rato pada 17 November 2017 di Tugu Rato, Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba). Lampung. Purnama Tugu Rato adalah pentas budaya bulanan Studiohanafi bekerja sama dengan Pemkab Tubaba yang bertujuan merawat budaya lokal, memberi ruang apresiasi seni, serta ajang penghiburan warga Tubaba. Kali ini merupakan gelaran ke-4.
Tugu Rato yang ada di pertigaan Jalan Panaragan Jaya Utama, Tubaba, adalah sepasang patung laki-laki dan perempuan berbaju tradisional Lampung di atas kereta kencana (rato) yang ditarik dua ekor naga. Patung ini dibuat seniman Bali I Wayan Winten.
Rato adalah kendaraan masyarakat adat untuk mendapat gelar sultan, gelar tertinggi masyarakat Lampung. Naga yang menghela kereta merupakan simbol keberanian. “Tugu Rato adalah simbol kekeluargaan masyarakat Lampung, menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Agar masyarakat Tubaba berani melangitkan cita-citanya lalu merealisasikannya,” ujar Bupati Tubaba Umar Ahmad saat pembukaan acara.
Purnama Tugu Rato juga adalah perhelatan merayakan perbedaan dan keberagaman lewat kesenian. Kabupaten Tubaba lahir dari pemekaran Tulang Bawang pada 2008. Komposisi masyarakatnya di sembilan kecamatan dan 107 desa adalah keunikan tersendiri. Sekitar 70 persen adalah orang Jawa (asal Jateng dan Jatim); lebih dari 10 persen Sunda; sisanya Bali, Lampung, dan Batak.
Baca juga Jalan Sastra Menuju Tubaba
Beragamnya suku yang mendiami Tubaba tak lepas dari program transmigrasi sejak era kolonial Belanda. Dimulai pada 1901 ketika tak kurang 1 juta orang dipindahkan dari Pulau Jawa untuk menjadi pekerja perkebunan. Para transmigran mempertahankan bahasa ibu mereka, bahkan hingga sekarang sudah lintas generasi.
“Tubaba ada karena keberagaman. Masyarakatnya merayakan keberagaman setiap saat, termasuk merayakannya lewat medium kesenian, bukan lewat jargon-jargon,” ungkap Manajer Program Studiohanafi-Tubaba Adinda Luthvianti.
Purnama Tugu Rato #4 menghadirkan Teater Tubaba, gamolan Lampung, pembacaan puisi dari Tubaba Cerdas, parade puisi ibu-ibu PKK, fashion show, tari Nenemo, musik dari Tamara Tasya, Marhaen Band, dan SMKN ITBT. Secara keseluruhan ada hampir 140 penampil.
Nenemo, yang dikoreografikan Hartati, digali dari akar budaya Tubaba, menggambarkan keseharian petani dan peladang. Pertama kali ditarikan saat “Selamatan Budaya Tubaba 2016” sekaligus peresmian tiga tetenger utama Tubaba, yakni Tugu Rato, balai adat Sesat Agung, dan Masjid Baitus Shobur (dikenal dengan julukan Masjid 99 Cahaya) tahun 2016. Saat itu penarinya dari Institut Kesenian Jakarta.
Baca juga Bentang Bagak Arsitek F. Silaban
Tarian ini kemudian diajarkan ke remaja Tubaba. Setelah mahir, mereka mengajarkannya lagi ke pemula, begitu seterusnya sehingga diharapkan tari Nenemo menjadi tarian rakyat yang dapat dimainkan siapa saja, perempuan dan laki-laki. Nenemo sendiri diambil dari falsafah budaya Tubaba, yakni nemen (kerja keras), nedes (tahan banting), nerimo (ikhlas menerima yang diberikan Tuhan).
Lewat Purnama Tugu Rato terjadi pertukaran ide antara seniman Tubaba dengan seniman luar Tubaba kolaborasi karya, serta pengenalan dan pelatihan seni kepada masyarakat. Bentuknya adalah workshop kontrabas oleh Tamara Tasya dari Bandung, pelatihan membaca puisi ibu-ibu PKK oleh ibu Adinda Luthvianti, dan latihan musik Marhaen Band.
Marhaen Band dibentuk di Tubaba pada awal 2017, beranggotakan enam orang yang tinggal di Bandung, Jakarta, dan Tubaba. Mereka adalah Romy Jaya Saputra (violin), S. Lawe (cajon), Angga Juniarsyah (kontrabas), Eunike Hana Gracia (vokal), Pian Herdiana (vokal), dan Andri Budianto (gitar).
Kekhasan mereka adalah membawakan lagu-lagu tempo doeloe dalam balutan kostum tempo doeloe juga. Seperti yang malam mereka bawakan, yakni Bersuka Ria ciptaan Bung Karno, Bunga Nirwana karya Munif Bahasuan, Nurlela milik Bing Slamet, dan Speak Softly, Love yang dipopulerkan Andy Williams.
Baca juga Makna Budaya Gendongan Bayi
Ada pula pelatihan musik Q-tik oleh Lawe Samagaha. Lawe Samagaha dari Kumpulan Bunyi Sunya menciptakan kembali alat musik yang akarnya adalah alat musik tradisional Lampung, cetik. Satu oktaf cetik berjumlah enam nada tanpa nada fa. Lawe mengembangkan jumlah nadanya menjadi dua oktaf (13 nada), menambahkan tabung resonator untuk setiap bilah nadanya. Alat ini dinamainya Q-tik. Huruf “Q” diambil dari huruf pertama dari dua huruf terakhir plat nomor Tubaba.